Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Bisnis

Bila iklan TVRI ditiadakan

Siaran iklan di tvri per 1 april 1981 ditiadakan, untuk mengurangi gaya hidup konsumeri sme. biro iklan terpukul. dana promosi akan beralih ke media cetak.

17 Januari 1981 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Iklan adalah berita. Dan celakanya ialah iklan selalu merupakan berita baik. (Marshall McLuhan, Teoritikus Komunikasi Massa). PENDAPAT McLuhan tersebut masih benar. Karena (berita baik) iklan TVRI, Parman dari Mojodoyong, Sragen, mencuci rambutnya dengan shampoo Clinik. Pemuda desa tadi tak pernah lagi kramas dengan banyu londo -- abu merang (batang padi) yang direndam air 2 - 3 hari. Banyu londo resep tradisional warisan nenek moyangnya, kini digantikan oleh produk pabrik yang menghasilkan secara massal. Juga peranan lada, pala, kayu manis, lengkuas dan kencur, sebagian telah diambil alih Ajinomoto. Hampir setiap malam, TVRI menyiarkan iklan keunggulan bumbu masak itu kepada penduduk desa. Tanpa bumbu masak, kata seorang konsumen di desa Mojodoyong, sayur lodeh terasa cemplang. Namun iklan di TVRI juga menimbulkan ekses kurang menyenangkan. Sejumlah penelitian -- antara lain dilakukan Lembaga Ekonomi dan Kemasyarakatan Nasional (Leknas-LIPI) -- telah membuktikannya. Karena, ketika menyampaikan Nota Keuangan dan RAPBN 1981/82 di DPR (5 Januari, Presiden Soeharto menyatakan mulai 1 April 1981 siaran iklan di TVRI ditiadakan. Alasannya, "untuk lebih memusatkan siaran televisi bagi kelancaran pelaksanaan program pembangunan dan untuk menghindarkan akibat samping yang tidak menguntungkan bagi semangat pembangunan." Bila siaran iklan di TVRI dihapuskan, demikian Soetikno Lukitodisastro, Sekjen Departemen Penerangan, gaya hidup konsumerisme diharapkan berkurang. "Jangan sampai orang yang belum memerlukan terpaksa membeli suatu barang," katanya kepada Saur Hutabarat, dari TEMPO. "Daripada memperbaiki akibat (buruk) yang ditimbulkan, lebih baik siaran iklan itu dihapuskan saja." Gagasan menghapuskan siaran iklan itu sesungguhnya sudah lama dipikirkan. ekitar 6 - 7 tahun lalu, ungkap Soetikno, Presiden pribadi telah mempertimbangkan untuk meniadakan iklan di TVRI. Tapi kenapa baru sekarang dicetuskan? "Sebab sekarang pemerintah kuat," jawabnya. "Dan sekarang pemerintah sudah siap menanggung seluruh biaya operasi TVRI." Itu merupakan berita buruk buat kalangan pengusaha dan biro iklan. Hari-hari ini berbagai pimpinan perusahaan multi nasional yang tergabung dalam Asosiasi Pemrakarsa dan Penyantun Iklan Indonesia (Asppindo) sibuk rapat dengan Persatuan Perusahaan Periklanan Indonesia (P31). Kesibukan serupa juga muncul di ruang rapat Departemen Penerangan. Direktur Jenderal Radio, Televisi dan Film, Drs. Sumadi tampak pula berbincang-bincang dengan staf TVRI. "Sekarang segala sesuatunya sedang digodok, agar tidak merugikan kedua belah pihak, baik pemerintah maupun pengusaha," kata Sumadi. TVRI jelas akan kehilangan uang masuk. Saban bulan diperkirakan 300 macam produk, sejak kebutuhan primer sampai luks (dari pewangi kakus sampai jam tangan GP), dipromosikan lewat layar TVRI. Menurut perhitungan suatu biro iklan, iklan alat-alat rumah tangga dan obat-obatan, mendominasi acara Siaran Niaga I (pukul 18.30 - 19.0) dan II (20.30 - 21.00). Padahal sesungguhnya iklan alat-alat rumah tangga dan obat-obatan, seperti diatur SK Dirjen RTF No. 11 tahun 1975, masing-masing tak boleh lebih dari 25% dan 5%. Masih belum jelas kenapa pelaksanaannya jauh menyimpang. Akibatnya, ekses buruk muncul ke permukaan. Suatu penelitian Leknas-dilakukan (1976) di pedesaan Kalimantan Barat, Aceh, Bali, Sulawesi Utara dan Selatan -- mengungkapkan betapa besar pengaruh iklan TVRI itu. Di Sulawesi Selatan, misalnya, para responden menyatakan kenal sembilan jenis produk konsumen 98% dari siaran iklan TVRI. Di sana iklan minyak rambut diingat lebih dari 100 responden (lihat tabel 1). Penelitian Fakultas Psikologi UI (tahun 1979) juga menguatkan hasil penelitian Leknas tadi. Para penonton di kota Medan, Jakarta, Surabaya dan Ujungpandang ternyata bisa menyebut kembali 152 merk produk konsumen tertentu. Iklan Ajinomoto dan Baygon (insektisida) merupakan produk yang dianggap paling mengesankan dan menimbulkan daya tarik untuk membelinya (lihat tabel 2). Iklan melalui radio dan TVRI, demikian penelitian Leknas: Pengaruh Sosial Budaa dari Komunikasi Satelit, memang punya pengaruh kuat dalam mengubah pola konsumsi masyarakat. Iklan televisi, terutama, memperlihatkan pengaruh tinggi dibanding iklan radio. "Pengembangan jaringan televisi dan radio, bilamana hal itu dikaitkan dengan siaran iklan, jelas akan berpengaruh terhadap tingkat pengenalan masyarakat pada produk yang ditawarkan dan bisa dipastikan mengembangkan pola konsumsi," sebut penelitian itu. Dr. Alfian, pimpinan proyek penelitian tersebut, memberi contoh bahwa kini penduduk desa lebih menyukai memakai bumbu masak buatan pabrik untuk menyedapkan masakan. Bumbu masak tradisional seperti rempah-rempah, peranannya banyak digantikan bumbu masak pabrik. Karena dipengaruhi iklan pula, penduduk pribumi Tembagapura, Irian Jaya, sampai antri untuk memperoleh Ajinomoto. Produksi bumbu masak pun melonjak dari 7,3 juta ton (1973) menjadi 21,6 juta ton (1979). Shampoo sebut Alfian lagi, setelah diiklankan dengan gencar, kini menjadi seperti kebutuhan pokok. Sekalipun harga shampoo murah, lanjut Alfian, yang kini Direktur Lembaga Research Kebudayaan Nasional (LRKN-LIPI), tindakan itu merupakan sikap kemewahan dan sekaligus berarti perubahan gaya hidup. "Sebab tanpa shampoo pun rakyat desa sesungguhnya bisa hidup," ujarnya. Menurut dia, sekalipun kelak tiada siaran iklan khusus, bila diperhatikan sebenarnya hampir seluruh acara TVRI merupakan iklan. Model pakaian yang dikenakan pemain musik maupun film, misalnya, merupakan iklan yang baik. Tapi sebuah biro riset di Jakarta mengatakan bahwa keputusan konsumen membeli suatu produk tidaklah selalu karena pengaruh iklan di TVRI. Respondennya di Jakarta menyatakan baha informasi tentang suatu produk justru banyak diperoleh lewat pembicaraan teman atau tetangga. Diketahuinya di Jakarta, hanya sekitar 4% pemilik televisi (sejak mereka yang setiap bulan mengeluarkan belanja Rp 20 ribu sampai di atas Rp 150 ribu), dengan sengaja meluangkan waktu menonton Siaran Niaga. Namun di Semarang, karena siaran iklan masih dianggap semacam hiburan, mereka yang meluangkan waktu menonton siaran iklan mencapai 12%. Dirjen Pembinaan Pers dan Grafika, Sukarno SH, juga menyebut sejumlah akibat pengaruh iklan di TVRI. Mereka yang semula tak kenal kosmetik, misalnya, kini Jadi seperti kecanduan. "Iklan memang mampu mengubah pola dan gaya hidup seseorang," ungkapnya. "dengan menghapuskan siaran iklan di TVRI, pemerintah sebenarnya ingin mengurangi dampak iklan itu terhadap konsumen." Dalam bentuk apa dampak iklan itu? Seandainya selera masyarakat tak terpenuhi -- karena kemampuan terbatas -- menurut penelitian Leknas, hal itu bisa menumbuhkan rasa frustrasi tak habis-habis. "Bila rasa frustrasi tadi semakin menumpuk pada sebagian besar anggota masyarakat, bukan tak mungkin akan menjurus kepada sikap dan tingkah laku sosial yang tidak diinginkan," ungkap penelitian itu. "Secara finansial memang banyak rakyat pedesaan belum mampu membeli kebutuhan yang diiklankan TVRI," tambah Alfian. Munculnya suatu perbedaan yang semakin tajam dalam gaya hidup dan pola konsumsi -- antara desa dan kota -- jelas tak diinginkan pemerintah. Penghapusan iklan televisi, ungkap sebuah sumber yang dekat dengan Bina Graha, antara lain dimaksudkan untuk mengurangi perbedaan dan mengerem perubahan gaya hidup tadi. Terlalu Radikal Tapi kebijaksanaan itu, dinilai Anak Agung Gde Agung, Managing Director PT S.C. Johnson & Son Indonesia, terlalu radikal. Tanpa iklan di TVRI pun, si Paimin penjual rokok, menurut dia, toh tetap bisa melihat mobil mercy dan rumah mewah di Simprug Jakarta Mencegah ekses perubahan gaya hidup dengan cara radikal seperti itu, jelas tak enak," lanjut Anak Agung. "Kalau anda sakit batuk, leher tak usah dipotong!" Dr. Alfian membenarkannya. Bila toh iklan dihapuskan dari media televisi, produsen tak ayal akan memakai media lain -- sekalipun ongkosnya mahal -- untuk mengenalkan produksinya kepada konsumen. Penanam modal tentu tak menginginkan perusahaannya bangkrut hanya karena iklan tak boleh mengudara lewat TVRI. Seharusnya pemerintah, demikian Alfian, menetapkan produk apa saja yang tak boleh masuk, dihasilkan, dan diiklankan di Indonesia. "Jadi sebenarnya yang harus ditinjau adalah kebijaksanaan ekonomi secara keseluruhan. Tapi penghapusan iklan di TVRI setidaknya sudah mengurangi daya saing perusahaan multi nasional. Kebijaksanaan itu memungkinkan pengusaha kecil punya ruang gerak." Asppindo -- antara lain beranggotakan perusahaan multi nasional Unilever, Union Carbide, Johnson Son, Singer, Bayer dan Philips -- jelas tak menyukai saran Alfian. Dari tangan anggota Asppindo inilah, yang kebanyakan modal asing, kebutuhan rakyat Indonesia dipenuhi -- sejak pewangi kakus sampai pesawat televisi. Unilever, misalnya, mensuplai sabun mandi di bawah tiga merk dagang, sekalipun bahan baku masing-masing jauh berbeda. Persaingan di antara anggota Asppindo memperebutkan tempat dan waktu Siaran Niaga yang semakin terbatas selama ini tampak sengit. TVRI mencoba membatasi spot iklan obat setiap bulan, misalnya, dengan rasio 3: 2: 1. Artinya suatu iklan obat hanya bisa muncul tiga kali di Siaran Niaga 1, dua kali di Siaran Niaga 11 dan sekali di Minggu pagi. Toh TVRI sering dituduh melanggar peraturannya sendiri. "Bila tidak ada apa-apanya, pelanggaran tentu tidak akan terjadi," ungkap Indra Abidin, Sekjen P31. Terbatasnya waktu siaran iklan dan sengitnya persaingan memang membuka peluang bagi permainan kotor. Sejumlah biro iklan konon sampai mengeluarkan upeti untuk mendapatkan kelebihan quota spot. Karena permainan inilah, seorang pengarah acara TVRI pernah diskors sekitar dua tahun ketika memasukkan suatu iklan di luar jadwal. Menurut Indra Abidin, sesungguhnya banyak iklan yang melanggar SK Dirjen RTF No 11 tahun 1975, toh tetap muncul di televisi. Ia menunjuk iklan Rinso yang diperagakan Kris Biantoro, masih menyebut sebagai bahan pencuci "paling bersih." Bunyi slogan itu memang tak sejiwa dengan pasal 23 SK Dirjen RTF tadi. Karena dianggap tak selaras dengan bunyi pasal 24 SK itu, iklan obat batuk (tablet) Konidin, yang "melenyapkan batuk seketika," tidak boleh ditampilkan lagi. Tapi si Konidin masih muncul dengan slogan, "merubah batuk jadi senyuman." Hebat! Untuk kepentingan client, biro iklan memang berusaha secara maksimal dalam menjajakan suatu produk lewat TVRI. Kadang dengan nakal, mereka menerobos lubang peraturan. Untuk mencegahnya, TVRI berusaha mengetatkan penelitian atas storboard film iklan. Suatu film iklan yang dianggap tak sesuai dengan storyboard semula, scring harus diulang pembuatannya, atau ditolak sama sekali. Kalangan Asppindo dan P3I banyak mengeluh karenanya. "Di TVRI tak ada patokan resmi mengenai suatu hal yang harus dilaksanakan pengiklan dalam memaparkan iklannya," kecam Anak Agung. Walau demikian, TVRI tetap menjadi pilihan utama sebagai media promosi. Kenapa? "TVRI murah dan efektif," ungkap Indra Abidin. Pesawat televisi yang terdaftar, tahun lalu, berjumlah lebih 1,5 juta unit. Dengan 124 stasiun pemancar dan penghubung, siaran TVRI dapat menjangkau 82 juta penduduk -- 70% tinggal di pedesaan dan sisanya di kota. Karenanya, dibanding media cetak (pers) dan radio, lanjut Indra, TVRI jelas lebih efektif. TVRI tetap dianggap paling murah-walau tarip iklannya setiap menit Rp 594 ribu. Sebab, menurut Indra Abidin, biaya iklan di TVRI per 1.000 orang jatuhnya hanya Rp 0,04. Sementara di Kompas mencapai Rp 4, dan Femina Rp 0,80. Tak mengherankan bila sebagian besar dari sekitar Rp 70 milyar dana promosi Asppindo, tahun lalu, mengalir ke TVRI. Johnson 8 Son, misalnya, untuk 20 produknya bahkan membelanjakan 60% alokasi promosinya ke TVRI. Pemasukan iklan TVRI 1980/81 ditaksir akan mencapai Rp 20 milyar. Itu bukan jumlah mustahil. Sebab dalam tahun anggaran 1979/80 lalu, pendapatan iklan TVRI berjumlah Rp 7,6 milyar. Terutama dengan pendapatan iklan itu, TVRI berusaha menutup defisit biaya eksploitasi. Dalam anggaran 1979/ 80, misalnya, subsidi dari APBN dan iuran pesawat televisi, masing-masing hanya Rp 151 juta (1,04%) dan Rp 6,9 milyar (46,9%). Untuk mernbiayai siaran satu jam, menurut Direktur Televisi Drs. Subrata, dibutuhkan Rp 5 juta. Biaya eksploitasi yang mahal itu, selama ini memang ditopang pendapatan iklan. Iklan yang semula hanya sekedar alat bantu, ternyata kehadirannya meningkat seperti tulang punggung di tubuhmanusia. Di tahun 1966, Dr. Umar Khayam, Dirjen RTF ketika itu, terpaksa mencari uang dari iklan -- karena dana tak cukup, sementara mutu siaran harus diperbaiki. Yayasan Wana Karta tercatat sebagai sponsor pertama ketika ia membantu pementasan drama Taufiq Ismail. Sejak itu, iklan perlahan-lahan menyusup dan memiliki peranan -- apalagi setelah jangkauan TVRI semakin melebar. Dan tingkah laku TVRI Jakarta itu menjalar ke daerah TVRI Medan yang sesungguhnya mampu berdikari. Iklannya setiap bulan memasukkan sekitar Kp 50 juta. Hasil itu didapatnya dari siaran pukul 17.00 - 17.15 dan 20.00 - 20.15. Tapi tidak seluruh waktu terisi penuh. Menurut R. Mansyur, Kepala TVRI Medan kepada wartawan TEMPO Amran Nasution, sekitar 90% materi iklan datang dari biro iklan di Jakarta. Hati-hati Penghasilan iklan TVRI Yogyakarta setiap bulan hanya Rp 25 juta. Maka penghapusan siaran iklan tak terlalu memukulnya. Biaya eksploitasi di stasiun ini setiap bulan Rp 45 juta. Sebanyak Rp 20 juta disubsidi Jakarta. Selain TVRI, biro iklan jelas juga terpukul. Indo Ad, misalnya, akan kehilangan komisi (biasanya sekitar 15%) dari billingnya di TVRI. Untuk mempromosikan 25 produk kliennya, biro iklan ini tahun lalu mempunyai billing di TVRI Rp 1,6 milyar -- sekitar 35% dari seluruh alokasi promosi yang dikelolanya. "Peniadaan iklan di TVRI berakibat cukup berat buat kami," ungkap Emir H. Moechtar, Pimpinan Indo Ad. Ada kemungkinan dana promosi beralih dari TVRI ke media cetak. Tentu ini masih memerlukan pertimbangan berat dan sulit. Karena penyebaran media cetak terbatas dan tarip iklannya cukup mahal. Apalagi sejak 1 Maret 1980 koran dibatasi 12 halaman dan hanya boleh menampung iklan 30%. "Karenanya kami menghimbau pemerintah agar melonggarkan halaman koran dan majalah," ujar Emir. Dari pihak pengusaha sendiri belum terdengar rencana kesinambungannya. Untuk mengalihkan dana promosi ke media cetak, misalnya, Anak Agung masih harus berpikir. "Bila kelak ternyata biaya promosi lebih tinggi, maka kami harus memperhitungkan kembali return of investment," katanya. "Sekarang kami harus semakin hati-hati meluncurkan produk baru."

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus