Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
DI negeri yang sedang susah, wajar belaka jika pajak makin digalakkan. Apalagi, sementara pos penerimaan lain menyusut dari tahun ke tahun, seperti penerimaan dari divestasi, sektor pajak tak pernah berhenti mendaki.
Pada 2002 hingga 2004, misalnya, penerimaan perpajakan meningkat 13,8 persen per tahun. Untuk anggar-an 2005, pemerintah mematok penerima-an pajak mendekati Rp 297 triliun, lebih dari 85 persen dari keseluruhan pendapatan yang dianggarkan.
Pajak atas penghasilan masih jadi andalan, paling tidak hampir separuh dari penerimaan pajak keseluruhan. Untuk mengejar target itu, yang sedang diburu bukan saja wajib pajak baru, me-lainkan juga jenis penghasilan yang dulu lolos dari jerat pajak.
Satu yang sedang diincar adalah penghasilan bunga dan dividen yang dibayarkan oleh perusahaan lokal kepada afiliasinya di luar negeri. Selama ini, perusahaan-perusahaan afiliasi itu bisa lolos karena mereka berdomisili di negara-negara yang memiliki perjanjian penghindaran pajak berganda -dengan Indonesia.
Perusahaan afiliasi dibidik karena para petinggi pajak menganggap per-usahaan itu didirikan semata-mata -untuk menikmati pajak yang lebih rendah. ”Kami ingin mengejar mereka yang menghindari pembayaran,” ujar Direktur Peraturan Perpajakan, Heri Sumarjito.
Kecurigaan para pemungut pajak itu tak keliru. Korporasi lokal biasa menggunakan semacam perusahaan khusus—biasa disebut special purpose vehicle—di luar negeri ketika mencari pinjaman dari kreditor asing. Yang di-pilih tentulah negara yang memiliki perjanjian penghindaran pajak berganda dengan Indonesia, sekaligus mengenakan tarif pajak terendah atas bunga.
SPV juga kerap muncul dalam skema investasi perusahaan lokal. Dalam transaksi penanaman modal, perusaha-an biasanya memilih mendirikan SPV di negara yang memiliki perjanjian penghindaran pajak berganda, seka-ligus mengenakan tarif pajak terendah atas dividen.
Skema-skema macam itulah yang ditorpedo oleh selembar surat keputusan Direktur Jenderal Pajak, medio Juli lalu. Surat yang diteken pada 7 Juli 2005 itu memperketat aturan tentang siapa saja yang berhak menikmati tarif pajak khusus yang ditetapkan oleh perjanjian penghindaran pajak berganda.
Beleid baru itu menetapkan, yang berhak atas tarif khusus hanya beneficial owner, yang dilukiskan sebagai pemilik sebenarnya dari penghasilan berupa dividen, bunga, dan atau royal-ti. Mereka boleh berupa perorangan maupun wajib pajak badan.
Jika dicermati, aturan itu sebenar-nya masih bersifat abu-abu. Batasan pemilik penghasilan yang sebenarnya tak terlalu jelas. Surat edaran itu hanya menganulir SPV sebagai pemilik se-benarnya. Dalam aturan itu hanya disebutkan, SPV itu semacam conduit company, paper box company, pass-through company, dan sejenisnya.
Meski masih terlihat bolong, beleid ini memperlihatkan kesungguhan Direktorat Jenderal Pajak mencegat pajak yang lolos dari penggunaan skema SPV. Awal tahun lalu, Direktorat Jenderal Pajak mengakhiri perjanjian penghindaran pajak berganda dengan Mauritius.
Sebelumnya, negara kepulauan itu merupakan domisili favorit para investor Indonesia. Dalam perjanjian yang diakhiri itu, perusahaan yang berlokasi di Mauritius bisa menikmati hasil inves-tasinya tanpa terkena pajak di Indo-nesia. Mereka hanya terkena potongan pajak penghasilan atas dividen di Mauritius sebesar lima persen.
Tak mengherankan, banyak perusahaan yang ingin menanamkan modal di Indonesia, termasuk pemodal lokal, berbondong-bondong mampir di Mauritius. Mereka membentuk SPV di sana, dan dari perusahaan jadi-jadian itulah duit mengalir ke Indonesia. Dengan skema macam itu, sang investor terhindar dari pajak penghasilan atas dividen di Indonesia yang besarnya 15 persen.
Kalau Mauritius menjadi negara favorit untuk mengontetkan pajak atas dividen, Belanda adalah idaman para penerbit surat utang, yang ingin bebas atas penghasilan bunga. Setelah Mandiri berhasil menembus pasar utang di luar negeri, berbagai perusahaan di Indonesia ramai-ramai mencari pinjaman melalui SPV yang mereka bentuk di Belanda.
Penerbitan IFR Asia menyebut Indosat, Excelcomindo Pratama, dan Paiton Energi sebagai contoh perusahaan Indo-nesia yang mencari utang via SPV di Belanda. Alasannya sederhana. Pajak penghasilan atas bunga di Negeri Tulip itu besarnya hanya separuh dari tarif di Indonesia. Tarif itu untuk bunga utang yang berjangka kurang dari dua tahun. Penghasilan yang berbunga dari utang di atas dua tahun malah bebas pajak. Sementara di Indonesia, pendapatan dari bunga surat utang, semacam obli-gasi, dipotong pajak penghasilan 20 persen untuk investor asing, dan 15 persen untuk investor lokal.
Korporasi Indonesia yang ingin meminjam dari luar negeri ramai-ramai boyongan ke Belanda dan membentuk SPV. Inilah yang kemudian mencari utangan dari para kreditor luar negeri. Dana yang bisa digaet dari para bandar uang di seberang kemudian dialih-kan ke Indonesia. Jadi, perusahaan di Indonesia seolah-olah berutang kepada SPV-nya.
Skema ini biasa disebut back to back. Pada saat utang jatuh tempo, perusahaan di Indonesia membayar ke SPV. Pembayaran itu lolos dari keharusan memungut pajak penghasilan atas bu-nga karena adanya perjanjian pajak Indonesia-Belanda.
Kiat ”menghemat” pajak semacam itu praktis tertohok oleh prinsip beneficial owner. Perusahaan Indonesia kini harus memungut pajak penghasilan 20 persen ketika melunasi pinjaman ke perusahaan yang mereka rekayasa. Ini artinya, biaya meminjam perusahaan pun melonjak.
Prinsip beneficial owner menjadi kunci ganda bagi para pencari utang di Belanda. Sebelum aturan main ini diterbitkan, Direktorat Jenderal Pajak telah lebih dulu mereparasi perjanjian penghindaran pajak berganda d-engan Belanda. Siapa yang berhak atas ta-rif khusus akan diseleksi. Gebrakan aparat pajak ini tentu berbuntut. -Begitu perjanjian penghindaran pajak dengan Mauritius diakhiri, para pemilik modal yang tak rela duitnya tergunting pajak penghasilan mulai melirik surga bebas pajak lain.
Negeri pulau Seychelles mulai ba-nyak dibicarakan oleh para pemilik modal sebagai calon kuat pengganti Mauritius. Yang bisa dipastikan, nama Mauritius dalam tahun-tahun mendatang akan terlempar dari lima besar negara investor terbesar di Indonesia.
Yang lebih dilematis adalah upaya mengail pajak dari penghasilan atas bunga. Kepercayaan para kreditor di luar negeri terhadap sektor korporat ne-geri ini bisa kembali longsor. Banyak debitor yang menggunakan skema SPV di Belanda sedang berpikir untuk me--narik kembali obligasi yang mereka jual.
Ini bukan sekadar menakut-nakuti. Ketika perjanjian penghindaran pajak berganda dengan Mauritius diakhiri, Indofood Sukses Makmur mendadak-sontak meluncurkan rencana membeli kembali obligasi senilai US$ 280 juta. Rencana penebusan utang yang le-bih cepat dua tahun dari tanggal jatuh tempo semula itu hingga kini belum mendapat persetujuan investor.
Para kreditor tak setuju karena harga penebusan yang diminta Indofood (sebesar 102) lebih rendah dibandingkan harga pasar saat rencana itu diungkap, yaitu 109. Indofood ngotot ingin menebus murah karena ber--ak--hir-nya perjanjian pajak Indonesia de-ngan Mauritius.
Dalam transaksi penerbitan obligasi, penerbit lazimnya mengantongi hak menebus kembali bila ada peraturan pajak baru yang mempengaruhi dompetnya. ”Nama klausulnya Penebusan dengan Alasan Pajak (Redemption for Tax Purposes),” kata Melli Darsa dari Kantor Pengacara Melli Darsa and Co.
Perlu diingat, Mauritius bukanlah rumah bagi para debitor. Jadi, ketika perjanjian pajak dengan Mauritius dicabut, hanya Indofood yang melancarkan aksi pembelian kembali. Situasi mungkin berbeda begitu perjanjian pajak dengan Belanda ditambal dan prinsip beneficial owner diberlakukan.
Jangan dilupakan, Belanda adalah kiblat para pencari utang luar ne-geri. Gelombang permintaan pembelian kembali diperkirakan akan terjadi. -Beban pajak yang tiba-tiba melonjak dari nol persen menjadi 20 persen, -tentu, melenyapkan daya tarik meminjam melalui skema SPV.
Sumber Tempo memastikan, para debitor penunggang SPV kini sedang berpikir untuk menebus kembali utang-utang mereka. Dua di antara debitor itu, yang sempat diwawancarai Koran Tempo, tak bertutur panjang tentang perubahan aturan pajak.
”Masih akan kami pelajari,” ujar Hasnul Suhaimi, Direktur Utama Indosat. Ucapan serupa datang dari Excel-comindo. ”Kami belum bisa berkomentar karena belum mengetahui kebijakan barunya,” ujar Rudiantara, direktur perusahaan seluler itu.
Para pemegang obligasi yang diterbit-kan oleh SPV perusahaan Indonesia melontarkan kekecewaan mereka ter-hadap aturan baru itu. ”Indonesia se-kali lagi menggeser tiang gawang,” kata seorang kepala sindikasi Asian DCM, yang banyak memegang obligasi SPV Indonesia, seperti dikutip IFR Asia.
Publikasi keuangan itu menya-yangkan langkah yang akan diambil pemerin-tah. Tambahan pajak diper-kirakan tak akan lebih dari US$ 20 juta (atau sekitar Rp 196 miliar), semen-tara biaya yang terancam harus di-tanggung oleh sektor korporasi Indonesia tak main-main: kehilangan kepercayaan investor.
Lucunya, Direktorat Jenderal Pajak malah tak punya hitung-hitungan berapa potensi pajak yang akan diraup. ”Saya belum tahu persis,” kata Heri.
Thomas Hadiwinata, S.S. Kurniawan
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo