Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
RATUSAN karyawan Bank Tabungan Negara (BTN) Ban-dung itu meneriakkan yel menolak bergabung dengan BNI, Kamis pekan lalu. Aksi mereka menjalar ke Solo, Jawa Tengah. Mereka khawatir penggabungan akan membuat me-reka dirumahkan. Suara tak se-tuju juga datang dari pengembang yang tergabung dalam Real Estate Indonesia (REI). Mereka tak mau ”perkawinan” itu menyebabkan BTN tak fokus lagi membiayai perumahan.
Ketika BNI semakin bernafsu meng-akuisisi BTN, sinyal dari pemerintah mulai hijau. Direktur Utama BNI, Si-git Pramono, mengatakan bahwa alasan utama mengakuisisi adalah penambah-an nilai (value creation). ”Ada nilai tambah Rp 4,7 triliun kalau penawaran saham kedua BNI tahun depan dilakukan setelah bergabung dengan BTN,” katanya.
Penyebab kedua adalah kepentingan pemangku saham (stakeholder), yang memerlukan lembaga pembiayaan perumahan lebih besar. Dengan modal Rp 1,2 triliun, BTN punya soal ketika akan mengembangkan bisnisnya. Menambah modal melalui pertumbuhan kapital sangat mustahil. Pemerintah juga tak punya duit untuk menyuntikkan modal ke bank ini. Tak ada pilihan selain merger.
Tambahan pula, Menteri Negara BUMN, Sugiharto, sudah mengatakan bank itu akan dilebur. BTN harus melupakan penawaran saham, karena hasilnya minim. Pemerintah masih malu-malu menyebut bank yang pantas bagi BTN. Sebaliknya, direksi BTN menolak lamaran BNI. Semua cabang dikirimi edaran yang menyatakan me-reka tak sudi ”kawin” dengan BNI.
Konsultan Manajemen Risiko Muslich dan Rekan, dalam Analysis Benefit and Cost atas merger dan akuisisi terhadap BTN, menyimpulkan bahwa bank itu lebih baik sendiri. BTN sendiri enggan bergabung dengan BNI, yang tak memenuhi syarat sebagai bank jangkar. Untuk mengakuisisi, BNI juga hanya punya uang tunai Rp 1,01 triliun.
Nilai wajar BTN jauh lebih tinggi dari nilai akuisisi, yang diperkirakan maksimal Rp 5 triliun. Berdasarkan neraca 31 Maret 2005, nilai buku BTN mencapai Rp 7,4 triliun. Dengan pen-dekatan price to book value, nilainya Rp 9,6 triliun hingga Rp 22,9 triliun, dan price earning ratio Rp 2,9 tri-liun sampai Rp 9,7 triliun. ”Akuisisi tidak memberikan nilai tambah, malah me-ngurangi kekayaan negara,” begitu tertulis dalam dokumen.
Kelangsungan program pemerintah, berupa lembaga pembiayaan perumah-an, disinyalir tak bakal tercapai. Ana--lisis value creation menunjukkan tiada-nya skala ekonomis merger antara bank BUMN, termasuk BNI, dan Bank BTN karena bisnisnya berbeda.
Dua bank ini berpolemik sengit. Masing-masing memobilisasi data dan argu-mentasi, seraya melobi pemerintah sebagai pemilik saham, serta pe-tinggi Bank Indonesia. BNI akan memaparkan rencana ”pinangan” itu kepada Bank Indonesia pekan ini. BTN sudah menyampaikan kajiannya kepa-da Bank Indonesia dan pemerintah.
Kepala Divisi Hukum dan Hubung-an Perusahaan BTN, Sri Handini, mengatakan menolak lamaran itu. BNI dinilai tak konsisten. Semula mereka mengatakan akan mengakuisisi sebagi-an- saham. Belakangan BNI berkoar akan membeli 100 persen saham BTN. ”Jelas kami tolak,” katanya.
Dia menyitir kegagalan BNI melakukan secondary offering beberapa waktu lalu. Sahamnya tidak laku karena nilainya kurang, sehingga ingin mer-ger dengan BTN. Apalagi BNI -tidak satu kluster dengan BTN. Dikhawatir-kan tidak terjadi sinergi. Segmen bisnis-nya juga berbeda.
BNI memang mengumbar sejumlah janji. Bank itu mengatakan sanggup mem-berikan pinjaman Rp 200 miliar- hing-ga Rp 13 triliun. Dengan dana Rp 2 miliar, sektor perumahan sudah ber-gulir. Sebesar 97 persen kredit yang diberikan di bawah Rp 5 miliar.
Kalau BNI memberikan kredit le-bih besar, tak ada pasar yang menyerapnya. Pengembang tak membutuhkan dana raksasa. BTN sendiri sanggup me-nyalurkan pinjaman hingga Rp 350 miliar, tapi pasar tak mampu menyerap-nya.
Sri yakin bisa menambah mo-dal dengan berbagai cara. Misalnya de-ngan sekuritasasi aset dan penawaran saham perdana. Dari sekuritasasi, dia yakin bisa meraup duit Rp 1 triliun di tahap awal. Manajemen malah me-rasa mampu membuat angka itu berlipat hingga Rp 13 triliun.
Dari penawaran saham perdana bisa masuk dana sekitar Rp 1 triliun. -Dengan dana itu, BTN bisa memberikan kredit baru hingga Rp 14 triliun. Dia mengatakan, sampai saat ini belum pernah diajak bicara oleh Kantor Ke-menterian Negara BUMN. ”Kami hanya dijadikan obyek,” katanya.
Sigit Pramono membantah ingin- mencaplok BTN. ”Bukan soal me-ngorbankan atau tidak mengorbankan- BTN,” katanya. Pemerintah akan men-dapat dana segar Rp 3 triliun tanpa mengeluarkan biaya penawaran saham bank itu. Setelah bergabung, tahun depan BNI akan melakukan penawaran ke-dua sebesar 30 persen. Dari sini, pemerintah akan mendapat dana tambahan Rp 4,7 triliun (lihat tabel).
Sigit yakin BNI akan lebih kuat dan kukuh jika bersanding dengan BTN. Dia sering mendengar keluhan pengembang yang tergabung dalam REI, yang sulit mendapat dana dari BTN karena likuiditas bank itu seret. Dia heran kalau ada anggota REI menentang mer-ger. ”Ini solusi buat me-reka,” kata Sigit.
Dengan modal Rp 1,2 triliun, batas maksimal kucuran kredit BTN hanya Rp 240 miliar. Kalau bergabung de-ngan BNI, yang punya modal Rp 12,8 triliun, duit yang tersedia bagi mereka melonjak menjadi Rp 2,8 triliun.
Dia mengakui tak mempunyai kesamaan sifat dengan BTN. Tapi dua bank ini bisa saling mengisi karena ber-sifat komplementer. Dengan modal besar, BTN bisa lebih leluasa mengembangkan bisnis perumahan rakyat. Dia mengatakan tak akan ada PHK dan perubahan mendasar di BTN. Fokus di bisnis perumahan akan dipertahan-kan. ”Bodoh sekali kalau mengubah keahlian mereka,” katanya.
Satu hal yang jelas, katanya, struktur pendanaan akan jauh lebih murah, yang akan dikembalikan dalam bentuk kredit pemilikan rumah ringan. Merger, menurut Sigit, juga bukan soal memenuhi syarat bank jangkar atau tidak. ”Kalau sama-sama mau, tidak harus memenuhi syarat itu,” katanya.
Bagi BNI, merger adalah peluang -bis--nis yang harus ditangkap. -Sigit -ingin mem--bawa BNI menjadi bank -inter---nasio-nal yang mensyaratkan mo-dal Rp 50 triliun. BNI tak bisa meng-andal-kan tam-bahan modal dari pertum-buhan organik. ”Dibutuhkan puluhan, bahkan ratusan tahun,” katanya.
Direktur Riset Ekonomi dan Kebijak-an Moneter Bank Indonesia, Halim Alamsyah, me-ngatakan rencana ”ka-win” BNI dan BNI masih wacana. BI belum menerima proposal pemerintah mengenai rencana itu.
Direktur Utama Cen-ter for Banking Crisis (CBC), Deni Daruri, setuju BTN di-pertahankan sebagai bank fokus, mengingat kondisi-nya sa-ngat prima. Hasil riset-nya menunjukkan nilai produktivitas total BTN tertinggi dibanding bank pelat merah lainnya. Kalau dimerger, dikhawatirkan nilai produktivitas totalnya turun.
Kalaupun bank itu harus diakuisisi BNI, katanya, sebaiknya dilakukan demi penyehatan perbankan nasional, bukan karena ego meningkatkan value creation. ”Apalagi kalau akuisisi hanya untuk kepentingan divestasi BNI guna memenuhi setoran APBN. Ini sangat disayangkan, karena akan membaha-yakan ketahanan perbankan nasional,” katanya.
Dia mengatakan, Indonesia pu-nya pengalaman buruk pada 2003, ketika BPPN mendivestasi hanya untuk me-ngejar setoran APBN. Pola divestasi salah arah itu menyebabkan struktur perbankan nasional kini tak seimbang, sehingga 40 persen kepemilikan bank nasional sudah dikuasai asing.
Akuisisi BTN harusnya memperhati-kan sifat bank seperti produktivitas, efisiensi, dan skala ekonomi, karena risikonya tinggi. ”Harus benar-benar melihat kesamaan sifat dan perilaku,” kata Deni.
Leanika Tanjung, Yura Syahrul
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo