Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Sedia Sorgum Mengganti Gandum

Pengembangan sorgum mulai berjalan di sejumlah daerah. Petani mengeluhkan penjualan hasil panen dan harga yang rendah.

18 September 2022 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Pemerintah mencanangkan pengembangan sorgum untuk menggantikan gandum.

  • Ada 115 ribu hektare lahan untuk menanam sorgum mulai tahun depan.

  • Petani masih asing dengan sorgum dan kesulitan menjual hasil panennya.

ADA pemandangan baru di Kampung Neglasari, Desa Mekarwangi, Kecamatan Cariu, Kabupaten Bogor, Jawa Barat, sejak Jumat, 9 September lalu. Di desa itu, 4.000 meter persegi kebun palawija milik warga berubah menjadi ladang sorgum. Untuk menanam benih tanaman serealia itu, warga membuat sekitar 50 guratan di atas tanah masing-masing sepanjang 10 meter. Kebun itu juga dikelilingi pipa paralon putih untuk memasok air.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kampung Neglasari menjadi lokasi penanaman sorgum yang merupakan bagian dari program ketahanan pangan yang digagas Tentara Nasional Indonesia Angkatan Laut. Menurut Deden Sadam, warga Neglasari, terdapat 86 hektare lahan yang akan ditanami sorgum. “Rencananya ada beberapa lokasi, lahan ini menjadi sampel untuk percontohan,” kata pria 54 tahun itu kepada Tempo, Jumat, 16 September lalu.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Deden adalah satu dari 69 warga yang bakal terlibat dalam penanaman sorgum di Cariu. Menurut dia, selain kebun palawija, bekas sawah dimanfaatkan menjadi ladang sorgum. TNI Angkatan Laut dan dinas pertanian setempat memberikan penyuluhan dan bibit kepada sejumlah petani. Tapi, sebelum tanaman diganti dengan sorgum, petani awalnya diberi bibit jagung.  

Tatang, 40 tahun, juga ambil bagian dalam pengembangan ladang sorgum di Neglasari. Tapi, dia mengungkapkan, petani di desa itu masih asing dengan sorgum. Dia juga masih bingung bagaimana memasarkan sorgum, meski TNI Angkatan Laut sudah berjanji menyerap hasil panen kelak. "Perlu penjelasan karena warga bingung jika sorgum harus ditanam tanpa bisa dijual,” ujarnya.

Kebingungan Tatang juga dialami para petani di Nusa Tenggara Timur. Kamilo Da Silva, 40 tahun, petani di Desa Fatuketi, Kabupaten Belu, memanen 2 ton sorgum dari lahan seluas 50 are akhir tahun lalu. Namun hasil panen itu baru bisa laku enam bulan kemudian. Karena itu, Kamilo berpikir ulang untuk kembali menanam sorgum. Dia dan petani lain di desanya malah menyiapkan lahan untuk ditanami tanaman hortikultura, seperti bawang.  

Petani dan sejumlah prajurit TNI AL menanam sorgum pada acara Gerakan Penanaman Sorgum Nasional 2022 di Cariu, Kabupaten Bogor, Jawa Barat, 9 September 2022. ANTARA/Yulius Satria Wijaya

Sedangkan Petrus Maupelun, warga Dusun Nera, Desa Fatuketi, mengaku kapok karena hampir tidak ada yang mau membeli sorgum dalam jumlah banyak. Tempo melihat di rumahnya ada berkarung-karung sorgum yang belum terjual. Petrus mengungkapkan, dia terpaksa menjual 3 ton sorgum ke Kupang dengan harga murah. Dia mendapatkan Rp 5.000 per kilogram untuk sorgum mentah dan Rp 7.000 per kilogram untuk yang sudah digiling.

Padahal penanaman sorgum adalah bagian dari proyek pengembangan pangan alternatif yang dicanangkan Presiden Joko Widodo pada pertengahan tahun ini. Tanaman ini diharapkan bisa menjadi pengganti gandum yang pasokannya langka dan harganya kian mahal setelah perang Rusia-Ukraina pecah. Tahun depan, pemerintah menargetkan program penanaman sorgum berjalan di atas lahan seluas 115 ribu hektare di sembilan provinsi.

Jokowi memerintahkan pemerintah daerah menyediakan lahan untuk menanam sorgum. Menurut dia, sudah ada hasil memuaskan dari uji coba di atas lahan seluas 60 hektare di Kabupaten Sumba Timur, Nusa Tenggara Timur. “Kita melihat sendiri hasilnya, sangat baik. Hasil produksi per hektare per tahun bisa Rp 50-an juta," tuturnya beberapa waktu lalu.

Jokowi juga meminta pengusaha memanfaatkan bahan pangan ini. Di hadapan anggota Kamar Dagang dan Industri Indonesia, Selasa, 23 Agustus lalu, dia meminta pengusaha menggunakan sorgum sebagai pengganti gandum yang harus diimpor. “NTT itu tempatnya sorgum, sangat subur dan feasible. Dicoba saja, enggak usah ribuan hektare,” katanya.

Toh, pada kenyataannya para petani masih asing dengan sorgum. Selain itu, menurut Kepala Dinas Pertanian dan Ketahanan Pangan Provinsi Nusa Tenggara Timur Lecky Frederich Koli, belum banyak pembeli siaga alias offtaker untuk menjamin penyerapan hasil panen dalam skala besar. Dia juga menyebutkan kendala lain berupa keterbatasan alat pascapanen dan pengolahan, seperti perontok, penyosoh, dan penepung. "Hasil panen 1-2 ton per hektare, sebagian besar dikirim ke Jawa," ucapnya. Sisanya menjadi benih dan diolah menjadi tepung.

Lecky menambahkan, penanaman sorgum di wilayahnya berjalan sejak 2020 di atas lahan 2.800 hektare. Tahun lalu lahan sorgum meluas menjadi 3.200 hektare. Pada 2023, akan ada 15 ribu hektare lahan di Kabupaten Lembata, Flores Timur, Sikka, Ende, Ngada, Nagekeo, dan Manggarai Timur serta Pulau Sumba dan Pulau Timor yang menjadi ladang sorgum.

Di Jawa Tengah, penanaman sorgum mulai diperkenalkan pada 2020. "Tapi, di awal masa pandemi Covid-19, saat panen pasarnya tak ada. Semangat petani agak berkurang," ujar Kepala Dinas Pertanian dan Perkebunan Jawa Tengah Supriyanto pada Jumat, 9 September lalu.

Tahun lalu, menurut Supriyanto, hasil panen sorgum di Kabupaten Wonogiri dihargai Rp 2.500-3.000 per kilogram, jauh di bawah harga di Nusa Tenggara Timur. Tahun ini terdapat 120 hektare lahan di Jawa Tengah yang ditanami sorgum, tepatnya di Kabupaten Wonogiri 60 hektare, Cilacap 40 hektare, dan Sukoharjo 20 hektare. Luas lahan meningkat 40 hektare dibanding pada 2020.

Pakar pangan dari Institut Pertanian Bogor, Jawa Barat, Dwi Andreas Santosa, ragu terhadap target penyediaan lahan sorgum tahun depan. Dia juga mempertanyakan hasil produksi sorgum yang menjadi pengganti gandum, yang jumlah impornya mencapai 11,7 juta ton per tahun. "Sebanyak 27 persen konsumsi pangan pokok kita terdiri atas gandum dan beberapa komoditas yang tidak bisa digantikan sorgum," katanya.

Direktur Serealia Direktorat Jenderal Tanaman Pangan Kementerian Pertanian Ismail Wahab mengatakan sepanjang tahun ini sorgum dikembangkan di atas lahan seluas 4.600 hektare di Nusa Tenggara Timur, Nusa Tenggara Barat, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Kalimantan Barat, dan Bali. Proyek ini didanai negara. Menurut dia, rata-rata produktivitas lahan sorgum sebesar 3-4 ton per hektare.

Pemerintah sadar penyerapan hasil panen sorgum yang melimpah memerlukan keterlibatan industri besar, termasuk perusahaan yang selama ini mengimpor gandum. Sembari menyusun peta jalan Pengembangan Sorgum Nasional 2022-2024, Ismail menjelaskan, pemerintah tengah mengembangkan lahan marginal, budi daya, dan pengelolaan pascapanen serta menyiapkan pasar.

Kementerian Pertanian sudah menggaet enam perusahaan selaku offtaker sorgum, yaitu Indonesia Cerdas Desa, PT Sedana Panen Sejahtera, PT Artaduta Lestari, PT Yant Sorgum, PT Sumba Moelti Agriculture, dan PT Sorgum Indonesia. "Walau belum ada industri besar, saat ini banyak home industry yang menjual produk sorgum," tutur Ismail, yang juga mengatakan lobi terhadap produsen skala besar masih berjalan.

Direktur PT Indofood Sukses Makmur Tbk Franciscus Welirang sepakat mengenai perlunya pasokan bahan pangan alternatif. Namun, kata dia, ada kandungan tertentu dalam gandum atau bahan pangan lain yang tak tergantikan oleh sorgum. "Para pakar pun tahu soal itu."

M.A MURTADHO (BOGOR), JAMAL A. NASHR (SEMARANG), MARCEL MANEK (BELU, ATAMBUA), JOHN SEO (KUPANG), WARISSATUL ANBIYA
Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Aisha Shaidra

Aisha Shaidra

Bergabung di Tempo sejak April 2013. Menulis gaya hidup dan tokoh untuk Koran Tempo dan Tempo.co. Kini, meliput isu ekonomi dan bisnis di majalah Tempo. Bagian dari tim penulis liputan “Jalan Pedang Dai Kampung” yang meraih penghargaan Anugerah Jurnalistik Adinegoro 2020. Lulusan Sastra Indonesia Universitas Padjadjaran.

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus