Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Besar Tarif daripada Pelayanan

Biaya agen inspeksi kargo dan pos udara dinilai terlampau tinggi. Lebih mementingkan keuntungan ketimbang keamanan.

27 Januari 2013 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

PAKET mencurigakan berlabel makanan ikan itu diterima Kantor Pos Bandar Udara Soekarno-Hatta Tangerang, Banten, menjelang subuh ­Jumat pekan lalu. Barang dari Pekalongan, Jawa Tengah, tadi sedianya dikirim lewat udara menuju Merauke, Papua.

Hasil pemeriksaan mesin sinar-X milik agen inspeksi cukup mengagetkan: paket itu berisi bom ikan. Kurang yakin terhadap hasil pemeriksaan, paket dikembalikan ke kantor pos, lalu dimasukkan ke brankas besi. Ia kemudian dipindai ulang dengan sinar-X kepunyaan Bea dan Cukai Bandara. Hasilnya, "Dapat dipastikan berisi bom," kata Joko Santoso, Kepala Kantor Pos Bandara Soekarno-Hatta, kepada Tempo, Jumat sore pekan lalu. Sejurus kemudian, Tim Gegana Kepolisian datang untuk meledakkan bom itu.

Pemindaian ulang kargo dan pos udara kerap dilakukan beberapa maskapai penerbangan lantaran mereka ragu akan hasil pemeriksaan agen inspeksi (regulated agent/RA). Agustus tahun lalu, petugas pemindai maskapai Garuda Indonesia di gudang kargo Lini I Bandara Soekarno-Hatta menemukan petasan seberat 8 kilogram dari hasil pindai ulang.

Keteledoran pun terjadi pada Selasa pekan lalu. Petugas yang merahasiakan namanya menemukan paket berisi mesin generator yang tergolong benda berbahaya (dangerous goods) dari hasil pemeriksaan ulang. Tapi PT Ghita Avia Trans (Gatrans), salah satu agen inspeksi, tidak menempelkan label "dangerous goods".

Akhirnya, demi keamanan, ia meletakkan paket terbungkus plastik ketat itu di samping mesin pemindai maskapai Garuda Indonesia. "Dangerous goods mendapat perlakuan khusus demi keselamatan penerbangan," ucapnya. Tempo menyaksikan petugas mencatat temuan itu secara manual di daftar yang diletakkan di samping mesin pemindai.

Sejatinya, pemeriksaan kargo dan pos sebelum masuk lambung pesawat adalah kewajiban perusahaan agen inspeksi, bukan maskapai. Sejak 4 Juli 2011, sistem regulated agent resmi berlaku menyusul terbitnya surat keputusan Direktur Jenderal Perhubungan Udara sebagai antisipasi pascaserangan teroris di menara World Trade Center, New York, Amerika Serikat, pada 2001. Kementerian Perhubungan menunjuk 11 perusahaan agen inspeksi, dari semula hanya tiga perusahaan pada awal pemberlakuan sistem itu.

Namun kini keraguan terhadap kinerja agen inspeksi meruap. Maskapai nasional terbesar, Garuda Indonesia, tak menyembunyikan kekecewaan atas kinerja agen inspeksi gara-gara kelalaian yang sering terjadi. Perusahaan pelat merah ini sampai harus memindai ulang barang secara acak. Kerepotan pindai ulang membuahkan hasil: selama setahun ditemukan 196 benda berbahaya dan terlarang yang lolos dari pemeriksaan agen inspeksi!

Direktur Utama Gatrans Ibrahim Sahib tidak menampik kabar terjadinya keteledoran oleh perusahaannya. "Tentu saja dalam kesehariannya ada yang lolos," katanya. Namun ia mengatakan temuan agen inspeksi jauh lebih banyak ketimbang maskapai, yakni 1.200 paket berbahaya per bulan. Ibrahim bahkan menyebutkan temuan Garuda tidak sepenuhnya akibat kesalahan agen inspeksi. "Ketentuan barang berbahaya dan terlarang berbeda di tiap maskapai," ujarnya.

Ketua Asosiasi Logistik dan Forwarder Indonesia Cabang Bandara Soekarno-Hatta, Arman Yahya, menilai seharusnya tidak ada lagi barang berbahaya dan terlarang lolos dari pemeriksaan agen inspeksi. "Karena ongkos pemeriksaan dibebankan kepada kami." Keteledoran itu tak sebanding dengan ongkos pemeriksaan sebesar Rp 380-450 per kilogram, yang dibebankan kepada perusahaan jasa pengiriman. Bahkan tarif pernah mencapai Rp 840 per kilogram pada awal penerapan sistem.

Itulah sebabnya tiga asosiasi jasa pengiriman dan PT Pos Indonesia mendesak pemerintah merevisi tarif pemeriksaan. Meningkatnya tarif membuat ongkos operasional membengkak. Seperti efek domino, efek kenaikan tarif inspeksi berujung pada kenaikan tarif pengiriman barang yang dibebankan kepada konsumen. "Yang dirugikan masyarakat," tutur Arman.

Syarifuddin, Direktur Eksekutif Asosiasi Jasa Pengiriman Ekspres, Pos, dan Logistik Indonesia, setuju dengan pendapat Arman. Menurut dia, tarif agen inspeksi tidak masuk akal bahkan lebih mahal ketimbang tarif di Singapura, yang pelayanan dalam penerbangannya jauh lebih baik ketimbang di Indonesia. Tarif di Negeri Singa cuma Rp 70 per kilogram.

Bersama petinggi dua asosiasi dan Pos Indonesia, Syarifuddin mengusulkan tarif dipotong sampai Rp 100-200 per kilogram. Angka itu jauh di bawah usul Direktorat Jenderal Perhubungan Udara Kementerian Perhubungan yang sebesar Rp 930. Sedangkan tarif lama sebelum ada agen inspeksi sebesar Rp 60 per kilogram. "Mengacu pada amanat presiden, biaya logistik harus diturunkan agar bisa bersaing dengan negara lain," kata Syarifuddin.

Tak memuaskannya kinerja agen inspeksi menyedot perhatian Ombudsman Nasional RI. Hasil sigi lembaga pengawas pelayanan publik itu pun tak jauh berbeda dengan desakan asosiasi. Danang Girindrawardana, Ketua Ombudsman, mengatakan kepentingan bisnis dalam pelaksanaan regulated agent lebih menonjol ketimbang aspek keamanan dan daya saing ekonomi. "Kebijakan ini berdampak pada kekacauan sistem logistik dan keamanan penerbangan," ujarnya.

Mengacu pada hasil sigi itulah Danang mengirimkan rekomendasi kepada Kementerian Perhubungan pada 20 Juni 2012. Isinya: pemeriksaan mesti digelar di lini satu atau kawasan terbatas bandara; memperjelas siapa penanggung jawab hasil pemeriksaan, agen inspeksi atau maskapai; dan menetapkan tarif batas pemeriksaan. "Pembebasan tarif berdampak ekonomi berbiaya tinggi."

Direktur Jenderal Perhubungan Udara Herry Bakti menanggapi enteng rekomendasi Ombudsman Nasional dan desakan asosiasi. Ia berpendapat membandingkan tarif dengan Singapura tidaklah tepat. "Di sana ongkos pemeriksaan disubsidi negara," ucapnya. Soal aturan yang mengizinkan pemeriksaan di luar bandara, menurut dia, mencontoh aturan serupa di beberapa negara. Herry Bakti menyatakan, "Aturan saat ini masih relevan dilaksanakan."

Sependapat dengan Herry, Ibrahim, yang juga Ketua Asosiasi Perusahaan Pemeriksa Kargo dan Pos Indonesia, mendukung 100 persen sikap pemerintah yang mengabaikan desakan asosiasi. Menurut Ibrahim, tarif pemeriksaan mengacu pada tarif di beberapa negara Eropa, yang sudah mencapai 1 pound sterling per kilogram. "Tarif kami sudah sangat murah," katanya.

Ada pula pihak yang menganggap penerapan agen inspeksi tak merugikan perusahaan jasa pengiriman. Kepala Kantor Pos Bandara Joko Santoso, contohnya, menganggap fungsi agen inspeksi sangat penting untuk mengurai penumpukan kargo dan pos di gudang lini satu. "Pengiriman makin lancar meski ongkos semakin mahal," ujarnya.

Bisnis agen inspeksi kini semakin gurih seiring dengan pertumbuhan volume kargo dan pos, yang mencapai 1.000 ton per hari di Bandara Soekarno-Hatta. Jika agen inspeksi diterapkan di semua bandara, sengkarut tarif dan dugaan kongkalikong penunjukan agen inspeksi bakal terus membuncah.

"Mereka bersembunyi di balik ­regulated agent," kata sumber Tempo di Kementerian Perhubungan. Ia menceritakan bahwa sistem agen inspeksi lebih kental kepentingan mengeruk uang daripada keamanan penerbangan. Bekas pejabat eselon I di Kementerian diduga kuat membekingi sebuah agen inspeksi.

Majalah Tempo edisi 24 Juli 2011 mengungkap bahwa Direktur Utama dan Keuangan PT Duta Angkasa Prima Kargo, salah satu agen inspeksi, memiliki koneksi dengan Erwin Sudjono, mantan Panglima Komando Cadangan Strategis TNI Angkatan Darat (Kostrad). Purnawirawan jenderal bintang tiga itu juga adik ipar Kristiani Herawati Yudhoyono, Ibu Negara Republik Indonesia. Erwin sudah membantah informasi itu. "Tidak benar ada keterkaitan antara saya dan Duta Angkasa, baik secara langsung maupun tidak," ucapnya kepada Tempo.

Herry Bakti pun membantah jika penunjukan agen inspeksi dianggap sarat nepotisme. "Siapa saja boleh berbisnis, termasuk mantan pejabat, asalkan sesuai dengan aturan," ujarnya.

Akbar Tri Kurniawan

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus