INILAH pemandangan yang sungguh tidak biasa. Di satu sisi terlihat sejumlah besar sapi gemuk, bersih, menggemaskan. Di sisi lain barisan peternak, berseri-seri, seluruhnya dalam seragam lurik, dengan caping di atas kepala masing-masing. Tapi pusat perhatian hari itu, Presiden Soeharto, adalah yang paling cerah Sabtu pekan lalu, ketika beliau meresmikan PT Nandhi Amerta Agung (NAA), di Tengaran, Kabupaten Semarang, Jawa Tengah. Perusahaan patungan antara Mantrust (55%), Gabungan Koperasi Susu Indonesia - GKSI - (20%), dan Land 'O' Lakes dari Amerika (25%), merupakan perusahaan pertama di Indonesia yang melaksanakan sistem PIR (Perusahaan Inti Rakyat) ternak persusuan. Sebagai perusahaan inti, NAA yang berlokasi di Salatiga, diharapkan bisa memperbaiki penghasilan peternak yang menjadi plasmanya. Tapi sistem PIR tersebut mungkin tak akan jadi, kalau NAA tak mengambil alih peranan KUD persusuan, baik dalam pelayanan, membimbing peternak, menyediakan makanan, maupun transportasi hasil susu perahannya. Ada kesan, koperasi seperti dipandang sebelah mata saja. Sebab, koperasi, yang praktis dibikin tak banyak kerja itu, akan dibayar oleh NAA Rp 5,00 per satu liter susu dari anggotanya - padahal biasanya bisa mencapai Rp 13,00. Sistem itu dikenal sebagai kontrak manajemen. Barangkali ini cara yang baik juga bagi koperasi, kendati punya saham. Sekaligus jadi ujian bagi kemampuan NAA dalam menjalankan PIR. Sementara itu, Pak Harto berkata, "Saya menyerukan agar kita semua memberikan perhatian yang lebih besar lagi kepada gerakan koperasi." Maksudnya? Mungkin ini ada kaitannya dengan koperasi yang sudah memasok sekitar 70 ribu sapi perah impor, sejak 1979 sampai dengan 1983. Sapi itu dibeli dengan utang sekitar Rp 35 milyar. Bila dihitung asetnya, memang, kini kira-kira telah berkembang mencapai Rp 80 milyar, dan bisa menghasilkan pendapatan petani Rp 50 milyar setahunnya. Tapi posisi utang itu masih Rp 28 milyar, alias baru diangsur Rp 7 milyar. Bagi peternak soalnya bukan kredit atau siapa kreditornya, tapi hasilnya bisa dinikmati atau tidak. Seorang petani, Slamet namanya, minta kepada Presiden agar warga Desa Patemon, yang terdiri atas 550 kk itu, bisa mendapat kredit sapi semua. Sebab sekarang baru 200 kk yang memperolehnya. NAA memang akan memasukkan 20 ribu sapi jenis Holstein Frisian dari Amerika, tapi tahap permulaan ini baru 6 ribu ekor tersedia. Dari jumlah itu, baru 1.200 ekor yang diserahkan. Wajar kalau ada yang mohon jatah. Mereka tergiur pada rekan seperti Wiyoto Rebin, yang meningkat penghasilannya, dari Rp 1.250,00 menjadi Rp 3.000,00 sehari. Dan ini diperoleh dengan memerah tiga sapi kreditan dari NAA. Wiyoto tak perlu modal, kecuali tenaga dan disiplin. Juga keuletan dan kejujuran, seperti dikatakan Presiden Soeharto. Enak memang. Sapi dan kandang sudah disediakan NAA. Pemerahan susu pun dengan peralatan canggih yang diimpor, bukan dengan tangan seperti kebanyakan peternak. Semua fasilitas itu kreditan, per paket untuk seorang peternak sekitar Rp 15 juta. Tiap sapi dijamin memberi penghasilan Rp 1.000,00 per hari, dan kalau setahun produksinya lebih dari 5.400 liter, atau lebih dari 18 liter per hari, diberi bonus. Peternak tinggal menjalankan saja, mirip buruh. Tapi mereka harus disiplin menunaikan kewajibannya: dari membersihkan kandang sampai memerah susu. "Untuk menanamkan disiplin itu, pak tani kita ajari baris berbaris dulu," tutur Tegoeh Soetantyo, bos Mantrust, yang empunya proyek PIR, ketika wawancara khusus dengan TEMPO. Dalam usia 70 tahun, Soetantyo masih membuktikan kegigihannya memperjuangkan NAA, yang sudah dirintisnya sejak 1984. Maklum, waktu itu Mantrust patungan dengan GKSI, investasinya sekitar Rp 7 milyar untuk membuat pabrik pengolahan susu segar menjadi susu bubuk. Dengan komposisi saham 50:50, jadilah perusahaan Tirta Amerta Agung (TAA). Keseluruhan investasi NAA diperkirakan mencapai 78 juta dolar - termasuk rencana 20 ribu ekor sapi yang 15 ribu di antaranya diplasmakan. Soal keuntungan, Soetantyo memperkirakan baru tiga tahun lagi akan tampak. Sedangkan susu segar dari peternak peserta plasma pun harus dimasukkan ke perusahaan inti. Itu untuk menjaga kebutuhan 120 ribu liter per hari bagi TAA. Tapi, ternyata, NAA butuh waktu lama untuk memulainya. "Susu ini paling 'suwak' (riskan). Kita melangkah ke kiri sedikit, dihantam, ke kanan sedikit dihantam," kata Soetantyo. Namun, kehadiran Presiden Soeharto di antara peternak cukup menyejukkan, apalagi beliau berkata, "Nanti, lambat laun bisa memiliki saham NAA." Suhardjo Hs., biro-biro
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini