Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
SALING tuding mewarnai pertemuan di ruang rapat lantai lima Departemen Perhubungan, Kamis pekan lalu. Pertemuan antar-perwakilan maskapai penerbangan itu berubah jadi makin panas ketika membahas dampak kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM). Suara floor terpecah. Banyak yang merasa harus menaikkan tarif, tapi sebagian lagi justru menolak. Kenaikan harga bahan bakar menyulut babak baru pertarungan keras di bisnis angkutan udara.
Pada 1 Juni lalu, Pertamina menaikkan harga avtur (bahan bakar pesawat bermesin jet) dan avgas (bahan bakar pesawat berteknologi baling-baling). Avtur naik dari Rp 2.574 menjadi Rp. 3.014 per liter, sedangkan Avgas dari Rp 5.467 menjadi Rp 5.808 per liter. Kenaikan ini tak lepas dari harga minyak mentah di pasar dunia, yang fly sampai di atas US$ 40 per barel. Ini kenaikan tertinggi selama 20 tahun terakhir. Karena avtur dan avgas tergolong BBM tak bersubsidi, kenaikan harganya tak bisa ditindas.
Dalam persaingan bisnis penerbangan yang superketat seperti sekarang, kenaikan harga bak simalakama. Maklumlah, kini ada 27 perusahaan yang bertarung di udara. Jika harga tak dinaikkan, maskapai penerbangan bisa "patah sayap". Sebaliknya, jika kelewat tinggi mengerek harga, maskapai harus bersiap-siap melihat pesawatnya kosong melompong ditinggalkan penumpang.
Tak aneh jika maskapai nasional saling mengintip sebelum menaikkan harga. "Mereka takut kehilangan permintaan," kata Teuku Burhanuddin, Sekretaris Jenderal Asosiasi Perusahaan Penerbangan Indonesia (INACA). Tiga pemain besar di angkasa Nusantara, Garuda, Merpati, dan Lion Air, terlihat sangat berhati-hati menghadapi dilema ini. Padahal sumbangan BBM dalam ongkos produksi perusahaan penerbangan mencapai 30-35 persen dari total biaya produksi.
Merpati bisa disebut paling berani melakukan langkah tidak populer ini. Sejak 22 Mei lalu, perusahaan penerbangan yang dimiliki pemerintah itu menaikkan tarif 10-15 persen untuk rute-rute dari dan menuju Jakarta. Untuk rute lain, Merpati menyatakan masih akan melihat perkembangan harga minyak.
Sikap wait and see juga dipasang Garuda. Untuk rute-rute domestik, Direktur Niaga Garuda, Bahrul Hakim, menyatakan bahwa harga yang dipasang Garuda akan mengikuti permintaan pasar. "Kita punya mekanisme yang menyesuaikan tarif dengan permintaan," katanya. Untuk rute internasional, pilihan yang diambil Garuda lebih jelas. Dari 24 rute internasional yang diterbangi Garuda, hanya rute Australia-Jakarta dan Selandia Baru-Jakarta yang dikenai biaya tambahan (surcharge), masing-masing Aus$ 15 dan NZ$ 12.
Yang paling hati-hati siapa lagi kalau bukan Lion. Sebagai maskapai yang mengandalkan "obral", kenaikan harga bahan bakar bak tamparan di pipi. Namun Lion ternyata lebih memilih mempertahankan pasarnya ketimbang menaikkan tarif. "Kami memilih bertahan, meskipun keuntungan bakal tergerus," kata Rusdi Kirana, pemilik Lion Air.
Dalam hitungan Rusdi, kenaikan harga avtur sebesar Rp 500 paling-paling hanya akan mengurangi margin labanya. Rusdi memberikan contoh, satu jam penerbangan membutuhkan 4.000 liter avtur. Dengan demikian, ongkos tambahan yang harus ditanggung sekitar Rp 2 juta. Jika pesawat Lion terisi penuh, sekitar 150 orang, kenaikan biaya yang ditanggung per penumpang kurang-lebih Rp 13 ribu. "Kenaikan harga BBM ini kan hanya temporer, sementara membentuk pasar sulitnya bukan main," Rusdi menambahkan.
Pilihan Lion tak menaikkan harga menjadikannya tak populer di mata maskapai penerbangan lain. Apalagi juru bicara Lion Air sempat menyatakan maskapainya tidak akan mengutak-atik harga jual hingga harga minyak di pasar dunia menyentuh US$ 50 per barel. Pernyataan itulah yang meletikkan bara dalam pertemuan di Departemen Perhubungan tadi. "Itu sama saja mengajak kita bunuh diri sama-sama," kata seorang petinggi maskapai nasional, jengkel.
Apalagi Asosiasi Perusahaan Penerbangan Internasional (IATA) sudah mengeluarkan hitung-hitungan soal dampak kenaikan harga minyak mentah ini. IATA memprediksi, jika harga minyak di pasar dunia tak bergerak dari rata-rata harga selama bulan Mei 2004, yakni di atas US$ 35 per barel, perusahaan penerbangan mana pun setidaknya akan menanggung kenaikan biaya operasi antara 2,5 persen dan 3,5 persen.
Jika harga minyak mentah sudah di atas US$ 36 per barel, semua maskapai penerbangan di dunia bakal terengah-engah mengepakkan sayap. Repotnya, dalam penghitungan pengamat perminyakan Kurtubi, gonjang-ganjing minyak ini bakal bertahan hingga akhir 2005. Diperkirakan kondisi ini akan merepotkan banyak perusahaan penerbangan, terutama pemain baru atau perusahaan penerbangan kecil.
Memang pintu maskapai penerbangan belum tertutup. Pasar angkutan udara dalam tiga tahun terakhir tumbuh rata-rata 32 persen. Tahun lalu jumlah penumpang angkutan udara di Indonesia diperkirakan mencapai 17 juta, sedangkan tahun ini diperkirakan 21 juta. Pasar sebesar itulah yang menjadi sasaran perusahaan-perusahaan penerbangan baru.
Tak bisa pula dimungkiri, sebagian besar penumpang pesawat tergolong baru dan melirik kelas ekonomi. Dan tak bisa dilupakan, sebagian besar dari mereka pindah dari moda angkutan lain ke penerbangan lantaran harga tiket penerbangan yang murah. Karena itu, jika tarif dinaikkan, tak ada jaminan mereka bisa dicegah balik ke moda angkutan sebelumnya. Kalau itu terjadi, banyak perusahaan penerbangan mesti merevisi rencana ekspansinya, bahkan sekadar bertahan pun tak mudah.
Memang, sebentar lagi Indonesia akan memasuki musim liburan. Selain itu, pada Juli-Agustus biasanya kedatangan turis asing ke Indonesia mencapai puncaknya. Perusahaan penerbangan mungkin bisa menggenjot harga tiket. Tapi peak season ini pun tak akan bertahan lama. Dan jika harga minyak mentah tak turun juga, perusahaan penerbangan kembali menghadapi masalah kenaikan biaya operasi.
Karena itu, pemerintah sebaiknya awas terhadap trik-trik perusahaan penerbangan yang kini bak dalam pasungan. Bukan tidak mungkin persaingan ketat di bisnis penerbangan akan mengorbankan tingkat keselamatan penumpang. Dan untuk menjaga agar persaingan antarmaskapai tetap sehat, Departemen Perhubungan bisa saja mensyaratkan tiap-tiap maskapai diaudit ketaatannya terhadap prosedur keselamatan.
Bagi masyarakat, hasil audit itu bisa menjadi pedoman memilih maskapai. Sedangkan bagi perusahaan penerbangan, audit akan menjadi pagar agar mereka tak mengorbankan prosedur keselamatan demi menguber jumlah penumpang (load factor). Rusdi dan Wahyu Hidayat dari Pelita mengaku tak berkeberatan dengan audit semacam itu. "Asal yang ditunjuk mengaudit merupakan pihak independen," kata Wahyu.
Thomas Hadiwinata
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo