Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Tanah bercampur bebatuan yang basah dan merah diangkut oleh sebuah mesin raksasa tiada henti ke pabrik smelter milik PT Vale Indonesia. Gundukan tanah atau ore itu lalu dimasukkan ke tiga tabung besar mesin pengering bersuhu 850 derajat Celsius selama 45 menit. Hawa panas menjalar, tanah mengandung mineral yang mengering pun mulai beterbangan.
Lepas dari mesin pengering, bijih nikel masih harus dipanaskan lagi di lima tanur reduksi bersuhu 700 derajat Celsius hingga kadar airnya nol persen. Tujuannya mereduksi sebagian nikel oksida untuk menjadi nikel logam. "Ini masih tahap awal dari pengolahan. Prosesnya masih panjang untuk jadi konsentrat siap ekspor," kata General Manager Smelter PT Vale Indonesia Andi Mappaselle ketika menjelaskan proses pengolahan dan pemurnian di pabrik smelter milik Vale di Sorowako, Sulawesi Selatan, Rabu dua pekan lalu.
Setidaknya 20 ribu ton ore dipasok setiap hari dari stockpile untuk diolah di pabrik. Ore itu masih harus melalui tahap peleburan dan dilelehkan, kemudian digranulasi agar menjadi butiran nickel matte dengan kadar konsentrat 78 persen. Dari puluhan ribu ton ore yang dipasok dan belasan jam masa pengolahan, setiap hari pabrik smelter Vale hanya mampu memproduksi 250 ton nickel matte.
Kompleksnya proses pengolahan dan pemurnian membuat biaya untuk membangun smelter tidak sedikit. Direktur Utama PT Vale Indonesia Nico Kanter menyatakan Vale mengeluarkan US$ 2,5 miliar untuk membangun pabrik ini pada 1978. "Kalau dikonversi dengan kurs saat ini setara dengan US$ 3,8 miliar," katanya. Selain itu, setiap 15 tahun mesin-mesin pengolah logam tersebut perlu diperbarui. Sekali mengganti mesin bisa menghabiskan US$ 70 juta.
Namun investasi itu bukanlah hal yang sia-sia. Setidaknya untuk saat ini. Berkat smelter yang mereka miliki, Vale menjadi salah satu perusahaan tambang yang menuai manis dampak berlakunya Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun 2014 yang diterbitkan pada 12 Januari lalu. Peraturan ini merupakan penjabaran dari Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batu Bara. Dengan aturan itu, pemerintah menata kembali ketentuan pelarangan ekspor mineral mentah.
Baru tiga hari aturan itu berlaku, harga saham PT Vale Indonesia (INCO) melonjak 210 poin atau naik 8,66 persen pada penutupan perdagangan 15 Januari 2014. Harga nikel yang terus merambat naik di London Metal Exchange juga menambah berkah bagi Vale, yang memproduksi nikel 70 ribu metrik ton setahun. Kabar positif ini membuat Nico sumringah. "Kami masih melihat perkembangannya. Semoga ini bisa bertahan lama," ujar Nico, Kamis pekan lalu.
Menurut analis Trust Securities, Reza Priyambada, hasil yang diterima Vale itu wajar. Ibaratnya, Vale sudah lama menanam benih, dan kini tiba saatnya untuk memanen buahnya. Apalagi selama dua tahun belakangan ini pasar nikel di dunia berada dalam pusaran badai. Sebabnya tak lain adalah pasokan yang berlebih.
"Sayangnya, pasokan itu lebih banyak berupa ore atau bijih mentah," kata Reza. Indonesia memasok lebih dari 30 persen nikel di pasar dunia. Nikel Indonesia kebanyakan dikirim ke Cina, yang memang menerima pasokan mineral mentah dengan harga murah.
Dengan berlakunya aturan tersebut, pasokan nikel di pasar global pun menurun karena ore tidak bisa diekspor. Akibatnya, harga nikel mulai terdongkrak. Dalam perdagangan Asia pada 13 Januari lalu, harga nikel langsung tercatat naik 2,5 persen menjadi US$ 14.190 per ton. "Kenaikan harga nikel di pasar dinilai akan mempengaruhi pendapatan Vale, sehingga membawa sentimen positif," katanya. Apalagi Vale tidak terganggu dengan berlakunya aturan tersebut, karena sudah mempunyai smelter.
Vale adalah sedikit contoh dari perusahaan tambang di Indonesia yang menuai hasil manis dari pemberlakuan peraturan tentang larangan ekspor mineral mentah. Aturan tersebut lahir untuk menjalankan amanat Undang-Undang Mineral mengenai peningkatan nilai tambah di industri pertambangan dengan membuat pabrik pengolahan dan pemurnian. Karena itulah mineral mentah atau ore tak boleh lagi diekspor.
Undang-undang itu seharusnya dilaksanakan sesuai dengan Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2010 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batu Bara, yang rencananya berlaku efektif per 12 Januari kemarin. Sayang, syarat dan ketentuan dalam aturan tersebut dinilai terlalu ketat dan sulit diterapkan oleh para pengusaha tambang. Maka, alih-alih menyiapkan rencana pembangunan smelter, pengusaha tambang justru sibuk melobi pemerintah agar aturan itu dibatalkan atau ditunda.
Entah ada hubungannya entah tidak, pemerintah kemudian merilis Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun 2014. Beberapa ketentuannya diubah menjadi lebih ringan agar perusahaan tambang besar, seperti Freeport dan Newmont, tetap bisa berjalan. "Yang penting bukan ore," ujar Direktur Jenderal Mineral dan Batu Bara Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral Sukhyar. Untuk tembaga, misalnya, perusahaan tambang masih boleh mengekspor sepanjang kadarnya sudah 15 persen.
Syarat berbeda diberikan oleh pemerintah untuk komoditas nikel. Dalam aturan tersebut, pemerintah tidak memberikan batasan minimum pengolahan, tapi langsung pada pemurnian. "Karena sudah banyak smelter nikel dan tidak lazim nikel itu diolah. Bauksit juga sama, langsung pemurnian," kata Sukhyar. Toh, buat Vale, hal itu tidak menjadi masalah. Menurut peraturan itu, pemerintah menetapkan untuk nickel matte harus mencapai kadar pemurnian 70 persen. Saat ini kadar pemurnian nikel Vale sudah 78 persen.
Vale dulu dikenal sebagai PT Inco Indonesia. Perusahaan ini kemudian berganti nama karena akuisisi besar-besaran pada 2006 oleh perusahaan tambang asal Brasil. Alasan pembangunan smelter saat itu, menurut Nico, lebih kepada pertimbangan untuk investasi jangka panjang. "Kami bicara tentang bisnis yang berkesinambungan di Indonesia, harus ada investasi yang multi-beneficial."
Karena itu, ketika jadwal pemberlakuan larangan ekspor mineral mentah semakin dekat, Nico sangat berharap kebijakan tersebut bisa dipetakan dengan baik oleh pemerintah. Terutama untuk industri pertambangan nikel, di mana kebijakan pemerintah diyakininya bisa mempengaruhi harga nikel dunia. "Buktinya bisa dilihat langsung."
Meski begitu, pengamat pertambangan Simon Sembiring menilai upaya Vale untuk pemurnian masih belum maksimal. "Itu belum murni, karena di Jepang nickel matte itu masih dipanggang untuk dijadikan nikel murni," katanya. Ia menduga tidak maksimalnya pemurnian itu masih berkaitan dengan kepentingan para importir dan pemegang saham Vale, yang banyak berasal dari Jepang. Sebab, Vale akan dikenai bea masuk yang tinggi jika mengirim nikel murni ke Jepang.
Gustidha Budiartie
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo