Iklan adalah berita.
Dan celakanya ialah iklan selalu merupakan berita baik.
(Marshall McLuhan, Teoritikus Komunikasi Massa).
PENDAPAT McLuhan tersebut masih benar. Karena (berita baik)
iklan TVRI, Parman dari Mojodoyong, Sragen, mencuci rambutnya
dengan shampoo Clinik. Pemuda desa tadi tak pernah lagi kramas
dengan banyu londo -- abu merang (batang padi) yang direndam air
2 - 3 hari.
Banyu londo resep tradisional warisan nenek moyangnya, kini
digantikan oleh produk pabrik yang menghasilkan secara massal.
Juga peranan lada, pala, kayu manis, lengkuas dan kencur,
sebagian telah diambil alih Ajinomoto. Hampir setiap malam, TVRI
menyiarkan iklan keunggulan bumbu masak itu kepada penduduk
desa. Tanpa bumbu masak, kata seorang konsumen di desa
Mojodoyong, sayur lodeh terasa cemplang.
Namun iklan di TVRI juga menimbulkan ekses kurang menyenangkan.
Sejumlah penelitian -- antara lain dilakukan Lembaga Ekonomi dan
Kemasyarakatan Nasional (Leknas-LIPI) -- telah membuktikannya.
Karena, ketika menyampaikan Nota Keuangan dan RAPBN 1981/82 di
DPR (5 Januari, Presiden Soeharto menyatakan mulai 1 April 1981
siaran iklan di TVRI ditiadakan. Alasannya, "untuk lebih
memusatkan siaran televisi bagi kelancaran pelaksanaan program
pembangunan dan untuk menghindarkan akibat samping yang tidak
menguntungkan bagi semangat pembangunan."
Bila siaran iklan di TVRI dihapuskan, demikian Soetikno
Lukitodisastro, Sekjen Departemen Penerangan, gaya hidup
konsumerisme diharapkan berkurang. "Jangan sampai orang yang
belum memerlukan terpaksa membeli suatu barang," katanya kepada
Saur Hutabarat, dari TEMPO. "Daripada memperbaiki akibat (buruk)
yang ditimbulkan, lebih baik siaran iklan itu dihapuskan saja."
Gagasan menghapuskan siaran iklan itu sesungguhnya sudah lama
dipikirkan. ekitar 6 - 7 tahun lalu, ungkap Soetikno, Presiden
pribadi telah mempertimbangkan untuk meniadakan iklan di TVRI.
Tapi kenapa baru sekarang dicetuskan? "Sebab sekarang pemerintah
kuat," jawabnya. "Dan sekarang pemerintah sudah siap menanggung
seluruh biaya operasi TVRI."
Itu merupakan berita buruk buat kalangan pengusaha dan biro
iklan. Hari-hari ini berbagai pimpinan perusahaan multi nasional
yang tergabung dalam Asosiasi Pemrakarsa dan Penyantun Iklan
Indonesia (Asppindo) sibuk rapat dengan Persatuan Perusahaan
Periklanan Indonesia (P31).
Kesibukan serupa juga muncul di ruang rapat Departemen
Penerangan. Direktur Jenderal Radio, Televisi dan Film, Drs.
Sumadi tampak pula berbincang-bincang dengan staf TVRI.
"Sekarang segala sesuatunya sedang digodok, agar tidak merugikan
kedua belah pihak, baik pemerintah maupun pengusaha," kata
Sumadi.
TVRI jelas akan kehilangan uang masuk. Saban bulan diperkirakan
300 macam produk, sejak kebutuhan primer sampai luks (dari
pewangi kakus sampai jam tangan GP), dipromosikan lewat layar
TVRI.
Menurut perhitungan suatu biro iklan, iklan alat-alat rumah
tangga dan obat-obatan, mendominasi acara Siaran Niaga I
(pukul 18.30 - 19.0) dan II (20.30 - 21.00). Padahal
sesungguhnya iklan alat-alat rumah tangga dan obat-obatan,
seperti diatur SK Dirjen RTF No. 11 tahun 1975, masing-masing
tak boleh lebih dari 25% dan 5%. Masih belum jelas kenapa
pelaksanaannya jauh menyimpang.
Akibatnya, ekses buruk muncul ke permukaan. Suatu penelitian
Leknas-dilakukan (1976) di pedesaan Kalimantan Barat, Aceh,
Bali, Sulawesi Utara dan Selatan -- mengungkapkan betapa besar
pengaruh iklan TVRI itu. Di Sulawesi Selatan, misalnya, para
responden menyatakan kenal sembilan jenis produk konsumen 98%
dari siaran iklan TVRI. Di sana iklan minyak rambut diingat
lebih dari 100 responden (lihat tabel 1).
Penelitian Fakultas Psikologi UI (tahun 1979) juga menguatkan
hasil penelitian Leknas tadi. Para penonton di kota Medan,
Jakarta, Surabaya dan Ujungpandang ternyata bisa menyebut
kembali 152 merk produk konsumen tertentu. Iklan Ajinomoto dan
Baygon (insektisida) merupakan produk yang dianggap paling
mengesankan dan menimbulkan daya tarik untuk membelinya (lihat
tabel 2).
Iklan melalui radio dan TVRI, demikian penelitian Leknas:
Pengaruh Sosial Budaa dari Komunikasi Satelit, memang punya
pengaruh kuat dalam mengubah pola konsumsi masyarakat. Iklan
televisi, terutama, memperlihatkan pengaruh tinggi dibanding
iklan radio. "Pengembangan jaringan televisi dan radio, bilamana
hal itu dikaitkan dengan siaran iklan, jelas akan berpengaruh
terhadap tingkat pengenalan masyarakat pada produk yang
ditawarkan dan bisa dipastikan mengembangkan pola konsumsi,"
sebut penelitian itu.
Dr. Alfian, pimpinan proyek penelitian tersebut, memberi contoh
bahwa kini penduduk desa lebih menyukai memakai bumbu masak
buatan pabrik untuk menyedapkan masakan. Bumbu masak tradisional
seperti rempah-rempah, peranannya banyak digantikan bumbu masak
pabrik. Karena dipengaruhi iklan pula, penduduk pribumi
Tembagapura, Irian Jaya, sampai antri untuk memperoleh
Ajinomoto. Produksi bumbu masak pun melonjak dari 7,3 juta ton
(1973) menjadi 21,6 juta ton (1979). Shampoo sebut Alfian lagi,
setelah diiklankan dengan gencar, kini menjadi seperti kebutuhan
pokok.
Sekalipun harga shampoo murah, lanjut Alfian, yang kini Direktur
Lembaga Research Kebudayaan Nasional (LRKN-LIPI), tindakan itu
merupakan sikap kemewahan dan sekaligus berarti perubahan gaya
hidup. "Sebab tanpa shampoo pun rakyat desa sesungguhnya bisa
hidup," ujarnya. Menurut dia, sekalipun kelak tiada siaran iklan
khusus, bila diperhatikan sebenarnya hampir seluruh acara TVRI
merupakan iklan. Model pakaian yang dikenakan pemain musik
maupun film, misalnya, merupakan iklan yang baik.
Tapi sebuah biro riset di Jakarta mengatakan bahwa keputusan
konsumen membeli suatu produk tidaklah selalu karena pengaruh
iklan di TVRI. Respondennya di Jakarta menyatakan baha
informasi tentang suatu produk justru banyak diperoleh lewat
pembicaraan teman atau tetangga. Diketahuinya di Jakarta, hanya
sekitar 4% pemilik televisi (sejak mereka yang setiap bulan
mengeluarkan belanja Rp 20 ribu sampai di atas Rp 150 ribu),
dengan sengaja meluangkan waktu menonton Siaran Niaga. Namun di
Semarang, karena siaran iklan masih dianggap semacam hiburan,
mereka yang meluangkan waktu menonton siaran iklan mencapai 12%.
Dirjen Pembinaan Pers dan Grafika, Sukarno SH, juga menyebut
sejumlah akibat pengaruh iklan di TVRI. Mereka yang semula tak
kenal kosmetik, misalnya, kini Jadi seperti kecanduan. "Iklan
memang mampu mengubah pola dan gaya hidup seseorang," ungkapnya.
"dengan menghapuskan siaran iklan di TVRI, pemerintah sebenarnya
ingin mengurangi dampak iklan itu terhadap konsumen."
Dalam bentuk apa dampak iklan itu? Seandainya selera masyarakat
tak terpenuhi -- karena kemampuan terbatas -- menurut penelitian
Leknas, hal itu bisa menumbuhkan rasa frustrasi tak habis-habis.
"Bila rasa frustrasi tadi semakin menumpuk pada sebagian besar
anggota masyarakat, bukan tak mungkin akan menjurus kepada sikap
dan tingkah laku sosial yang tidak diinginkan," ungkap
penelitian itu. "Secara finansial memang banyak rakyat pedesaan
belum mampu membeli kebutuhan yang diiklankan TVRI," tambah
Alfian.
Munculnya suatu perbedaan yang semakin tajam dalam gaya hidup
dan pola konsumsi -- antara desa dan kota -- jelas tak
diinginkan pemerintah. Penghapusan iklan televisi, ungkap sebuah
sumber yang dekat dengan Bina Graha, antara lain dimaksudkan
untuk mengurangi perbedaan dan mengerem perubahan gaya hidup
tadi.
Terlalu Radikal
Tapi kebijaksanaan itu, dinilai Anak Agung Gde Agung, Managing
Director PT S.C. Johnson & Son Indonesia, terlalu radikal.
Tanpa iklan di TVRI pun, si Paimin penjual rokok, menurut dia,
toh tetap bisa melihat mobil mercy dan rumah mewah di Simprug
Jakarta Mencegah ekses perubahan gaya hidup dengan cara radikal
seperti itu, jelas tak enak," lanjut Anak Agung. "Kalau anda
sakit batuk, leher tak usah dipotong!"
Dr. Alfian membenarkannya. Bila toh iklan dihapuskan dari media
televisi, produsen tak ayal akan memakai media lain -- sekalipun
ongkosnya mahal -- untuk mengenalkan produksinya kepada
konsumen. Penanam modal tentu tak menginginkan perusahaannya
bangkrut hanya karena iklan tak boleh mengudara lewat TVRI.
Seharusnya pemerintah, demikian Alfian, menetapkan produk apa
saja yang tak boleh masuk, dihasilkan, dan diiklankan di
Indonesia. "Jadi sebenarnya yang harus ditinjau adalah
kebijaksanaan ekonomi secara keseluruhan. Tapi penghapusan iklan
di TVRI setidaknya sudah mengurangi daya saing perusahaan multi
nasional. Kebijaksanaan itu memungkinkan pengusaha kecil punya
ruang gerak."
Asppindo -- antara lain beranggotakan perusahaan multi nasional
Unilever, Union Carbide, Johnson Son, Singer, Bayer dan
Philips -- jelas tak menyukai saran Alfian. Dari tangan anggota
Asppindo inilah, yang kebanyakan modal asing, kebutuhan rakyat
Indonesia dipenuhi -- sejak pewangi kakus sampai pesawat
televisi. Unilever, misalnya, mensuplai sabun mandi di bawah
tiga merk dagang, sekalipun bahan baku masing-masing jauh
berbeda.
Persaingan di antara anggota Asppindo memperebutkan tempat dan
waktu Siaran Niaga yang semakin terbatas selama ini tampak
sengit. TVRI mencoba membatasi spot iklan obat setiap bulan,
misalnya, dengan rasio 3: 2: 1. Artinya suatu iklan obat hanya
bisa muncul tiga kali di Siaran Niaga 1, dua kali di Siaran
Niaga 11 dan sekali di Minggu pagi. Toh TVRI sering dituduh
melanggar peraturannya sendiri. "Bila tidak ada apa-apanya,
pelanggaran tentu tidak akan terjadi," ungkap Indra Abidin,
Sekjen P31.
Terbatasnya waktu siaran iklan dan sengitnya persaingan memang
membuka peluang bagi permainan kotor. Sejumlah biro iklan konon
sampai mengeluarkan upeti untuk mendapatkan kelebihan quota
spot. Karena permainan inilah, seorang pengarah acara TVRI
pernah diskors sekitar dua tahun ketika memasukkan suatu iklan
di luar jadwal.
Menurut Indra Abidin, sesungguhnya banyak iklan yang melanggar
SK Dirjen RTF No 11 tahun 1975, toh tetap muncul di televisi. Ia
menunjuk iklan Rinso yang diperagakan Kris Biantoro, masih
menyebut sebagai bahan pencuci "paling bersih." Bunyi slogan itu
memang tak sejiwa dengan pasal 23 SK Dirjen RTF tadi. Karena
dianggap tak selaras dengan bunyi pasal 24 SK itu, iklan obat
batuk (tablet) Konidin, yang "melenyapkan batuk seketika," tidak
boleh ditampilkan lagi. Tapi si Konidin masih muncul dengan
slogan, "merubah batuk jadi senyuman." Hebat!
Untuk kepentingan client, biro iklan memang berusaha secara
maksimal dalam menjajakan suatu produk lewat TVRI. Kadang dengan
nakal, mereka menerobos lubang peraturan. Untuk mencegahnya,
TVRI berusaha mengetatkan penelitian atas storboard film iklan.
Suatu film iklan yang dianggap tak sesuai dengan storyboard
semula, scring harus diulang pembuatannya, atau ditolak sama
sekali. Kalangan Asppindo dan P3I banyak mengeluh karenanya. "Di
TVRI tak ada patokan resmi mengenai suatu hal yang harus
dilaksanakan pengiklan dalam memaparkan iklannya," kecam Anak
Agung.
Walau demikian, TVRI tetap menjadi pilihan utama sebagai media
promosi. Kenapa? "TVRI murah dan efektif," ungkap Indra Abidin.
Pesawat televisi yang terdaftar, tahun lalu, berjumlah lebih 1,5
juta unit. Dengan 124 stasiun pemancar dan penghubung, siaran
TVRI dapat menjangkau 82 juta penduduk -- 70% tinggal di
pedesaan dan sisanya di kota. Karenanya, dibanding media cetak
(pers) dan radio, lanjut Indra, TVRI jelas lebih efektif.
TVRI tetap dianggap paling murah-walau tarip iklannya setiap
menit Rp 594 ribu. Sebab, menurut Indra Abidin, biaya iklan di
TVRI per 1.000 orang jatuhnya hanya Rp 0,04. Sementara di Kompas
mencapai Rp 4, dan Femina Rp 0,80.
Tak mengherankan bila sebagian besar dari sekitar Rp 70 milyar
dana promosi Asppindo, tahun lalu, mengalir ke TVRI. Johnson 8
Son, misalnya, untuk 20 produknya bahkan membelanjakan 60%
alokasi promosinya ke TVRI.
Pemasukan iklan TVRI 1980/81 ditaksir akan mencapai Rp 20
milyar. Itu bukan jumlah mustahil. Sebab dalam tahun anggaran
1979/80 lalu, pendapatan iklan TVRI berjumlah Rp 7,6 milyar.
Terutama dengan pendapatan iklan itu, TVRI berusaha menutup
defisit biaya eksploitasi. Dalam anggaran 1979/ 80, misalnya,
subsidi dari APBN dan iuran pesawat televisi, masing-masing
hanya Rp 151 juta (1,04%) dan Rp 6,9 milyar (46,9%). Untuk
mernbiayai siaran satu jam, menurut Direktur Televisi Drs.
Subrata, dibutuhkan Rp 5 juta. Biaya eksploitasi yang mahal itu,
selama ini memang ditopang pendapatan iklan.
Iklan yang semula hanya sekedar alat bantu, ternyata
kehadirannya meningkat seperti tulang punggung di tubuhmanusia.
Di tahun 1966, Dr. Umar Khayam, Dirjen RTF ketika itu, terpaksa
mencari uang dari iklan -- karena dana tak cukup, sementara mutu
siaran harus diperbaiki. Yayasan Wana Karta tercatat sebagai
sponsor pertama ketika ia membantu pementasan drama Taufiq
Ismail. Sejak itu, iklan perlahan-lahan menyusup dan memiliki
peranan -- apalagi setelah jangkauan TVRI semakin melebar.
Dan tingkah laku TVRI Jakarta itu menjalar ke daerah TVRI Medan
yang sesungguhnya mampu berdikari. Iklannya setiap bulan
memasukkan sekitar Kp 50 juta. Hasil itu didapatnya dari siaran
pukul 17.00 - 17.15 dan 20.00 - 20.15. Tapi tidak seluruh waktu
terisi penuh. Menurut R. Mansyur, Kepala TVRI Medan kepada
wartawan TEMPO Amran Nasution, sekitar 90% materi iklan datang
dari biro iklan di Jakarta.
Hati-hati
Penghasilan iklan TVRI Yogyakarta setiap bulan hanya Rp 25 juta.
Maka penghapusan siaran iklan tak terlalu memukulnya. Biaya
eksploitasi di stasiun ini setiap bulan Rp 45 juta. Sebanyak Rp
20 juta disubsidi Jakarta.
Selain TVRI, biro iklan jelas juga terpukul. Indo Ad, misalnya,
akan kehilangan komisi (biasanya sekitar 15%) dari billingnya di
TVRI. Untuk mempromosikan 25 produk kliennya, biro iklan ini
tahun lalu mempunyai billing di TVRI Rp 1,6 milyar -- sekitar
35% dari seluruh alokasi promosi yang dikelolanya. "Peniadaan
iklan di TVRI berakibat cukup berat buat kami," ungkap Emir H.
Moechtar, Pimpinan Indo Ad.
Ada kemungkinan dana promosi beralih dari TVRI ke media cetak.
Tentu ini masih memerlukan pertimbangan berat dan sulit. Karena
penyebaran media cetak terbatas dan tarip iklannya cukup mahal.
Apalagi sejak 1 Maret 1980 koran dibatasi 12 halaman dan hanya
boleh menampung iklan 30%. "Karenanya kami menghimbau pemerintah
agar melonggarkan halaman koran dan majalah," ujar Emir.
Dari pihak pengusaha sendiri belum terdengar rencana
kesinambungannya. Untuk mengalihkan dana promosi ke media cetak,
misalnya, Anak Agung masih harus berpikir. "Bila kelak ternyata
biaya promosi lebih tinggi, maka kami harus memperhitungkan
kembali return of investment," katanya. "Sekarang kami harus
semakin hati-hati meluncurkan produk baru."
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini