Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Habis Manis Utang Dikemplang

Mahkamah Agung membatalkan surat utang yang diterbitkan perusahaan Eka Tjipta. Perlindungan investor di Indonesia diragukan.

13 November 2006 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

DEWI Fortuna rupanya kembali berpihak ke PT Indah Kiat Pulp & Paper Tbk. Setelah Pengadilan Negeri Bengkalis dan Pengadilan Tinggi Riau, kini giliran Mahkamah Agung memenangkan anak perusahaan Asia Pulp & Paper Company (APP) itu. Juni lalu, lembaga peradilan tertinggi itu memutuskan bahwa gugatan yang diajukan Gramercy Advisors dan Oaktree Capital Management kepada perusahaan milik taipan Eka Tjipta Wijaya itu tidak sah.

Putusan ini membuat pabrik bubur kertas Grup Sinar Mas yang berlokasi di Bengkalis, Riau, dan Serpong, Banten, itu bungah dua kali. Selain mengukuhkan bahwa surat utang yang dimiliki Oaktree dan Gramercy tidak sah, Indah Kiat selaku peminjam sekaligus penjamin utang bebas dari kewajiban membayar utang kepada dua kreditor asal Amerika Serikat itu.

Keruan saja Oaktree dan Gramercy sewot, sebab dalam surat 18 April 2005 yang ditujukan kepada Teguh Ganda Wijaya, Presiden Direktur Indah Kiat, dua kreditor itu mengaku mengantongi obligasi US$ 300 juta. ”Tapi mereka menuntut pembayaran 120-150 persen dari harga pasar,” kata Gandhi Sulistiyanto, Wakil Presiden Komisaris Indah Kiat. ”Padahal, ketika membeli harganya cuma 10-20 persen.”

Perselisihan Indah Kiat dengan dua kreditor itu bermula ketika Indah Kiat International Finance Company BV, anak perusahaan APP di Rotterdam, Belanda, menerbitkan surat utang pada Juni 1994. Nilainya US$ 200 juta dan US$ 150 juta. Masa jatuh temponya 8 tahun dan 12 tahun. Dari total US$ 350 juta, Oaktree dan Gramercy membeli US$ 132 juta.

Tahun berikutnya, giliran PT Lontar Papyrus Pulp & Paper Industry, juga anak perusahaan APP, lewat APP International Finance Company BV, menerbitkan surat utang US$ 450 juta, yang jatuh tempo 2005. ”Oaktree dan Gramercy membeli US$ 125 juta dari obligasi yang diterbitkan,” kata Suhendra Wiriadinata, salah satu direktur APP. Total nilai surat utang Grup APP yang digenggam Oaktree dan Gramercy US$ 257 juta.

Namun, di tengah jalan, pembayaran utang APP ke kreditor tak mulus. Krisis ekonomi 1998 membuat Grup APP ngos-ngosan. Kondisi ini bahkan membuat APP membekukan pembayaran utang ke semua kreditor asing (standstill) pada Maret 2001. Total utangnya saat itu US$ 13 miliar.

Belakangan, APP berhasil menandatangani perjanjian restrukturisasi utang dengan sejumlah kreditor asing pada Oktober 2003. Hingga 28 April 2005, 93 persen kreditor menyetujui program tersebut, namun Oaktree dan Gramercy, yang menguasai empat persen obligasi, menolaknya.

Dua kreditor itu mengajukan gugatan ke Mahkamah Agung di New York, September 2002. Gugatan dikabulkan. APP diwajibkan membayar utang US$ 394 juta. Hasil itu mendorong Oaktree dan Gramercy mengajukan permohonan sita aset di Pengadilan Negeri Bengkalis. Namun, Pengadilan Negeri Bengkalis dan Pengadilan Tinggi Riau juga menolak gugatan dua investor keuangan tersebut. Malah dua pengadilan tadi memutuskan bahwa penerbitan surat utang yang dilakukan Indah Kiat Finance BV tidak sah. Keputusan inilah yang dikuatkan Mahkamah Agung RI.

Atas putusan itu, kuasa hukum Oaktree, Satrya W. Teja, langsung mengajukan peninjauan kembali. ”Pembatalan obligasi menunjukkan lemahnya perlindungan investor di Indonesia,” kata Satrya kepada Budi Riza dari Tempo. Dampaknya, menurut Fitch Ratings, investor internasional akan berhati-hati membeli surat utang yang diterbitkan badan hukum Indonesia. ”Putusan itu menunjukkan ketidakpastian hukum,” kata Siew Huey Loong, Direktur Fitch kawasan Asia Pasifik.

Lembaga pemeringkat internasional yang wilayah kerjanya menjangkau 90 negara itu juga mempersoalkan dasar keputusan yang tidak mengakui penggunaan special purpose vehicle alias perusahaan perantara dalam penerbitan obligasi. Analis perbankan Mirza Adityaswara sepakat atas soal ini. Menurut dia, pemakaian entitas khusus, semisal BV (perseroan terbatas yang tunduk pada hukum Belanda), untuk menerbitkan obligasi di luar negeri lumrah. ”Kalau dianggap tidak berlaku bisa cacat semua obligasi yang diterbitkan lewat entitas khusus,” katanya. Itu termasuk obligasi PLN US$ 1 miliar yang akan diterbitkan lewat Majapahit Holding BV.

Yandhrie Arvian

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus