EMAS akhir-akhir ini bagaikan kereta luncur Niagaragara di Taman Impian Jaya Ancol. Awal bulan lalu harga logam mulia itu naik perlahan dari Rp 25.900,00 per gram. Setelah mencapai ketinggian Rp 26.300,00 di pertengahan Januari, tiba-tiba meluncur kencang. Akhir pekan silam, emas batangan bercap LM (logam mulia) Aneka Tambang, turun lagi sampai Rp 24.350,00 per gram. Dan nanti, konon, masih akan anjlok lagi. Perkembangan harga emas di bursa internasional juga menunjukkan gejala serupa. Harga emas lantakan akhir pekan lalu sudah turun sampai sekitar US$ 440 per troy ons (31 gram), sedangkan awal tahun silam masih di atas US$ 480. Beberapa analis emas memperkirakan, komoditi itu akan jatuh lagi, sebab sekitar 76% investor ingin melepas emasnya, sementara yang berniat membeli hanya 24%. Mereka menduga, harga emas mungkin terbanting hingga US$ 380 per troy ons. Akhir tahun silam, harga emas di bursa internasional New York sempat berkibar di ketinggian US$ 502 per troy ons. Tapi kini harga emas sulit diperhitungkan. Unsur-unsur ekonomi seperti permintaan industri nilai uang, dan inflasi tidak banyak berpengaruh. Spekulasi para pemilik modal justru lebih menonjol. Gejala ini sudah terjadi sejak 1930-an. Ketika Amerika melepaskan kaitan dolarnya pada emas (1934), emas melonjak dari US$ 20,67 menjadi US$ 35 per troy ons. Menurut Dirjen Pertambangan Umum Soetaryo Sigit waktu itulah tambang-tambang emas bermunculan di Jawa (Cikotok), Sumatera (Aceh), Kalimantan, dan Sulawesi Utara. Harga emas itu tak naik banyak sampai 1974, ketika pemerintah Amerika mengizinkan pribadi-pribadi menyimpan emas batangan. Tingginya inflasi akibat naiknya harga minyak menyebabkan banyak orang mengamankan uangnya dalam emas. Akibatnya, harga si kuning mulia itu bersinar di ketinggian US$ 850 per troy ons pada tahun 1980. Resesi di awal 1980-an, disusul turunnya harga minyak, menyebabkan emas di,bursa internasional terbanting lagi, hingga sekitar US$ 400 dua tahun silam. Baru dengan melemahnya nilai dolar, apalagi dengan terbakarnya nilai saham-saham di bursa internasional, orang kembali pada emas, sehingga tergerak sampai US$ 500 per troy ons. Sementara harga emas meredup, penambang asing justru berbondong-bondong mencari emas di Indonesia. Dalam dua tahun terakhir, sudah lebih dari seratus perusahaan mendapatkan izin memburu emas. Pekan lalu Menteri Subroto memperkenalkan 11 perusahaan lagi yang akan mencari emas di wilayah sekitar Kutai, Kalimantan Timur. Para penambang nonpri itu sempat dipermasalahkan para wakil rakvat dalam rapat kerja dengan Menteri Pertambangan dan Energi Subroto di Komisi VII DPR RI pekan silam. Sori Tua Siregar antara lain mensinyalir, semakin banyak orang asing menguber emas di sepanjang Pegunungan Bukit Barisan, Sumatera. "Seberapa jauh pemerintah melindungi para pendulang emas tradisional?" tanya Sori. Menteri Subroto menjawab, perusahaan asing diminta agar jadi bapak angkat bagi pendulang tradisional. Namun, bagaimana realisasinya, tidak dijelaskan. Perusahaan asing itu sudah ada yang berproduksi. Menurut pejabat dari PT Aneka Tambang persero pemerintah yang ikut memegang saham di perusahaan-perusahaan swasta tahun silam PT Lusang Mining di Bengkulu sudah menghasilkan 534 kg. Tahun ini perusahaan itu menargetkan produksi 850 kg, tahun depan naik sampai 1.000 kg. Sementara ini, dua perusahaan lain menyusul. Monterado, yang menggali di sekitar Kal-Bar, diharapkan sudah akan menghasilkan 200 kg tahun ini, tapi tahun depan bisa mencapai 1.500 kg. Lebih hebat lagi penggalian Ampalit - juga di Kal-Bar. "Mulai April, Ampalit sudah akan berproduksi. Hasilnya bisa 550 kg sampai akhir tahun 1988. Tahun depan targetnya 3.000 kg," tutur Direktur Pemasaran Aneka Tambang A.W. Akil. Tapi, menurut Akil, Antam (Aneka Tambang) tidak memiliki saham di ketiga perusahaan tersebut. Memang mereka wajib melebur galiannya menjadi emas murni di Indonesia, dengan syarat biayanya kompetitif. Sebegitu jauh, itulah yang terjadi, biarpun penambang asing juga berhak melebur ke luar, asalkan terbukti lebih murah. Untuk bisa bersaing, kemampuan teknologi peleburan Antam ditingkatkan, bahkan ke kadar paling murni, yakni emas 999,99 permil. "Itu sudah kami lakukan sejak pertengahan tahun silam," tutur Akil, 53 tahun. Dan produk baru nan canggih itu awal pekan ini siap dipasarkan. Pada pendapatnya, kadar emas 999,50 per mil sudah cukup. Cuma untuk mencari nama, kadar pemurnian emas 999,99 permil. "Penting untuk bersaing di internasional." Selain itu, Antam juga tengah berusaha masuk ke dalam The Good Delivery List (GDL), yakni daftar pemurni dan pedagang emas dunia yang diakui London Gold Market (LGM). Itu agar Antam bisa diakui sebagai pedagang dan pemurni emas kaliber internasional. Untuk itu, ada tiga syarat: sudah berproduksi lima tahun, produksi pemurnian minimal 10 ton setahun omset pemurnian bernilai minimal 5 juta poundsterling atau sekitar US$ 7,5 juta setahun. Persyaratan pertama jelas bisa dipenuhi. "Aneka Tambang sudah kaya pengalaman, cuma duit saja yang kurang," ujar Akil. Hal kedua juga sudah diatasi persero Departemen Pertambangan itu. Pabrik pemurnian emas Antam di Pulogadung berkapasitas produksi 13 ton per tahun. "Syarat ketiga juga bisa kami penuhi," kata Akil. Tahun silam, Antam memurnikan 3.543,5 kg emas murni atau sekitar 114.300 troy ons. Berarti, nilai yang dilebur di situ, bila dihitung dengan harga sekarang US$ 440 per troy ons, mencapai US$ 50 juta lebih. Hanya saja, "Bisnis Antam sekarang ini masih cara warung," tutur Akil. Tahun silam, sewaktu mengekspor 260 kg ke Jepang dan Singapura, Antam hanya bisa menjual lewat tender, yang tentu lebih murah dari patokan pasar emas London. Tetapi dengan terdaftar di GDL, penjualan bisa dilakukan dengan memakai harga patokan LGM. Sementara harga emas cenderung merosot, apakah Antam masih berambisi maju ke pasar internasional? "Turunnya harga emas itu 'kan trend sementara. Sementara, ya, kita tunggu sampai harga membaik lagi. Emas 'kan tahan lama," jawab direktur pemasaran Antam itu, yakin. Max Wangkar, Yopie Hidayat, Tri Budianto Soekarno
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini