PADA masa resesi begini, kopi membahagiakan orang. Para petani kopi di Blitar -- juga daerah penghasil kopi lainnya -- tertawa senang ketika tahu harga komoditi itu menembus angka Rp 3 ribu lebih per kilogram. Tengkulak pun makin rajin pergi ke desa, membujuk petani yang tak tahu perkembangan harga, agar segera menjual kopinya. Sedang di London, Organisasi Kopi Internasional (ICO) sibuk membahas menjulangnya harga itu sebelum memutus membekukan sistem kuota, mulai minggu depan. "Ini peluang emas," kata Dharyono Kertosastro. Ketua Asosiasi Eksportir Kopi Indonesia (AEKI) itu menilai: putusan sidang di London yang dihadirinya itu merupakan pekerjaan rumah bagi pihaknya. Mampukah Indonesia mengekspor kopi lebih banyak? Enam bulan tanpa hujan di Brasil-lah yang menyebabkan semua itu. Kemarau mengeringkan kebun-kebun kopi di sana, dan merusakkan lebih dari separuhnya. Panen tahun lalu masih mencapai 32,5 juta karung, tapi tahun ini Brasil hanya akan mampu memetik 15 juta karung kopi. Tahun-tahun sebelumnya sanggup mengisi pasar negara konsumen anggota ICO sebanyak 30 juta karung, dengan jatah kuotanya, tapi negara yang menyuplai sepertiga konsumsi kopi dunia itu kini hanya bisa menyerahkan 12 juta karung. Pasar internasional pun guncang. Tangis para petani kopi Brasil malah menaikkan harga kopi dunia. Di London Commodity Exchange, bulan lalu, harga kopi untuk penyerahan bulan Maret mencapai US$ 4,45 setiap kilogram. Sedang di tingkat grosir Amerika Serikat mencapai US$ 7 untuk berat yang sama auni tahun lalu masih sekitar US$ 5. Bagi Indonesia, membubungnya harga kopi dan dibekukannya kuota adalah kesempatan baik. Tahun lalu, sampai Agustus, kita mengekspor 208 ribu ton kopi -- termasuk jatah ICO sebanyak 140 ribu ton. Jumlah itu memberikan devisa US$ 378 juta. Dengan keadaan yang makin baik sekarang ini, diproyeksikan Indonesia akan meraih devisa US$ 900 juta setahun. "Saya yakin ekspor kopi kita bakal naik," kata Dharyono. Mana pun negara yang membutuhkan, berapa pun Jumlah yang diminta, bakal bisa dipenuhi selama tidak lebih dari jumlah produksi. Membaiknya nilai ekspor kopi -- yang menurut Dharyono meningkatkan pendapatan petani hingga 40% -- bisa terasa sebagai angin harum bagi Indonesia. Pada komoditi lain, tak hanya minyak bumi yang melorot nilainya. Harga dunia untuk komoditi karet, kayu lapis, minyak sawit, teh, udang, bahkan logam timah maupun nikel, masih terus merosot hingga saat ini. Sedang volume ekspornya, hanya minyak sawit yang terus meningkat seiring dengan berkurangnya produksi sawit Malaysia, serta sedikit pada nikel. Penghasil kopi lainnya, Kolombia, Meksiko, dan Pantai Gading, jelas tidak mampu menutupi kekurangan suplai dari Brasil. Namun Indonesia tetap akan memberlakukan kuota, walaupun tingkat internasional sudah bebas kuota. Alasannya, untuk selalu ada stok dalam negeri. Sedang Jumlah eksportir, lagi-lagi, dibatasi yang sudah terdaftar saja 324 eksportir yang tercakup dalam 10 Badan Pemasaran Bersama. Eksportir baru tak mendapat izin. Bila jatah ekspor tetap diberlakukan, lalu apa untungnya bebas kuota bagi Indonesia? Kuota baru akan diberlakukan lagi nanti bila harga kopi telah turun sampai 1,5 dolar per pon. Tingkat harga itu baru akan tercapai bila kondisi kebun kopi Brasil pulih. Dan tingkat produksi kopi Brasil diramalkan baru normal dua sampai lima tahun mendatang. Lalu selama itu apa yang bisa diperoleh selain hanya kenaikan harga? Zaim Uchrowi Laporan M. Baharun (Surabaya)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini