Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
KISWODARMAWAN tak menyangka pada akhir pekan itu ditelepon Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Marzuki Alie. Apalagi Marzuki meminta Direktur Utama PT Adhi Karya itu datang ke Senayan bersama anak buahnya, M. ÂArief Taufiqurrahman, Manajer Pemasaran Divisi I Konstruksi, dua hari berikutnya.
"Pak Marzuki meminta saya menghadirkan Arief untuk konferensi pers bersama di DPR," kata Kiswo, Jumat pekan lalu.
Maka, pada Senin pekan lalu, anggota staf Marzuki menyiapkan segalanya untuk konferensi pers. Para jurnalis diundang ke ruang rapat pimpinan, lantai tiga gedung utama DPR. Marzuki pun mengutus seorang anggota staf Sekretariat Dewan untuk menjemput Arief di kantornya, kawasan Pasar Minggu, Jakarta Selatan.
Semua berpangkal pada munculnya informasi tentang aliran sejumlah uang untuk Marzuki guna memuluskan anggaran pembangunan fasilitas olahraga Hambalang dan proyek-proyek lain pada 2010. Antara lain, duit berasal dari Adhi Karya.
Marzuki mengatakan meminta Arief menjelaskan kepada publik bahwa dia tak pernah menerima fulus dari Adhi Karya. Namun rencana Marzuki gagal total. Yang dinanti-nanti tak kunjung tiba. "Ternyata dia dipanggil KPK pada hari itu," ujar Wakil Ketua Dewan Pembina Partai Demokrat ini.
Dalam jadwal pemeriksaan Komisi Pemberantasan Korupsi yang tertera pada hari itu, tak ada nama Arief. Dan memang ia tak datang ke gedung komisi antikorupsi. Yang terjadi, menurut sejumlah sumber informasi, Adhi Karya tidak bersedia memenuhi undangan Marzuki karena tak ingin dijadikan bumper. Kiswodarmawan, ketika dimintai komentar soal ini, mengatakan tak mengetahui alasan Arief. "Kalau soal itu, jangan tanya saya," ujarnya.
Gagal mendatangkan Arief, Marzuki mempersilakan Adhi Karya menjelaskan semuanya kepada penyidik. "Dijelasin saja ke KPK, ada enggak saya terima, mana, berapa," katanya.
Sejak bulan lalu, KPK menyelidiki peran sejumlah nama yang diduga terlibat korupsi proyek Hambalang. Setelah dua politikus Demokrat menjadi tersangka, yaitu mantan ketua umum Anas Urbaningrum dan mantan sekretaris Dewan Pembina, Andi Mallarangeng, kini Marzuki Alie masuk daftar sorotan.
Tiga pekan lalu, Mindo Rosalina Manulang, anak buah mantan Bendahara Umum Partai Demokrat Muhammad Nazaruddin, beberapa kali dimintai keterangan. Dalam pemeriksaan itu, penyidik menunjukkan rekaman percakapan Mindo Rosa dengan Arief Taufiqurrahman. Yang membuat Rosa kaget, dalam percakapan itu mereka membicarakan Marzuki.
Akhirnya, Rosa menyatakan telah membeberkan semua informasi kepada penyidik. Mantan Direktur PT Anak Negeri ini menyebutkan perusahaan Grup Permai milik Nazaruddin menggelontorkan duit ke Senayan untuk memperoleh proyek Hambalang. Selain ke Komisi X, yang mengurusi anggaran Kementerian Pemuda dan Olahraga, menurut dia, duit disetorkan ke Marzuki. Jumlahnya Rp 2 miliar.
Juru bicara KPK, Johan Budi S.P., membenarkan pemeriksaan terhadap Rosa. Menurut dia, penyidik memang masih terus mengembangkan pengusutan kasus Hambalang. Namun ia tak bersedia mengungkapkan materi pengembangan penyidikan. "Ada kemungkinan ditetapkan tersangka baru jika ditemukan dua alat bukti yang cukup," ujarnya.
SEBAGAI politikus dari partai penguasa, kelompok Nazaruddin memegang kendali pada pembagian jatah proyek. Hal itu tecermin dalam pertemuan di lantai dua kantor PT Anugrah Nusantara, kawasan Casablanca, Jakarta Selatan, kantor perusahaan Nazar, pada pertengahan 2009. Bos-bos perusahaan konstruksi, termasuk perusahaan pelat merah, dikumpulkan di sana.
Hadir ketika itu perwakilan dari PT Hutama Karya, PT Pembangunan Perumahan, PT Duta Graha Indah, PT Nindya Karya, PT Adhi Karya, dan Adi Wibowo. Grup Permai milik Nazar pula yang kemudian menyediakan dana untuk "belanja proyek", yaitu uang pelicin buat anggota Dewan dan pejabat pemerintah.
Tetamu itu sempat menunggu hampir sejam. Lalu tuan rumah muncul, yang diwaÂkili Mindo Rosalina Manulang dan M. Nasir, kakak Nazar. Tak perlu menunggu lama, Rosa langsung membacakan proyek-proyek jatah setiap perusahaan. (Lihat "Aliran Fulus Pemburu Hambalang".)
"Dari proyek yang didapatkan setiap perusahaan, ada komitmen fee sampai 22 persen yang harus diberikan kepada Grup Permai," kata sumber Tempo yang mengetahui pertemuan itu.
Rosa membenarkan adanya pertemuan ini kepada penyidik pada 23 November 2012. Selain dari BUMN, kata Rosa, hadir konsultan proyek. "Waktu itu Nazaruddin belum menjadi anggota DPR, masih calon anggota legislatif," ujarnya. Corporate ÂSecretary Wijaya Karya Natal Argawan Pardede dan Corporate Secretary Hutama Karya Arie Widiantoro mengatakan tak mengetahui adanya pertemuan itu. Adapun Kiswodarmawan menolak berkomentar.
Pembagian "kue anggaran" tersebut dianggap tak merata. Perwakilan Adhi Karya, perusahaan konstruksi terbesar, memprotes karena hanya mendapat proyek dengan pagu anggaran paling kecil, Rp 80 miliar. Dari jumlah itu pun hanya Rp 30 miliar untuk anggaran konstruksi. Rosa membujuk perwakilan Adhi Karya agar bersabar. "Pak, ada yang lebih gede di Hambalang," demikian bunyi pesan pendek Rosa kepada Arief.
Arief dan Rosa melanjutkan pembahasan dengan bertemu di FX Plaza, Senayan. Ikut serta rekan Rosa dari Grup Permai, Gerhana Sianipar. Rosa kepada Arief menginformasikan bahwa ia sedang mengurus proyek Hambalang dalam empat paket. Arief pun meminta bagian untuk perusahaannya, yang segera disetujui Rosa.
Ketika itu, Kementerian Pemuda dan Olahraga memang sedang mengusulkan proyek Hambalang senilai Rp 2,5 triliun. Untuk memuluskannya, Kementerian menggandeng sejumlah politikus Demokrat. Nazaruddin, Anas Urbaningrum, dan Ignatius Mulyono juga mengurus sertifikat melalui Kepala Badan Pertanahan Nasional Joyo Winoto. Dalam persidangan Kamis pekan lalu, Nazar mengakui informasi itu. Namun, dalam berbagai kesempatan, Anas membantahnya.
Guna memuluskan proyek ini di Senayan, Grup Permai dan Adhi Karya sama-sama "bermain". Grup Permai bahkan menggelontorkan uang sampai Rp 20 miliar. Uang inilah yang mengalir ke mana-mana, baik ke Kementerian Pemuda dan Olahraga, DPR, maupun Badan Pertanahan.
November tahun lalu, Yulianis dari Bagian Keuangan Grup Permai kembali membeberkan catatan pengeluaran perusahaannya kepada penyidik. Di situ tercatat dua kali pengeluaran pada Februari 2010, masing-masing US$ 450 ribu dan US$ 50 ribu. Pada 30 April 2010, ada lagi dua kali pengeluaran, sebesar US$ 200 ribu dan US$ 400 ribu. Seluruh pengeluaran tersebut diambil oleh Nazar untuk kepentingan melobi di DPR.
Namun Yulianis tidak mengetahui identitas penerima uang di Senayan. "Uang saya serahkan kepada Luthfi, sopir saya, untuk diantar kepada Nazaruddin di DPR melalui Aan, sopir Nazar," kata Yulianis.
Selain itu, ada dua kali pengeluaran yang tercatat atas nama Rosa pada 5 Mei 2010, masing-masing Rp 3 miliar dan Rp 2 miliar. Uang ini diantar oleh Luthfi ke Senayan. "Menurut Mindo Rosalina Manulang, uang untuk proyek Menpora," ujar Yulianis.
Masih pengeluaran atas nama Rosa, pada 19 Mei, uang sebesar Rp 500 juta diberikan kepada Wafid Muharam—waktu itu Sekretaris Kementerian Pemuda—melalui Paul Nelwan. Selanjutnya, pada 12 Juni dan 18 September tahun yang sama, Rosa memberikan uang dengan total Rp 200 juta kepada panitia lelang.
Di samping sejumlah pengeluaran tersebut, Rosa mengakui ada pemberian kepada Joyo Winoto sebesar Rp 3 miliar. Adapun jatah Andi Mallarangeng disetorkan melalui adiknya, Andi Zulkarnain Anwar alias ÂChoel Mallarangeng, sebesar Rp 5 miliar. Uang untuk Joyo diantar Iwan, ajudan Nazar.
Satu pengeluaran yang baru dibeberkan Rosa belakangan kepada penyidik dialirkan buat Marzuki. Memang, pengeluaran buat Wakil Ketua Dewan Pembina Demokrat ini tidak tercantum dalam catatan Yulianis. Soal ini, Yulianis mengatakan tidak semua pengeluaran dicatat secara detail peruntukannya, kecuali yang mengajukan klaim melaporkannya.
Yulianis mengatakan, dalam rapat internal pegawai Grup Permai, ia pernah mendengar nama Marzuki disebut oleh Nazaruddin. Kata dia, Nazar ketika itu mengatakan kepada Rosalina, "Bilangin sama DGI, Ros, 15 persen, jangan main-main, nanti Pak Juki marah." DGI alias Duta Graha Indah sering bekerja sama dengan Grup Permai, termasuk ketika hendak menyasar proyek Hambalang.
Pada tahun yang sama ketika Grup Permai begitu banyak mengeluarkan uang, anggaran tahun jamak Hambalang disetujui Kementerian Keuangan. Komisi Olahraga DPR ikut mendukung. Tapi, ketika proses lelang dibuka, Grup Permai yang membawa Duta Graha Indah justru tersingkir. Pemenang lelang adalah Adhi Karya dengan kontrak Rp 1,2 triliun pada Desember 2010.
Grup Permai tidak mau kalah begitu saja. Rosa bersama Lisa Lukitawati, konsultan Kementerian Pemuda dan Olahraga, bertemu dengan Arief di Hotel Dharmawangsa, Jakarta Selatan, pada Agustus 2010. Waktu itu, Rosa meminta Adhi Karya mundur. Karena Adhi Karya menolak, sepekan kemudian, Nazar mengadukannya kepada Anas Urbaningrum di rumahnya, kawasan Duren Sawit, Jakarta Timur. Anas meminta Nazar mundur dari Hambalang.
Nazar marah kepada Rosa. Ia meminta anak buahnya itu menagih uang sogokan yang sudah telanjur dikeluarkan Grup Permai. Rosa pun menemui Sekretaris Jenderal Kementerian Pemuda dan Olahraga Wafid Muharam. Melalui Lisa Lukitawati dan Paul Nelwan, anggota tim asistensi Hambalang, Wafid lalu meminta Adhi Karya menalangi "kerugian" Grup Permai itu.
Semua saksi di persidangan kasus ini membenarkan adanya uang pengganti kepada Grup Permai sebanyak tiga kali pembayaran pada bulan yang sama, Januari 2011.
JATAH Marzuki diduga dialirkan pada awal 2010. Ketika itu, Nazaruddin meminta Iwan, ajudannya, mengantarkan uang kepada Ketua Dewan. Uang senilai Rp 2 miliar, dalam bentuk dolar Amerika Serikat, ditenteng Iwan menuju kawasan Senayan. Uang diserahkan kepada anggota staf Marzuki.
Pemberian uang ini kemudian disampaikan Nazar kepada pegawai Grup Permai dalam satu pertemuan. Rosa mengetahui adanya pemberian uang tersebut. "Buat Marzuki Rp 2 miliar," kata Rosa.
Menurut Rosa, Grup Permai mendekati Marzuki yang memiliki kekuatan untuk "mengkondisikan" anggaran proyek Hambalang agar naik dari Rp 125 miliar menjadi Rp 1,5 triliun. Selain itu, ia ikut mendukung ketika dilakukan perubahan sistem penganggaran dari satu tahun menjadi tahun jamak.
Ketika dimintai konfirmasi, Nazar membenarkan sering memerintahkan Iwan mengantar uang ke Senayan. Soal uang ke Marzuki, Nazar mengaku sudah diperhadapkan dengan Iwan oleh penyidik. "Semua sudah saya jelaskan saat itu," katanya di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta, Kamis pekan lalu.
Marzuki Alie menyatakan tidak pernah menerima uang dari Nazaruddin. Ia membenarkan kabar bahwa koleganya itu pernah menawarinya uang. "Saya bilang begini, 'Nazar, you kalau mau kasih jangan kasih saya, tapi kasih ke orang saya.' Tapi saya tidak ada komitmen apa-apa," katanya. Peserta konvensi penjaringan calon presiden dari Demokrat ini mengatakan yakin Nazar tak jadi menyetorkan uang kepadanya.
Dalam perkara Hambalang, Marzuki pernah dimintai keterangan oleh KPK pada Oktober tahun lalu. Penyidik juga menanyainya soal aliran suap pada proyek pembangunan gedung baru DPR yang dibatalkan. Kepada penyidik, Marzuki membenarkan ada uang mengalir ke Senayan. Tapi ia pun menyatakan tidak pernah kebagian.
Padahal jejak Marzuki tercatat dalam kasbon pengeluaran Adhi Karya. Itu sebabnya perwakilan Adhi Karya menolak hadir ke Senayan, Senin pekan lalu. Walhasil, konferensi pers bersama yang dirancang Sang Ketua Dewan gagal digelar.
Rusman Paraqbueq, Tri Artining Putri, Wayan Agus Purnomo
Aliran Fulus Pemburu Hambalang
JAUH sebelum Pusat Pendidikan, Pelatihan, dan Sekolah Olahraga Nasional di Bukit Hambalang, Bogor, dibangun, para pemburu proyek berusaha mencuri start. Ada yang mendekati Dewan Perwakilan Rakyat untuk mengawal anggaran, ada juga yang merapat ke Kementerian Pemuda dan Olahraga sebagai penyelenggara proyek.
Sejak September 2009, Grup Permai, kelompok usaha milik Muhammad Nazaruddin, bergerak ke DPR dan Kementerian Olahraga sekaligus. Grup Permai menggelontorkan pelicin Rp 21,5 miliar ke dua tempat itu. Nazaruddin, yang menyorongkan PT Duta Graha Indah, mengincar dua proyek sekaligus: Hambalang dan Wisma Atlet SEA Games XXVI Palembang.
Belakangan, hanya proyek Wisma Atlet yang didapat. Hambalang jatuh ke PT Adhi Karya yang berkongsi dengan PT Wijaya Karya. Nazaruddin, anggota Dewan dan Bendahara Umum Partai Demokrat, meminta Kementerian Olahraga mengganti separuh dari total sogokan untuk Hambalang yang telah dialirkan.
Aliran Balik Grup Permai
DPR
Kementerian Pemuda dan Olahraga
Badan Pertanahan Nasional
Duit kembali:
Aliran Arisan Proyek Pelat Merah
Pada 2009, Nazaruddin juga mengumpulkan bos-bos perusahaan konstruksi pelat merah. Seperti arisan, Nazar membagi-bagi proyek yang anggarannya dia kawal di Dewan.
1. PT Pembangunan Perumahan
2. PT Wijaya Karya
3. PT Adhi Karya
4. PT Nindya Karya
5. PT Hutama Karya
Aliran Memutar dari Adhi
SEPERTI Grup Permai, PT Adhi Karya menebarkan besel ketika proyek Hambalang masih dalam tahap perencanaan. Dalam dakwaan Deddy Kusdinar, salah seorang penerimanya adalah Anas Urbaningrum. Bekas Ketua Umum Partai Demokrat ini disebut kecipratan Rp 2,21 miliar.
Karena duit proyek Hambalang belum cair ketika fee dialirkan, Adhi Karya membebankan pengeluaran itu pada proyek lain lewat mekanisme "bon sementara". Walau begitu, ketika duit Hambalang turun, pengeluaran akhirnya ditutup seluruhnya dari Hambalang.
Ada dua cara menutup pengeluaran untuk "bon sementara". Pertama, begitu mendapat uang muka proyek, KSO Adhi-Wika langsung menyalurkannya ke PT Adhi Karya sebagai perusahaan induk. Kedua, duit diperoleh dari subkontraktor.
Aliran Duit untuk Menutup Bon Sementara [ 1 ]
Kementerian Pemuda dan Olahraga ==> KSO Adhi-Wika ==> Adhi Karya ==> Rp 12,39 miliar.
Antara lain untuk menutup pengeluaran buat:
Aliran Duit untuk Menutup Bon Sementara [ 2 ]
Kementerian Pemuda dan Olahraga ==> KSO Adhi-Wika ð PT Dutasari Citralaras ==> Adhi Karya ==> Rp 21 miliar. Antara lain untuk menutup pengeluaran buat:
- Proyek gedung DPR ==> 19 April 2010 ==> Rp 500 juta
- Proyek lain (tak ditulis namanya) ==> 19 Mei 2010 ==> Rp 500 juta
- Proyek gedung administrasi PT Bio Farma ==> 1 Juni 2010 ==> Rp 500 juta
- Proyek gedung administrasi PT Bio Farma dan/atau proyek di Universitas Gadjah Mada ==> 18 Juni 2010 ==> Rp 500 juta
- Proyek lain ==> Rp 200 juta
- "Jamuan dan entertain" ==> 10 Desember 2010 ==> Rp 10 juta
Teks: Anton Septian Sumber: Dokumen pengadilan, wawancara
Marzuki Alie:
Nazar Pernah Mau Kasih Uang
Anda pernah diperiksa sebagai saksi kasus Hambalang dan diduga terlibat?
Mana ada. Terlibat di mana? You ngarang-ngarang saja. Di undangannya, saya dimintai keterangan sebagai saksi untuk proyek Hambalang dan lain-lain. Proyek lain-lain itu saya tidak tahu.
Ada keterangan saksi yang menyebut nama Anda terlibat….
Di mana saya terlibat? Apa konteksnya? Kalau menyebut nama saya, silakan. Saya tidak ngurusi Hambalang. Waktu kasus ini muncul, saya malah mengira itu Ambalat (wilayah di perairan Kalimantan yang pernah menjadi obyek sengketa antara Indonesia dan Malaysia).
Dalam rapat internal antara Nazaruddin dan anak buahnya pada 2010, nama "Juki" disebut mendapat jatah?
Enggak ada yang tahu nama Juki. Baru setelah konvensi Demokrat muncul nama Juki, panggilan saya waktu kecil. Dulu panggilan saya Marzuki atau Pak MA.
Benar Anda dekat dengan Nazar?
Enggak. Dia pendukung Anas Urbaningrum. Sebelum Kongres Demokrat, pada awal 2010, dia memang menelepon saya, mau ngasih uang. Saya tidak pernah mau terima.
Untuk apa dia mau memberi Anda uang?
Saya enggak tahu. Yang saya tahu, orang ini "pemain"-lah. Saya bilang, "Nazar, you kalau mau kasih jangan ke saya, tapi kasih ke orang saya." Tapi saya tidak ada komitmen apa-apa.
Pernyataan itu yang membuat Nazar menyuruh ajudannya memberikan uang lewat staf Anda?
Tidak ada staf saya yang main-main. Kalau ketahuan, saya pecat. Saya tidak mau lingkaran saya bermain-main, tapi saya kan harus ngerti bahwa mereka juga perlu uang.
Jadi Nazar memang memberi uang?
Enggak ada. Siapa yang mau kasih tanpa komitmen?
Dalam kasbon Adhi Karya, tertulis nama Anda?
Tanya saja kepada orang yang memberi. Ada enggak? Katanya, melalui konsultan. Saya panggil konsultannya ke sini, lalu berubah lagi. Katanya, melalui anak buahnya. Saya minta datangkan orang itu, biar dia ngomong di sini.
Anda pernah minta uang lewat orang lain?
Bunuh diri saya kalau melakukannya.
Kalau dikasih?
Dulu ya. Sekarang tidak. Dulu, orang terima kasih, saya terima. Sekarang, kalau mau terima kasih, saya enggak terima. Itu kan buat nambah sedekah saja.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo