Daripada dijual 50 ribu dolar, lebih menguntungkan bila Palapa B1 dioperasikan kembali. Pihak swasta rupanya berminat. KALAU ada pengusaha yang kini sibuk mengincar dan menilai bangkai, satelit domestik Palapa B1 itulah yang merupakan sasarannya. Ada selentingan menyebutkan bahwa Palapa B1 yang sudah tak terpakai itu dibidik-bidik oleh PT Pasific Nusantara Satelit. Perusahaan ini akan merupakan perusahaan patungan swasta nasional yang dimiliki oleh PT Telekomunikasi Indonesia (Telkom), Grup Bimantara, Adiwoso, dan Iskandar Alisjahbana. Kendati kabar angin itu semakin gencar, hingga kini belum ada kepastian kapan dan berapa harga bangkai satelit itu akan ditawar oleh Pasific Nusantara. "Kami baru akan melakukan negosiasi dengan mereka," kata Cacuk Sudarjanto, Dirut Telkom. Terlepas dari hasil negosiasi itu kelak, bisnis satelit bekas model Palapa B1 ini tergolong "barang" baru. Pemerintah Indonesia, tampaknya, baru melihat peluang ini awal tahun lalu. Ketika itu, Hughes Aircraft (perusahaan telekomunikasi Amerika) mengukur sisa bahan bakar yang terdapat dalam Palapa B1. Maka, pada April 1990 diketahui bahwa satelit ini masih memiliki 5,95 kilogram bahan bakar. Paling tidak, bahan bakar sebanyak itu masih bisa digunakan untuk mengoperasikan B1 antara 2,5 dan 3,5 tahun. Selain itu, Comsat (juga perusahaan telekomunikasi AS) berhasil menemukan teknologi baru untuk mengubah dan mengendalikan posisi orbit satelit. "Nah, dua alasan inilah yang menyebabkan Telkom dan Comsat berpendapat bahwa B1 jangan dibuang dulu," kata Cacuk. Melihat adanya peluang tersebut, pemerintah kini mempunyai beberapa alternatif pilihan. Pilihan pertama, Comsat bekerja sama dengan Telkom, mengoperasikan Palapa B1. Caranya, bisa saja satelit ini dipindahkan orbitnya untuk melayani negaranegara tertentu yang tak mampu membayar sewa dengan tarif tinggi (harga sewa sebuah transponder Palapa kini berkisar 1,1 juta dolar per tahun). Cacuk pernah mengatakan bahwa sasarannya adalah negara-negara kecil di Asia Pasifik. Alternatif kedua adalah menjual bangkai ini kepada Comsat sendiri. Namun, alternatif ini agaknya tak layak dipertimbangkan karena Comsat hanya berani menawar 50 ribu dolar. Padahal, untuk memiliki satelit yang satu ini pada 1983, pemerintah Indonesia menginvestasikan dana tak kurang dari 52 juta dolar. "Comsat memang pelit," komentar Iskandar Alisjahbana, salah seorang pemegang saham PT Pasific Nusantara. Mungkin karena itu pula, Telkom kini melirik perusahaan patungan swasta nasional tersebut. "Ini sebuah peluang yang bagus," kata Cacuk, yang mengaku tidak mengetahui cikal bakal Pasific Nusantara. "Perusahaan itu tahu-tahu sudah ada saja," tuturnya. Maka, sebagai wakil pemerintah, Cacuk akan melakukan negosiasi yang rinci dengan pihak Pasific Nusantara. "Saya tidak mau hanya disodori rencana, langsung tanda tangan. No way," katanya. Kendati termasuk baru, bisnis satelit bekas ini merupakan bisnis jangka panjang karena selain B1, kelak akan muncul satelit-satelit bekas yang lain, yakni Palapa B2R, Palapa B2P, dan seterusnya. Prospeknya cukup cerah. Investasi yang dibutuhkan pun relatif murah. Tinggal memperbaiki beberapa peralatan di Cibinong, plus mempersiapkan tenaga operasional, kemudian menggeserkan orbitnya. Setelah itu langsung jalan. Jadi, wajarlah bila Cacuk punya niat mengotak-atik posisi pemegang saham di Pasific Nusantara. "Saya berharap tidak ada perorangan yang memegang saham mayoritas," ujarnya. Kata Cacuk lagi, jika urusan pembagian saham selesai, barulah perundingan ditingkatkan ke arah yang lebih detail. Misalnya, tentang berapa saham yang harus disetor oleh pihak swasta dan berapa pula tarif sewa setiap transponder (Palapa B1 memiliki 24 transponder). Budi Kusumah, Linda Djalil, dan Siti Nurbaiti
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini