Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
JAKARTA – Persatuan Pegawai Indonesia Power (PPIP) dan Serikat Pekerja Pembangkit Jawa Bali (SP PJB) mengajukan uji materi terhadap Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2019 tentang Sumber Daya Air. Serikat pekerja dari anak usaha PT PLN (Persero) itu menggugat klausul tentang Biaya Jasa Pengelolaan Sumber Daya Air (BJPSDA) yang terdapat dalam Pasal 19 ayat 2, Pasal 58 ayat 1 huruf a, serta Pasal 59 huruf c UU Sumber Daya Air.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ketua Umum PPIP, Kuncoro, menyatakan pemerintah seharusnya tak mengenakan biaya air untuk pembangkit listrik tenaga air (PLTA). Dia beralasan, air tersebut dimanfaatkan perusahaan negara sebagai pembangkit tenaga listrik untuk memenuhi kebutuhan masyarakat. Penetapan BJPSDA dapat menambah biaya produksi listrik. “Jika biaya naik, otomatis harga jual listriknya juga meningkat dan ujungnya dibebankan ke pelanggan,” kata dia, kemarin.
Kuncoro mencatat harga jual listrik dari pembangkit tenaga air saat ini mencapai Rp 250 per kilowatt jam (kWh). Dengan adanya BJPSDA, dia menghitung tambahan biaya produksi dua kali lipat, mendekati harga listrik dari pembangkit tenaga uap (PLTU), yakni Rp 600 per kWh. Tingginya biaya produksi energi terbarukan ini, menurut dia, kontradiktif dengan upaya pemerintah untuk meningkatkan porsi energi terbarukan hingga 23 persen pada 2025.
Gugatan ini juga didasari keputusan Mahkamah Konstitusi pada 15 Februari 2015 yang menganulir kebijakan BJPSDA. Saat itu, Pimpinan Pusat Muhammadiyah yang dipimpin Din Syamsuddin mengajukan gugatan terhadap UU Nomor 7 Tahun 2004.
Namun Kepala Subdirektorat Perencanaan Teknis dan Kelembagaan Direktorat Jenderal Sumber Daya Alam Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat, Sigid Hanandaja, menyatakan BJPSDA penting diterapkan untuk membiayai pemeliharaan sumber daya air. “Supaya kegiatannya bisa berkelanjutan,” ujar dia.
BJPSDA dikenakan kepada pengguna sumber daya air yang pemanfaatannya selain untuk pertanian dan kebutuhan sehari-hari. Sigid menyatakan kegiatan usaha yang mendapatkan keuntungan dari pemanfaatan air diwajibkan membayar iuran. Beban biaya yang dikenakan kepada tiap pengguna disesuaikan dengan sarana dan prasarana masing-masing pengguna. “Saat menentukan biaya, pemerintah juga mempertimbangkan kemampuan bayar pengguna,” kata dia.
Dana iuran disetorkan pengguna kepada Perum Jasa Tirta. Perusahaan pelat merah itu bertugas memanfaatkan BJPSDA untuk memelihara sarana dan prasarana sumber daya air.
Sigid mencatat pungutan tersebut telah berlangsung sejak berlakunya UU Nomor 11 Tahun 1974 tentang Pengairan. Saat itu pungutannya berupaya biaya eksplorasi dan diubah menjadi BJPSDA saat UU Nomor 7 Tahun 2004 diterbitkan. Saat Mahkamah Konstitusi menganulir BJPSDA, pemerintah diizinkan menghidupkan kembali aturan biaya eksplorasi untuk penggunaan sumber daya air.
Peneliti di Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Abra Talattov, menyatakan BJPSDA penting bagi pemeliharaan sumber daya air. Namun operator PLTA akan terbebani kenaikan biaya produksi. Menurut dia, setiap PLTA sebenarnya telah dikenakan pungutan berupa pajak air. “Dengan tambahan biaya, ada potensi beban produksi pembangkit bertambah dan membuat PLTA semakin tidak kompetitif,” ujar Abra.
FAJAR PEBRIANTO | VINDRY FLORENTIN
21
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo