Megaproyek Chandra Asri harus di-PMA-kan. Investor lokal dan bank pemerintah mungkin kecewa, tapi ini baik untuk ekonomi negara. ANYER, Jawa Barat, dua pekan silam. Bukit batu yang dikelilingi dataran yang rata menghampar itu tampak megah. Di sana sini menyembul bangunan-bangunan pabrik. Itulah kompleks Chandra Asri Petrochemical Centre (CAPC), alias pusat industri bahan baku plastik pertama, yang sebagai megaproyek banyak dibicarakan akhir-akhir ini. Dua pekan lalu sebuah helikopter yang membawa bos dari Showa Denko K.K. mendarat di bukit tersebut. Ia diantar oleh bos CAPC Prajogo Pangestu. Tampaknya, kunjungan ini dilakukan berkaitan dengan rencana mengubah Chandra Asri dari status PMDN menjadi PMA. CAPC diluncurkan karena gagalnya kerja sama Bimantara dengan perusahaan minyak Shell dari Amerika Serikat. Kedua mitra itu semula ingin membangun proyek olefin bersama Pertamina dan Mitsubishi di Cilacap. Namun, Shell bersikeras menguasai saham mayoritas, hingga akhirnya proyek itu batal. Bimantara kemudian mengajak pengusaha kayu terkemuka Prajogo Pangestu dan Henry Pribadi (mitra Liem Sioe Liong di Salim Group) untuk berpatungan mendirikan pabrik olefin yang 100% swasta nasional. Lahirlah CAPC alias Chandra Asri. Dengan modal sendiri, ditambah pinjaman sekitar US$ 760 juta dari sindikat bank pemerintah (antara lain Bank Bumi Daya), CAPC segera bergerak cepat. Garry Shanklin, orang Amerika yang ditunjuk sebagai pimpinan proyek di Anyer itu, mengatakan bahwa pada Agustus 1990 tanah seluas 130 ha telah dibebaskan. Peletakan batu pertama dilakukan pada 11 Maret 1991, yang disusul pemancangan tiangtiang pondasi. Dua pekan lalu, Shanklin melaporkan bahwa hingga November 1991 sudah ditanamkan 3.000 tiang pondasi, yang menghabiskan 90.000 m3 coran beton. Bukit-bukit batu sudah dipotong 2 juta m3. Untuk itu, dihabiskan 300 ton dinamit yang dilakukan oleh PT Argha Indah dengan bantuan Kopassus. Tanah urukan juga sudah habis 1,7 juta m3. "Semua pekerjaan ini menghabiskan biaya sekitar Rp 30 milyar," kata Shanklin. Di kompleks itu, kini sudah berdiri gudang-gudang seluas 9.000 m2, perkantoran sementara seluas 6.000 m2, perumahan satpam, kantin untuk 8.000 tenaga. Tanki-tanki dan sistem pengairan sudah dipasang, dan sebuah pelabuhan tengah dibangun serta direncanakan selesai Februari 1992. Pekerjaan di Anyer itu tampaknya harus memburu waktu. Soalnya, Toyo Engineering Corporation (TEC), yang menjadi kontraktor utama proyek CAPC, juga sudah memesan peralatan pabrik yang diharapkan mulai tiba di Anyer pada Februari 1992. Peralatan itu antara lain meliputi kompresor (9 unit dari Jepang), 251 pompa (dari Jepang dan Inggris), 2 turbin pembangkit listrik dari Alsthom (Prancis). Selain itu, ada bejanabejana bertekanan tinggi, menara pembuangan gas serta peralatan pengatur panas yang tengah dibikin di Korea Selatan, AS, Jerman Barat, Jepang, Singapura. Semuanya ada 326 unit, 65 unit di antaranya dipesan dari perusahaan lokal Indonesia. Maka, pabrik baja Hyundai di Ulsan (Korea Selatan), sejak dua pekan lalu terlihat sibuk yang luar biasa. Mereka tengah mengerjakan propylene fractionator, yang akan merupakan menara baja berbobot 530 ton. "Pekerjaan ini bernilai US$ 20 juta. Separuh pembayarannya sudah kami terima dari TEC ketika kontrak diteken bulan Oktober lalu. Sisanya akan kami terima begitu selesai Februari 1992," kata Hun Sung Rhee, Direktur Industrial Plant Division dari Hyundai Heavy Industries Co. Ltd. yang ditemui TEMPO di Ulsan. Tak mengherankan jika Shanklin harus bekerja keras untuk menyambut peralatan raksasa itu. Selain mesti menyiapkan kedatangan kapal berbobot 60.000 ton, CAPC harus memindahkan kabel-kabel listrik dan telepon. Bahkan jalan raya CilegonAnyer yang melewati kompleks CAPC sudah siap dipindahkan. Sementara itu, di kantor pusat CAPC, seorang pakar manajemen industri olefin keturunan Turki, Dr. Celal Metin, juga tak kurang sibuk. "Ratusan tenaga calon pelaksana pabrik sudah kami rekrut. Mereka kini tengah menjalani latihan simulasi," kata Metin. Pokoknya, CAPC akan jalan terus. "Tak ada yang bisa menghentikannya," ujarnya tegas. Lha, bukankah ada hambatan dari Pemerintah? "Bos-bos saya semua adalah orang Indonesia. Mereka tak ingin berkonfrontasi dengan pemerintah," kata executive vice president & general manager dari CAPC itu. Menurut Dr. Metin, kalau di negeri lain perusahaan swasta CAPC mungkin sekali akan meminta campur tangan pengadilan jika ada hambatan, khususnya keputusan pemerintah. Prajogo dan kawan-kawan ternyata ingin mengikuti anjuran Pemerintah, yakni dengan mengundang mitra asing. Itu berarti PT CAPC harus diubah statusnya menjadi PMA, dan mereka juga harus mengembalikan pinjaman yang sudah ditarik dari bank-bank pemerintah yang berjumlah sekitar US$ 700 juta. Tentu saja tidak mudah. "Pinjaman kami meliputi ratusan juta dolar. Kalau cuma sekitar US$ 150 juta, sih, bisa kami kembalikan," kata seorang investor CAPC. Belum lagi bagaimana harus berunding dengan investor asing dalam pembagian saham. Diharapkan, tidak seketat perundingan Bimantara dengan Shell tempo hari. Sementara itu, ada juga investor CAPC yang tidak suka proyek lalu diubah statusnya. Tapi, pertimbangan Pemerintah ternyata banyak. Pertama, kondisi ekonomi Indonesia dewasa ini tak memungkinkan proyek-proyek raksasa yang rakus menyedot devisa. Dalam perhitungan teknokrat, transaksi berjalan tahun ini mungkin akan defisit sekitar US$ 7 milyar. "Ditambah tahun lalu yang US$ 5 milyar, artinya akan mencapai US$ 10 milyar lebih," kata seorang teknokrat. Jika dibiarkan terus, Indonesia harus menggali utang lebih besar, atau cadangan devisa di BI akan jebol. Itu masalah makro. Sedangkan secara mikro, menurut seorang teknokrat, anggaran CAPC ketinggian (overpriced). "Proyek itu tadinya dikatakan akan menelan US$ 2.250 juta. Setelah kita tunda, dikatakan cuma US$ 1.800. Jelas overpriced US$ 450 juta. Apa ini tidak mainmain?" kata sumber TEMPO. Jika sudah overpriced, CAPC dikhawatirkan akan meminta proteksi. Justru itulah yang hendak dikikis para teknokrat dengan berbagai paket deregulasi sejak tahun 1983. "Jika kita beri proteksi, industri hilirnya pun pasti akan minta proteksi. Akhirnya, akan terjadi ekonomi biaya tinggi dan tidak efisien," kata seorang pejabat dari Departemen Keuangan. Timing CAPC juga rupanya kurang pas. Dewasa ini negara-negara tetangga seperti Thailand, Malaysia, Singapura, bahkan Vietnam dan RRC tengah berlomba membangun industri olefin. Akibatnya, para kontraktor serta pemasok teknologi meminta harga yang tinggi dan calon investor asingnya jadi bertingkah. Hal ini diakui Dr. Celal Metin. Du Pont, misalnya, konon mau membangun industri olefin di Singapura, jika pemerintah mau memberikan segala macam fasilitas, mulai dari kebutuhan lahan, air, listrik, sampai dengan fasilitas kemudahan pajak dan proteksi. "Justru itulah yang tak kita inginkan," kata seorang teknokrat. Pejabat tadi mengakui, mitra CAPC dari Jepang (Marubeni) marah-marah. "Tapi, bank-bank Jepang malah senang. Bahkan menteri keuangan Jepang pun senang dengan penjadwalan itu," kata sumber yang tak mau disebut namanya. Pemerintah mengharapkan pabrik olefin itu nantinya tidak akan terlalu serakah mengambil untung. "Sekarang ini industri hulu mengambil untung 30% sampai 40%. Kalau di-PM-kan, untungnya mungkin hanya 10%, ekonomi kita akan lebih efisien," kata sumber tadi. Minat asing terhadap CAPC tampaknya memang ada. Selain Showa Denko K.K., perusahaan Neste dari Finlandia kabarnya berminat. Bahwa perusahaan patungan bisa sukses, itu sudah dibuktikan oleh Korea Petrochemical Industry Co. Ltd. (KPIC). Pabrik olefin KPIC berkapasitas 300.000 ton dibangun pengusaha swasta (John Hole Lee) bersama Marubeni. Modal investasi sekitar US$ 700 juta, ternyata bisa kembali dalam tempo cuma empat tahun. Kini KPIC telah memiliki unit kedua (berkapasitas 400.000 ton lahir tahun 1989). Perang Teluk, yang menyebabkan harga biji plastik terbang sampai US$ 1.200 per ton, ternyata membuat KPIC untung besar, sehingga modal pabriknya yang kedua bisa kembali dalam dua tahun. Kini KPIC tengah membangun unit ketiga, sementara harga bijih plastik sudah jatuh sekitar US$ 750 per ton. Kalau begini, tak salah jika teknokrat bertanya, "Bagaimana mau bersaing?" Max Wangkar, Bambang Aji, Moebanoe Moera
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini