Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Bisnis Bonek Seperempat Miliar

Ikut kursus menjahit di kampung, Farida mempekerjakan puluhan pegawai. Produknya menembus Yaman dan Turki.

18 Januari 2016 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Tak ada tanda-tanda rumah putih kusam itu menghasilkan Rp 250 juta setiap bulan. Pagar besi rumah itu berkarat. Kelir dinding bangunan depan mengelupas. "Itu rumah produksi konfeksi saya," kata Farida Basamalah, pemilik usaha konfeksi busana muslim Familita, Kamis pekan lalu.

Tanpa papan nama, di rumah itulah pabrik Familita beroperasi. Sekitar 20 pria dan perempuan setiap hari bekerja di sana. Letaknya di Jalan Granting Baru Tengah, Simokerto, Surabaya. Sebuah meja panjang, tempat para pekerja memotong kain, terpacak di ruang tengah.

Di ruang itu pula Farida menyimpan rak besi tempat benang dan manekin. Dua kamar disulap jadi ruang menjahit. "Untuk melipat hasil jahitan, ada tetangga sebelah yang bekerja di rumah masing-masing," ucap Mega Dwi Haryati, anak kedua Farida.

Dari rumah inilah bisnis yang ia rintis empat tahun lalu menghasilkan ratusan juta rupiah. Ia harus mencari penghasilan baru setelah suaminya pensiun. Perempuan 55 tahun ini tak mau bergantung pada anak yang sudah bekerja.

Itu sebabnya Farida ikut kursus menjahit di Kelurahan Simokerto, yang digelar Badan Pemberdayaan Masyarakat (Bapemas) Surabaya. Kelar kursus, Farida bingung mau bikin apa. "Setelah kursus yang kedua, saya putuskan memproduksi jilbab," ujar Farida. Bapemas Surabaya memberi bantuan dua mesin jahit.

Farida mencari bahan kain murah di Pasar Kapasan. Produksi pertama dia pasarkan ke tetangga. Kelompok pengajian kemudian memesan 110 kerudung dengan harga Rp 15 ribu per potong. Bapemas, kata Farida, mengajaknya berpameran di Royal Plaza pada 2012.

Hari pertama pameran, Farida membawa 100 helai kerudung. Ditanya nama unit usahanya apa, Farida bingung. "Akhirnya pakai Familita," ujarnya. Familita merupakan gabungan nama Farida, Mega, Neli, dan Utami Sita. Tiga nama terakhir adalah anak perempuannya. Dagangannya ludes dalam dua jam. Dalam enam hari pameran, Farida meraup Rp 18 juta.

Seusai pameran, produksi jilbab Familita vakum. Hingga suatu hari, seorang pembeli saat ada pameran di Royal Plaza memesan 900 jilbab. Ia menawarkan harga Rp 20 ribu per potong dengan persekot Rp 8 juta. Syaratnya, mesti kelar 10 hari.

"Saya iyakan saja," katanya. Modal Farida hanya nekat. Dia baru punya dua mesin jahit. "Akhirnya dipinjami mesin jahit oleh tetangga," tuturnya. Uang muka pesanan ia belikan dua mesin lagi. Pesanan beres dalam 10 hari. "Saya untung Rp 3 juta dan beli mesin jahit lagi," ujarnya.

Sejak itu produksi jilbab meningkat. Farida juga membuat gamis dan mukena. Ia pernah menerima order 1.000 mukena yang akan dikirim ke Yaman dan Turki antara 2013 dan 2015. Ekspor ke dua negara itu terhenti sejak teror kelompok Negara Islam Irak dan Suriah (ISIS) di Suriah muncul. Sebelum geger ISIS, omzet Familita Rp 500 juta setiap bulan. Kini tinggal setengahnya.

Atas bantuan Wali Kota Surabaya Tri Rismaharini, Farida memperoleh kredit Rp 1 miliar dari Bank Jatim. Duit itu ia belikan rumah di Simokerto sebagai tempat produksi. Bantuan Risma mengalir lantaran Farida "dibesarkan" oleh program pengembangan usaha kecil-menengah Pemerintah Kota Surabaya. "Bu Risma memberi saya satu mesin jahit," kata Farida.

Farida juga dibantu Tatarupa, yang digarap Kibar Kreasi Indonesia dan Kreavi. Ia ikut pelatihan Tatarupa tiap pekan di Kapas Krampung Plaza, Surabaya. "Dalam segi branding, kami menata ulang rupa produk mereka," ucap Chief Executive Kibar Kreasi Indonesia Yansen Kamto, Kamis pekan lalu.

Sherly, pedagang pakaian di Pusat Grosir Surabaya, mengatakan jilbab, gamis, dan mukena Familita selalu mengikuti mode. "Saya sudah dua tahun berlangganan," kata Sherly. Setiap Senin dan Kamis, Farida mengirim 400 potong gamis, jilbab, dan mukena ke Sherly.

Karyawan Farida kini berjumlah 37 orang. Dia memulai ekspansi ke busana muslim eceran. Mereknya Lima Putri Mandiri. "Izinnya sudah ada," ujar Farida. Meski begitu, pemasaran Familita masih dari mulut ke mulut.

Khairul Anam, Artika Farmita dan Mohammad Syarrafah (Surabaya)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus