JUDI memang dilarang, tapi orang senang bertaruh - misalnya bakal devaluasi atau tidak. Rupanya, momok devaluasi masih bercokol menghantui, justru menjelang sidang umum MPR RI bulan depan. Ini mencemaskan otorita moneter Bank Indonesia (BI). Karena itulah pekan lalu, BI menaikkan suku bunga Sertifikat Bank Indonesia (SBI) dari 13,75% menjadi 14,25%. "Itu sudah merupakan soal rutin, sekadar memenuhi target moneter," kata Syahril Sabirin, juru bicara BI, tanpa menjelaskan besarnya target itu. Kenaikan suku bunga itu, ujarnya lebih lanjut, bukan lantaran nilai kurs dolar merangkak naik. Yang jelas, dengan sertifikat pengontraksi moneter, transaksi mata uang dari Negeri Paman Sam jadi surplus di BI. Hal itu mulai terjadi pekan lalu,Jumat dan Sabtu (12-13 Februari 1988): surplus 2,1 juta dan 33,5 juta dolar. Padahal, di hari-hari sebelumnya, BI menjual valuta asing lebih banyak ketimbang pembeliannya. Artinya, banyak orang lebih menyukai dolar. Maklum, pembicaraan tentang dolar Amerika selalu hangat. Khusus pada Desember baru lalu, defisit neraca perdagangan AS dilaporkan sebesar USS 12,2 milyar menyusut US$ 1 milyar dari defisit bulan November 1987. Ini pertanda baik, berarti turun sekitar US$ 5 milyar dari defisit puncak di bulan Oktober 1987. Tak pelak lagi, ini menaikkan pamor dolar terhadap yen. Maka, orang pun bergairah membeli dolar, dan ini rupanya mendorong transaksi valuta asing di BI jadi minus. Rupiah bisa terancam kalau BI tidak keburu menaikkan suku bunga SBI. "Itu supaya orang tidak berpaling ke dolar," ujar I Nyoman Moena, Ketua Perbanas. Memang ada baiknya BI pasang kuda-kuda, agar rupiah tidak kabur ke dolar. Tapi dampak sampingnya: suku bunga deposito mulai melambung naik, terutama pada bank-bank papan bawah. Kalau di akhir bulan lalu hanya satu dua bank yang pasang bunga deposito 20% setahun, akhir-akhir ini sudah lebih dari sepuluh bank. Bahkan, Bank Central Dagang berani menyedot dana deposito enam bulan dengan bunga 20%, sedangkan untuk setahun 21%. Memang seperti kata Ryanto - pengamat ekonomi pensiunan Bank Eksim Indonesia - pada tahap awal SBI tidak banyak mempengaruhi tingkat bunga kredit dan bunga deposito. Kecuali, tentu, bank-bank papan bawah tersebut. Dan kenaikan bunga deposito itu, menurut Syahrizal, direktur Bapindo, masih wajar saja. "Tak ada gejala spekulasi dolar," katanya. Bapindo, seperti juga bank-bank pemerintah lainnya, masih terpaku 17,5% untuk jangka waktu 12 bulan. Kenaikan suku bunga SBI belum mempengaruhi tingkat bunga deposito mereka. Sedangkan transaksi valuta asing di BI, kendati sempat minus berhari-hari, toh belum menggoyahkan. Tapi kalau sudah terjadi pembelian dolar besar-besaran, likuiditas perbankan jadi ketat. Itu kata Moena. Suku bunga antarbank (call money ) pun tentu merambat naik. Bunga antarbank itu sekarang masih bergerak antara 14% dan 15% - naiknya sekitar 1%. Sedangkan pembelian dolar tampaknya belum terasa benar. Masih biasa-biasa saja di money changer Tri Srikandi. Malah volume transaksi dolar AS di Sinar Irawan turun 20% dalam dua bulan terakhir ini. Namun, bank-bank papan bawah sulit mengikuti jejak tingkat bunga bank pemerintah. Menurut Ryanto, itu karena memang ada beberapa bank yang struktur dananya masih belum kuat. Lantas mereka berupaya memperkuat diri dengan menaikkan suku bunga depositonya, terutama untuk jangka waktu 6 dan 12 bulan. Sedangkan untuk jangka waktu 1-3 bulan, tak sampai 2% lebih tinggi daripada bank pemerintah. Soalnya, deposito jangka pendek ini masih dianggap labil. "Sewaktu-waktu terjadi gejolak moneter, deposan dengan cepat akan menank uangnya," katanya. Selain itu Ryanto menyebutkan, bank-bank kecil kebanyakan tidak bisa mengikuti lelang SBI. Seandainya nekat dengan penawaran rendah, tentu mereka tidak bakal, kebagian. Sehingga, untuk memperoleh dananya, selain mendapat dari pinjaman antarbank, mereka memasang bunga deposito tinggi, agar lebih menarik. Apalagi bunga SBI naik. Suhardjo Hs. dan Sidartha Pratidina
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini