SEVEN-Up, merk minuman ringan nomor tiga di AS, akhir bulan lalu dilego US$ 380 juta. Padahal, merk itu dibeli Philip Morris, 1978, seharga US$ 520 juta. Philip Morris Cos., yang dikenal sebagai perusahaan rokok dan makanan itu, rupanya gagal mencari untung pada minuman ringan yang diperkirakan beromset US$ 600 juta per tahun itu. Kini, Seven-Up dipegang PepsiCo Inc., produsen Pepsi Cola yang menjadi saingan utama Coca Cola. Pengambilan 7-Up oleh PepsiCo, kemungkinan, akan membawa pengaruh pula atas pemasarannya di Indonesia. PepsiCo mempunyai jaringan organisasi di sini, PT Karsa Agung Sari, yang memegang hak pembotolan dan pemasaran Pepsi. Sedangkan Seven-Up dibotolkan dan dipasarkan PT Perusahaan Limun Indonesia (PLI), untuk wilayah Jawa dan Indonesia Bagian Timur, dan PT Trans Toba untuk Sumatera Utara. Hak pembotolan dan pemasaran 7-Up, menurut Direktur PLI Tanri Abeng, berdasarkan perjanjian tahunan dengan Philip Morris, bahwa PLI diwajibkan membeli bahan baku dari Philip Morris. "Kami tidak membayar franchise fee," tuturnya. Sampai awal pekan lalu, pihak Philip Morris maupun PepsiCo belum menjelaskan apakah pemasaran 7-Up akan digabungkan dalam Jalur Pepsi ataukah tetap pada PLI dan Trans Toba. Namun, General Manager PLI Frits W. Triman yakin bahwa pemasaran 7-Up masih akan diteruskan seperti berlaku sekarang. "Manajemen mungkin akan dipegang Pepsi, tapi pembotolan dan pengedaran di luar AS tidak akan berubah, " tutur Triman . Ketua dan Kepala Eksekutif PepsiCo di New York sendiri, Donald M. Kendall, seperti dikutip kantor berita AP dan Reuter, mengatakan bahwa kerja sama lebih erat akan dijalin dengan jaringan para pembotol 7-Up. Seven-Up, yang dipasarkan PLI, menurut Tanri Abeng, di Pulau Jawa saja bisa mencapai 60.000 peti setiap bulan. Tapi, diakuinya, angka itu masih jauh di bawah Coca Cola. Ada beberapa hal dikemukakan Triman, mengapa produksi 7-Up kalah dibanding minuman ringan lain. Pertama, PLI sebagai perusahaan modal asing tidak diperkenankan melakukan distribusi sendiri. PLI hanya mempunyai dua pabrik (di Jakarta dan Surabaya). Sedangkan Coca Cola seperti diumumkan PT Coca Cola Indonesia pekan lalu -- sudah memiliki 10 pabrik yang tersebar di beberapa provinsi. Lagi pula, menurut Triman, dalam tiga tahun terakhir ada gejala selera konsumen beralih ke minuman ringan yang tidak mengandung gas. Parahnya pula, Seven-Up International tidak menunjang pemasaran dengan kampanye, bahkan terjadi saingan antar pembotol anggota franchise. "Sekarang, banyak beredar 7-Up selundupan yang lebih murah dari produk kami," keluh Triman. Belum jelas, bagaimana manajemen PepsiCo akan membenahi masalah-masalah yang dialami para pembotol Seven-Up seperti PLI itu. Merk Pepsi sendiri di sini tidak terlalu gencar seperti Coca Cola. Tapi di India, tahun lalu, PepsiCo sepakat dengan perusahaan Duncan untuk menanamkan investasi US$ 125 juta. Di negeri berpenduduk 730 juta jiwa, yang menenggak rata-rata 6 botol minuman ringan per tahun itu PepsiCo mendirikan 20 pabrik pembotoi Pepsi. Pekan lalu, PepsiCo juga mengumumkan di AS bahwa mulai April nanti akan menjual dua jenis minuman ringan baru: Cherry Cola Slice dan Apple Slice. Perusahaan itu mengatakan bahwa bisnis minuman ringannya, tahun 1984, meraih untung US$ 246 juta dari omset US$ 2,9 milyar. Di Amerika, dewasa ini minuman Pepsi menguasai 28% dari pasar, sedangkan 7-Up menguasai sekitar 6%. Coca Cola masih paling besar, yakni menguasai 40% dari pasar minuman ringan AS, yang seluruhnya berkisar US$ 26 milyar. Max Wangkar Laporan Budi Kusumah (Jakarta)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini