TAK ada yang percaya ketika Abdul Rauf Soehoed, Presiden Komisaris PT Inalum, meramalkan bahwa harga aluminium bakal mencapai 1.800 dolar AS. Dianggap bercanda. Sekarang, coba tengok bursa aluminium di London, LME (London Metal Exchange): harga anggun bertengger di tingkat 1.900 dolar -- 500 dolar di atas harga tertinggi yang pernah dicapai, dua tahun lalu, 1.400 dolar per ton. Ramalan bekas menteri perindustrian itu emang dikemukakan, tahun lalu, pada saat harga lagi lembek: 1.100 dolar per ton. Dan penjualan Inalum, yang ketika itu ditargetan 363 juta dolar, berantakan. Pantas saja alau A.R. Soehoed dianggap banyak orang seperti bermimpi di siang bolong. Sekarang LME mengerek bendera SOS. "Kami sudah menyiapkan peraturan khusus untuk menghadapi keadaan darurat," ujar Paul Shuman, salah seorang ketua komisi LME yang mengurus soal option contract (kontrak yang harganya ditentukan kemudian), pekan lalu. Suasana darurat memang tak terhindarkan. Bayangkan, sampai pekan lalu, gudang aluminium LME hanya berisi 86 ribu ton. Padahal, kebutuhan sampai beberapa bulan mendatang, sesuai dengan kontrak yang harganya akan ditentukan kemudian, bursa harus menyediakan 105 ribu ton. Itu pun belum termasuk kontrak-kontrak jadi sebesar 225 ribu ton yang pengirimannya harus tuntas bulan depan. Sementara itu, Kanada mengirim isyarat bahwa keadaan akan semakin runyam. Urusan pemogokan buruh pabrik aluminiumnya yang terbesar di dunia, Alcan, masih mentok di jalan buntu. Akibatnya, para analis dari LME meramalkan bahwa, dalam jangka pendek, pasokan aluminium dunia akan susut lagi sampai 550 ribu ton setahun. Dan Jepang, sebagai penyerap aluminium paling lahap di dunia, belum menunjukkan tanda-tanda kekenyangan. Bahkan diperkirakan, dalam tahun ini, kebutuhan kekaisaran itu akan melewati dua juta ton. Selain itu diramalkan juga bahwa sampai akhir tahun ini permintaan aluminium di pasar dunia bakal mencapai 13,4 juta ton. Artinya, setengah juta ton di atas kemampuan produksi. Sedangkan tahun lalu, total produksi hanya 12 juta ton, termasuk yang terpaksa parkir di gudang para pedagang karena tak laku. Marc Rich & Company (MRC) dan Clarendon, dua raksasa aluminium dari Swiss, ternyata sudah lebih dulu menyodok pasar lewat jalan pintas tanpa menanam modal untuk memperluas pabriknya. Kedua raksasa yang menguasai 3% sampai 7% dari produksi alumimum dunia itu sejak beberapa waktu lalu giat mengangkuti alumina - bahan baku utama aluminium -- dari Australia dan Jamaica untuk dilebur di berbagai pabrik peleburan di dunia. MRC bahkan sudah teken kontrak dengan empat pelebur di Amerika untuk memproduksi 300 ribu ton aluminium batangan sampai sepuluh tahun mendatang. Apa kabar aluminium Indonesia? Sayang, tak begitu baik. Sejak tiga bulan silam, Inalum terpaksa memotong produksinya, lantaran sumber energi utama pemanas tungku-tungku peleburnya terganggu. Rupanya, permukaan air Danau Toba, yang susut oleh terik matahari dan perubahan lingkungan, sangat berpengaruh. Produksi Inalum masih macet di sekitar 175 ribu ton per tahun dari total kapasitasnya yang 220 ribu ton. Tiada jalan lain bagi Nippon Asahan aluminium Co., pemilik sebagian saham Inalum, kecuali memohon kepada PLN untuk menghidupkan generator diesel, agar tungku-tungku peleburan dapat terisi penuh. Kalau tidak, jelas berat bagi perusahaan patungan Indonesia-Jepang itu untuk bisa mencapai target penjualannya yang sampai sekarang belum pernah tercapai, yaitu 400 juta dolar. Sekitar 40 % dari produksi Inalum dijatah untuk jepang. Kini, yang pasti, enam perusahaan dari Eropa Barat dan Amerika Serikat yang sudah menggeruk untung besar dari krisis cadangan alumunium dunia, di luar MCR dan Clarendon: Alcan dari Kanada, Lusuisse dari Swiss, Pechinery dari Prancis, serta Reynolds, Kaiser, dan Alcoa dari Amerika Serikat. Sebagian karena nasib baik. Tapi, yang pasti, karena mereka tidak ikut-ikutan menutup tungku-tungkunya ketika krisis harga menggila tiga tahun lalu. Yang paling siap umumnya selalu paling beruntung di dalam bisnis. Praginanto
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini