Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Setelah kredit macet

Banyak bank tidak lagi menyalurkan kredit baru bagi nasabahnya dan mengupayakan membatasi kredit macet. salah satu kredit macet terjadi di komoditi kopi, pala, lada dan hasil tambak.

7 Desember 1991 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Tanpa gembar-gembor, banyak bank tak lagi mengalirkan kredit baru. Situasi ini akan berlangsung hingga April 1992. SETELAH dua tahun dipermainkan oleh "monster" kredit macet, kini para bankir mulai memperlihatkan sikap tegasnya. Mereka tak mau lagi melakukan tawar-menawar kredit dengan para nasabah baru. Dalam kata lain, untuk sementara bank tidak akan menyalurkan kredit bagi para nasabahnya. Tidak terkecuali bankbank pemerintah. Bank BRI, contohnya, telah mencanangkan akan menghentikan penyaluran kredit bagi para nasabah baru hingga April tahun depan. Begitu pula beberapa bankir swasta nasional yang dihubungi TEMPO. Mereka menyatakan bahwa pada saat sulit seperti sekarang, "Langkah yang tepat adalah memelihara kredit yang kadung tersalur." Maksudnya, bank akan lebih banyak menagih daripada memberikan kredit tambahan. Kalaupun dilakukan, kredit tambahan sematamata hanya diberikan untuk menambah kekuatan bagi nasabah agar bisa mencicil utangnya yang lama. Upaya lain akan dipusatkan pada "perjuangan" membatasi kredit macet. Berapa besar kredit macet itu, belum ada bankir yang mau berterus terang. "Pokoknya, kredit macet yang harus ditanggung bank-bank saat ini cukup beratlah," kata Kamardy Arief, Dirut BRI. Salah satu yang paling mencolok dari kredit macet ini terjadi di sektor komoditi pertanian seperti kopi, pala, lada, dan hasil tambak. Menurut Kamardy, kredit yang mengalir ke sektor ini hampir 100% tak tertagih. "Jumlahnya cukup besar," ujarnya, tanpa menyebutkan angka rinci. Contoh yang paling gampang terlihat adalah komoditi kopi. Sejak harganya terus-menerus menukik karena pasok berlebihan, banyak eksportir yang tak lagi mampu mengembalikan pinjaman modal kerja mereka. Bahkan, menurut Dharyono Kertosastro (Ketua Asosiasi Eksportir Kopi Indonesia), kredit macet terjadi pada sekitar 90% eksportir kopi. Penyebabnya tak lain kejatuhan harga kopi di pasar internasional hingga meluncur sampai ke 90 sen dolar per kilo. Padahal, pada masa jayanya, 1987, si hitam masih laku dengan harga 3,5 dolar per kilo. Bertolak dari sini Dharyono memperkirakan di sektor kopi saja kemacetan kredit paling sedikit Rp 300 milyar. "Itu perkiraan minimal, lo," katanya. Artinya, bukan mustahil jumlah "si macet" jauh lebih besar dari Rp 300 milyar. Untuk menjaga agar tidak gulung tikar, lalu AEKI telah mengajukan permohonan keringanan cicilan kepada berbagai bank. Paling tidak, "Terlebih dahulu kami akan minta penundaan pembayaran bunga," kata Dharyono. Soalnya, kendati ekspor kopi terus berlangsung, kenyataannya eksportir selalu buntung. Kelangsungan ekspor ini penting untuk menjaga segmen pasar luar negeri yang sudah dikuasai. Tapi, eksportir harus berani menanggung risiko rugi karena, selain harus membayar bunga pinjaman, mereka juga mau tak mau harus membayar biaya produksi. Hanya perlu diketahui, bukan cuma bank dan eksportir yang megap-megap. Tapi juga Asuransi Ekspor Indonesia (Asei). "Yang mengajukan klaim kepada kami tahun ini mengalami kenaikan 50%," kata Muchtar, Dirut Asei, tanpa mau menyebutkan nilai uangnya. Itu tidak berarti bahwa seluruh klaim harus ditanggung oleh Asei. Semuanya masih akan diteliti lebih dahulu. "Kalau kemacetan yang terjadi disebabkan oleh kelalaian pihak bank dalam memberikan kredit, masa kami yang harus menanggung," ujar Muchtar. Lalu, apa upaya yang tepat untuk mencairkan kredit-kredit macet ini? "Tergantung situasi," kata Kamardy. "Jika rupiah dilonggarkan, dan pasar komoditi di luar negeri membaik, barulah kita bisa mengharapkan kredit mencair lagi," ujar Dirut BRI yang kini juga kewalahan menangani "ledakan" karyawan yang berminat untuk pensiun dini. Budi Kusumah, Dwi S. Irawanto, dan Bambang Aji

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus