Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
LEMAHNYA kurs rupiah atas dolar, sejak Mei lalu, mulai berbuah derita. Kenaikan harga produk, terutama barang konsumsi, diperkirakan mulai main bulan depan. Indikasi itu sudah diutarakan setidaknya oleh produsen makanan bayi, sejak rupiah menembus Rp 9.000 per dolar AS. Hingga Jumat pekan lalu, kurs rupiah atas dolar masih terkulai pada posisi 9.390.
Ketua Asosiasi Perusahaan Makanan Bayi, Victor S. Ringoringo, sudah melempar sinyal. Sejak kurs rupiah melemah atas dolar, katanya, secara psikologis harga susu bayi akan naik. Komponen bahan bakunya, terutama susu bubuk, hampir 80 persen masih diimpor. Susu bubuk impor itu kebanyakan dibeli dari Australia, Selandia Baru, dan Amerika Serikat.
Tahun ini, volume impor susu bubuk diperkirakan mencapai 170 ribu ton atau setara dengan satu miliar liter. Padahal produksi nasional tak sampai separuhnya: 450 juta liter. Keadaan makin runyam dengan kenaikan harga susu bubuk Selandia Baru, dari US$ 1.600 menjadi US$ 2.200 per ton. Rupanya, stok di sana juga sedang turun. "Saya memperkirakan, semua produsen akan menaikkan harga dalam waktu dekat," kata Victor.
Kontan saja konsumen mulai ketar-ketir, terutama para ibu muda. Berapa kira-kira kenaikan harga susu bayinya? Dixi, ibu tiga anak yang ditemui di sebuah supermarket di kawasan Jakarta Barat, mencoba bercerita. Selama ini, anaknya yang berusia hampir tiga tahun minum susu Bendera. Ia biasa membeli kemasan 400 gram dengan harga Rp 15 ribu. "Kalau naiknya sedikit, saya tetap beli," kata Dixi, 35 tahun, "Tapi, kalau naiknya sampai ribuan, saya akan beralih ke merek lain atau membeli susu kental manis saja."
Pemerintah pun merasa perlu turut campur. Menteri Perindustrian dan Perdagangan Rini M.S. Soewandi meminta produsen tidak menaikkan harga jual produknya, setidaknya satu hingga dua bulan ke depan. "Kurs rupiah atas dolar masih fluktuatif," katanya seusai sidang kabinet di Istana Negara pekan lalu, "jadi belum dapat dijadikan dasar menaikkan harga."
Tapi Direktur Gabungan Perusahaan Makanan dan Minuman Indonesia, Thomas Darmawan, memperkirakan produsen susu bayi menaikkan harga mulai bulan depan. Ia cuma mengharapkan produsen tidak menaikkan harga terlalu tinggi. Kenaikan harga sangat bergantung pada kemampuan daya beli masyarakat. Jika produsen tidak cermat menentukan harga jual baru, masyarakat akan beralih ke merek lain yang kenaikan harganya lebih tipis. "Kondisi pasar saat krisis 1998 bisa menjadi contoh," kata Thomas. Krisis 1998 memang pengalaman tak terlupakan bagi produsen susu bayi. Waktu itu problemnya sama: rupiah remuk-redam dianiaya dolar. Akibatnya, produsen menaikkan harga. Tapi apa yang terjadi? Pasar susu bayi malah turun 20 persen, dari 30 ribu ton menjadi 24 ribu ton.
Sikap hati-hati setidaknya diperlihatkan PT Frisian Flag Indonesia. Perusahaan yang baru main di susu bayi setahun lalu itu mengaku belum berani mengambil tindakan apa pun menyiasati kondisi pasar sekarang, termasuk perkara harga. Menurut Direktur Umum PT Frisian Flag, Hendro Hendrawaji, harga merupakan problem dilematis karena menyangkut daya beli. "Kami pemain baru, jadi belum berani ngoyo dengan pasar seketat sekarang," katanya.
Meski begitu, ia mengaku sulit menghindari kenaikan harga jual produknya. Komponen impornya masih tinggi, mencapai 75 persen. Sementara itu, PT Abbott Indonesia, yang memasarkan susu merek Pediasure, mengaku tidak terpengaruh atas melemahnya kurs rupiah terhadap dolar. Meski diimpor langsung dari Chicago, Amerika Serikat, hingga kini Pediasure tetap dijual dengan harga sekitar Rp 57 ribu per 400 gram.
Rahasianya, kata Manajer Pemasaran PT Abbott Indonesia, Etty Ginanjar, perusahaannya memiliki patokan kurs sendiri yang ditentukan kantor pusat di Chicago. "Jadi, biarpun rate-nya sekarang naik, kami tetap ikut rate yang dipatok kantor pusat," katanya kepada Dimas dari Tempo News Room. Majalah Swa edisi terbaru melaporkan, pangsa pasar Pediasure mencapai 20 persen. Padahal perusahaan ini baru masuk pasar pada 1999.
Lain lagi PT Nestle Indonesia. Produsen makanan dan minuman asal Swiss ini mengaku bersikap konservatif atas kebijakan harga, meski sebenarnya kurs sekarang di atas patokan kurs Nestle Indonesia. "Keputusan menaikkan harga atau tidak, termasuk besarannya, bergantung pada kajian perusahaan atas perkembangan situasi moneter serta tren bisnis dan ekonomi akhir-akhir ini," kata Kepala Humas PT Nestle Indonesia, Brata T. Hardjosubroto.
Menurut Victor S. Ringoringo, produsen hati-hati menaikkan harga karena khawatir pangsa pasarnya justru akan menurun, bukannya bertambah, seperti pasar saat krisis 1998. Apalagi kondisi pasar susu bayi sekarang disesaki 22 merek dari 10 pemain besar. Kompetisi makin ketat sejak tahun lalu karena PT Friesche Vlag Indonesia masuk pasar susu bayi dengan merek Bendera 123.
Setelah krisis, pasar susu bayi di Indonesia memang menjanjikan. Dengan angka kelahiran bayi nasional sekitar 2 persen dari total penduduk, setiap tahun ada 4,5 juta bayi. Apalagi konsumsi susu bayi per kapita juga baru 25 gram per tahun. Jadinya, pasar susu bayi diperkirakan tumbuh 12 persen setiap tahun. Tahun ini pasarnya diperkirakan mencapai 40 ribu ton dengan nilai Rp 3 triliun.
Pasar semakin sengit setelah pemerintah hanya mengenakan bea masuk 5 persen untuk susu impor, dari semula 23 persen. Situasi ini dimanfaatkan banyak perusahaan dengan memasarkan susu bayi impor sistem lisensi. PT Indemix Alpha, misalnya, memasarkan produk Enfamil, Enfapro, dan Prosobee dengan lisensi Mead Johnson dari Amerika. PT Wirayuda Esthitama memasarkan Procal dan Promil dari Wyeth. Sedangkan PT Sanghiang Perkasa memasarkan Morinaga dan Chilmill dari Morinaga, Jepang.
Menurut Victor, kebanyakan perusahaan multinasional itu menjual susu bayi dengan sasaran konsumen kelas atas. "Persaingan di kelas ini sangat ketat karena konsumennya tidak terpengaruh harga," katanya. Lain halnya pasar konsumen kelas menengah ke bawah. Di sini justru produk lokal mendominasi. Saat ini pasarnya dikuasai tiga pemain: PT Sari Husada dengan merek SGM, PT Nestle Indonesia dengan Dancow dan Lactogen, serta PT Mirota Ksm dengan Lactona. Merek SGM menguasai pasar tertinggi: 45 persen. Berikutnya Dancow sekitar 30 persen, dan sisanya dibagi merek lain.
Susu bayi tak hanya alot di pasar. Terutama untuk susu bayi pengganti air susu ibu (ASI), aturan mainnya sangat ketat karena harus mengikuti etika Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) dan SK Menteri Kesehatan No. 237/1997. Prinsipnya, aturan main itu menyatakan bahwa produk susu bayi berumur 0-1 tahun tidak boleh beriklan di media massa. Susu anak berumur di atas satu tahun dibebaskan dari aturan itu. "Pasar susu bayi berumur 0-1 tahun sangat ketat karena keputusan pemakaiannya murni atas pertimbangan medis tenaga kesehatan, bukan marketing," ujar Victor.
Untuk saat ini, produsen memang belum menaikkan harga jualnya. Berbagai produk susu anak berumur di atas 1 tahun ukuran 400 gram masih setia pada harga lamanya. Sebut saja Nutrima Rp 25.000, Enfagrow Rp 40.875, Pediasure Rp 57.575, Procal Gold Rp 55.850, Nutrilon 3 Rp 35.000, dan Chilmill Rp 16.000. Tapi ada baiknya para ibu bersiap dengan menyisihkan duit lebih banyak untuk kesehatan sang penerus.
M. Syakur Usman
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo