Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Bisnis Sepekan

14 Juni 2004 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Miranda Terpilih

Seperti yang telah diperkirakan, langkah Miranda Swaray Goeltom menuju kursi Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia (BI) tak terbendung.

Miranda mengungguli para pesaingnya, Budi Rochadi (Kepala Perwakilan BI di Tokyo) dan Hartadi A. Siswono (Deputi Gubernur BI), dalam pemungutan suara di Komisi Keuangan dan Perbankan DPR. Miranda memperoleh 41 suara, sedangkan Budi dan Hartadi masing-masing hanya 12 dan 1 suara.

Miranda akan menggantikan Anwar Nasution, yang pensiun dari kursi deputi gubernur senior, Juli mendatang. Sebelum terpilih sebagai deputi gubernur senior, Miranda pernah ikut bersaing memperebutkan kursi gubernur bank sentral tahun lalu. Saat itu ia dikalahkan oleh Burhanuddin Abdullah. "Saya yakin tidak akan ada masalah dalam kerja sama," ucap Miranda, menjawab keraguan publik terhadap kecocokan antara dirinya dan Burhanuddin.

Pemilihan deputi gubernur senior sempat diwarnai oleh aksi protes. Transparency International Indonesia, Institute for Development Economic and Finance (Indef), dan Masyarakat Profesional Madani berunjuk rasa di depan ruang Komisi Keuangan dan Perbankan DPR menjelang acara pemilihan. "Tiga orang yang dicalonkan belum ada yang memenuhi persyaratan," ucap Drajad Wibowo dari Indef.

Meredam Dolar

Dewan Gubernur Bank Indonesia akhirnya menaikkan rasio giro wajib minimum (GWM) dalam mata uang rupiah yang harus dipenuhi oleh perbankan.

Deputi Gubernur BI, Hartadi Sarwono, menyatakan bahwa kenaikan itu merupakan upaya bank sentral menyerap kelebihan likuiditas perbankan sehingga bisa meredam penguatan dolar Amerika Serikat terhadap rupiah.

Kenaikan dengan rentang 1-3 persen tersebut diberlakukan untuk setiap bank yang menyimpan dana pihak ketiga lebih dari Rp 1 triliun. Untuk bank yang memiliki dana pihak ketiga kurang dari Rp 1 triliun, rasio GWM tetap 5 persen. Adapun bank yang memiliki dana pihak ketiga di atas Rp 50 triliun wajib memelihara GWM 8 persen, atau naik 3 persen dari ketentuan lama.

Sedangkan untuk bank yang memiliki dana pihak ketiga Rp 10 triliun hingga Rp 50 triliun, naik 2 persen menjadi 7 persen. Kenaikan 1 persen dikenakan pada bank yang menguasai dana pihak ketiga Rp 1 triliun hingga 10 triliun, sehingga GWM yang harus mereka penuhi menjadi 6 persen.

Untuk setiap kenaikan GWM yang diberlakukan, bank sentral memberikan jasa giro 3 persen per tahun. Aturan baru tersebut berlaku efektif sejak 1 Juli 2004.

Butuh Jutaan Rumah

Indonesia masih membutuhkan enam juta rumah untuk memenuhi kebutuhan tempat tinggal yang layak bagi penduduk yang kini sudah mencapai sekitar 230 juta jiwa. Butuh waktu paling tidak tujuh tahun untuk membangunnya.

Namun, jangankan enam juta, program satu juta rumah, yang Oktober tahun lalu dicanangkan Presiden Megawati Soekarnoputri, pembangunannya baru terealisasi 30 ribu unit hingga akhir 2003. "Karena ternyata 70 persen anggaran negara digunakan untuk membayar utang," kata Wakil Ketua Komisi Keuangan dan Perbankan DPR, Paskah Suzetta, di Jakarta, Kamis pekan lalu.

Sampai saat ini, menurut Ketua Real Estate Indonesia, Yan Mogi, program satu juta rumah yang dapat direalisasikan baru sekitar 200 ribu unit. Meski begitu, ia optimistis tahun ini jumlahnya bisa meningkat 60 ribu hingga 70 ribu unit lagi. "Pelan tapi pasti maju. Ini butuh waktu," katanya.

Presiden Direktur PT Bank Permata Tbk., Agus Martowardojo, mengatakan bahwa program satu juta rumah ini didukung oleh kalangan perbankan. Semua bank berminat membiayai kredit pemilikan rumah. "Tapi banyak orang yang menunda membeli rumah karena krisis."

Lativi Setor Aset

Seperti halnya Badan Penyehatan Perbankan Nasional yang sudah dibubarkan, PT Bank Mandiri Tbk. kini gencar mengejar debitor untuk menyerahkan aset sebagai jaminan atas pinjaman mereka.

Mandiri telah meminta Pasaraya, Lativi, dan PT Domba Mas menyerahkan aset sebagai bagian dari restrukturisasi kredit mereka yang hingga kini masih seret. "Lativi sudah menyerahkan aset senilai Rp 200 miliar," kata Direktur Utama Mandiri, E.C.W. Neloe, di Jakarta, Kamis pekan lalu.

Pengikatan aset yang terdiri dari harta tak bergerak tersebut merupakan bagian dari penyelesaian kredit macet stasiun televisi milik pengusaha Abdul Latief itu. Jumlah tersebut sekitar 62 persen dari total utang Lativi senilai Rp 320 miliar.

Mandiri juga sudah meminta Pasaraya, perusahaan yang juga dikuasai Menteri Tenaga Kerja semasa Presiden Soeharto itu, melakukan langkah serupa. Akan tetapi perusahaan yang bergerak di bidang pusat belanja ini belum menyerahkan aset guna melunasi utang senilai Rp 400 miliar yang macet. "Masih dalam usaha," kata Neloe.

Sedangkan untuk kredit macet Domba Mas senilai Rp 1 triliun dan PT Kiani Kertas sebesar US$ 170 juta (Rp 1,53 triliun dengan kurs Rp 9.000), manajemen Mandiri masih berusaha melakukan restrukturisasi.

Kuota Impor Ternak

Di negeri ini, penyelundupan ternyata sudah merambah ke segala sektor, termasuk peternakan. Untuk mengatasi penyelundupan produk dan hasil ternak, Departemen Pertanian akan menetapkan kuota impor agar pengawasan terhadap produk tersebut semakin mudah.

"Kuota diperlukan untuk mengatasi penyelundupan produk ternak, seperti telur dan daging, yang marak terjadi akhir-akhir ini," kata Direktur Jenderal Bina Produksi Peternakan, H.R. Wasito, di Jakarta, Kamis pekan lalu.

Pemerintah telah meminta para pelaku industri peternakan agar memberikan masukan untuk menentukan berapa kebutuhan nasional, dan berapa yang bisa dipenuhi produksi dalam negeri. "Dengan demikian dapat diketahui kekurangan yang harus diimpor."

Dari data yang ada sekarang, kata Wasito, yang hingga kini masih menjabat Dekan Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Gadjah Mada, kebutuhan daging dalam negeri rata-rata 480 ribu ton per tahun. Sedangkan yang dapat dipenuhi dari produksi dalam negeri hanya sekitar 340 ribu ton. Kekurangan sebanyak 140 ribu ton diimpor dalam bentuk daging segar (40 ribu ton) dan sapi bakalan untuk digemukkan (100 ribu ton).

Bulog Bangun Pabrik

Bisnis gula masih dirasa "manis" bagi Perum Bulog. Meski perannya sebagai importir terdaftar sudah dicabut oleh Departemen Perindustrian dan Perdagangan, Bulog tak rela melepas begitu saja potensi besar dalam bisnis komoditas tersebut.

Bagaimana tidak. Setiap tahun negeri ini membutuhkan 3,7 juta ton gula. Namun pasokan dari dalam negeri hanya mampu memenuhi 1,7 juta ton. Sehingga setiap tahun Indonesia harus mengimpor gula untuk menutup kebutuhan tersebut. Potensi inilah yang dicoba diambil oleh Bulog. "Kami akan membangun pabrik gula," kata Direktur Utama Bulog, Widjanarko Puspoyo.

Pabrik gula tersebut akan dibangun di Serang, Banten, dengan nilai investasi sekitar Rp 1 triliun. Kapasitas produksinya direncanakan 240 ribu ton per tahun. Pencanangan perdana proyek pabrik direncanakan mulai tahun ini juga. "Kami akan masuk ke bisnis industri pangan strategis," kata Widjanarko kepada pers, Kamis pekan lalu.

Nihil untuk BNI

PT Bank Negara Indonesia Tbk. (BNI) ternyata hingga kini belum mendapatkan kembali duit yang dibobol oleh kelompok usaha Gramarindo lewat manipulasi letter of credit (L/C) senilai Rp 1,7 triliun.

Setelah semua usaha, termasuk pemblokiran rekening tersangka dan penghentian proses pengucuran kredit yang sedang berjalan, total duit yang masih nyangkut Rp 1,2 triliun lebih. Namun proses penarikan kembali dana dari tangan para tersangka macet total. Bahkan pemilik Gramarindo, Maria Pauline Lumowa, hingga kini masih buron. "Hasilnya masih nihil," kata Sigit Pramono, Direktur Utama BNI

Padahal BNI telah meminta bantuan kepolisian dan kejaksaan untuk pengikatan aset para tersangka yang sempat diklaim bernilai Rp 827 miliar. "Pengikatan di depan notaris terhambat karena para pelaku selalu mengulur waktu dengan aneka alasan," kata Sigit.

Merespons kelambatan kinerja aparat hukum ini, para wakil rakyat di DPR berencana memanggil kepolisian dan para tersangka pelaku pembobolan itu.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus