Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
FIRMAN Bintang sudah siap beradu argumen dengan sejawatnya dari Gabungan Pengusaha Bioskop Seluruh Indonesia (GPBSI) saat menghadiri rapat di kantor Kementerian Koordinator Perekonomian, Jakarta, Rabu siang pekan lalu. Ketua Persatuan Produser Film Indonesia (PPFI) itu mendapat kabar bahwa pertemuan yang membahas daftar negatif investasi perfilman sehari sebelumnya di Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan berjalan alot.
Suara mayoritas insan perfilman semula setuju perlunya pelonggaran bagi investor asing di bisnis bioskop Tanah Air. Tapi Djonny Sjafruddin, Ketua GPBSI, menolak mentah-mentah rencana pemerintah membuka keran investasi perfilman itu. Alasannya, kebijakan tersebut bakal mengancam kelanjutan bioskop independen yang sudah ada. "Saya mendengar laporan bahwa mereka melindungi bioskop kecil, yang dalam tiga tahun ini tumbuh 100 layar," kata Firman, mengulang peristiwa tersebut, Kamis pekan lalu.
Alasan Djonny tersebut dianggap mengada-ada. Sebab, berdasarkan catatan PPFI, jumlah layar bioskop milik perusahaan non-jaringan selama ini tak mengalami penambahan signifikan. Datanya tak lebih dari 50 layar. "Kalau dia menolak terus, bagaimana dalam waktu tiga tahun ini kita mengejar ketersediaan sampai 3.000 layar?" ujarnya.
Upaya menjegal misi pemerintah agar bisnis film terbuka bagi investor luar negeri bisa digagalkan. Dalam rapat di kantor Menteri Koordinator Perekonomian Darmin Nasution, Rabu pekan lalu, Firman Bintang bisa meyakinkan bahwa pintu investasi untuk ekshibisi, distribusi, dan produksi film perlu dibuka. "Saya jamin tidak ada bioskop mati, kecuali dimatikan dengan cara tidak disuplai filmnya," ucapnya.
Bisnis perfilman mempunyai tiga sektor, yakni produksi, distribusi, dan ekshibisi. Pemerintah berencana membuka keran investasi asing bagi ketiga sektor ini. Menurut Firman, cara ini merupakan solusi untuk menambah jumlah bioskop menjadi 4.000 layar pada 2019.
Jumlah layar bioskop di Indonesia saat ini tercatat sekitar 1.100 buah. Menurut Wakil Kepala Badan Ekonomi Kreatif Ricky Pesik, jumlah ini sangat kecil untuk ukuran negara berpenduduk 250 juta jiwa. Ia membandingkan dengan Korea Selatan, yang hanya berpenduduk 60 juta tapi bioskopnya mencapai 15 ribu layar.
Ricky yakin pertumbuhan layar bioskop memberi efek domino bagi perfilman nasional. Semakin banyak layar, semakin banyak pula film Indonesia bisa diproduksi dan ditayangkan. Seperti dialami Indonesia pada 1970-1980-an. Ketika itu film Indonesia berjaya karena jumlah layar mencapai lebih dari 3.000, tersebar hingga ke daerah-daerah. "Inilah yang hendak kami upayakan lagi," katanya.
Lampu hijau di bisnis ini sudah tampak saat Badan Koordinasi Penanaman Modal setuju dengan usul Badan Ekonomi Kreatif agar keran permodalan bioskop oleh asing dibuka 51 persen. Gayung bersambut. Angka final yang disampaikan dalam rapat terbatas di Istana Presiden pada Selasa pekan lalu malah naik ke posisi 80 persen.
Presiden Joko Widodo tak langsung membuat keputusan. Ia memberi waktu dua pekan agar pemangku kepentingan di bidang ekonomi kreatif memastikan keberadaan bioskop independen tersebut.
Tarik-ulur proses ini membuat penambahan layar bioskop tak mengalami kemajuan signifikan. Seorang pejabat pemerintah mengatakan isu bioskop independen kali ini dijadikan dalih bagi kelompok pengusaha yang tak sepakat terhadap penambahan jumlah bioskop. Isu ini digulirkan agar pembahasan kebijakan relaksasi bisnis film semakin molor. "Strategi menjegalnya diubah, pihak yang kontra bukan lagi mengangkat substansi daftar negatif investasi, tapi mengangkat perkara bioskop independen yang selama ini tidak eksis bisnisnya," kata pejabat tersebut.
Berdasarkan data PPFI, jumlah bioskop independen hanya 45 layar di seluruh Indonesia. Artinya, dengan total sekitar 1.100 layar bioskop yang ada di Tanah Air, jumlah bioskop lokal non-jaringan tersebut hanya sekitar 4 persen.
Djonny membantah tudingan yang menyerangnya. Ia memastikan ada anggota GPBSI yang merupakan pengusaha bioskop non-jaringan. Jumlahnya mencapai 100 layar. Mereka tersebar di beberapa daerah, di antaranya Tegal, Pekalongan, Cilacap, Pangkalpinang, dan Pekanbaru. Menurut dia, bioskop independen ini harus dibela karena sudah berani membangun bioskop di daerah. "Saya sampai berbulan-bulan meyakinkan mereka," ujarnya. Keberadaan bioskop independen ini, kata dia, masuk kategori kelompok usaha kecil-menengah.
Dalam waktu dekat malah ada bioskop baru yang akan berdiri di Banjarnegara. Dengan jumlah tiga layar, kata Djonny, pengusaha independen itu menggelontorkan dana sekitar Rp 2 miliar per layar. "Ini yang saya sampaikan di depan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, mbok yang seperti ini dibantu. Kenapa harus dari luar?" ujarnya.
Bisnis bioskop Indonesia memang sudah lama dilirik investor luar negeri. Salah satu yang pernah gencar mendekati pemerintah adalah Lotte Group pada 2012. Tak tanggung-tanggung, mereka berencana membuka 100 layar di Indonesia. Rencana ini terpental di tengah jalan karena sektor tersebut masuk daftar negatif investasi.
Pertengahan tahun lalu, bank asal Jerman, Deutsche Bank, dan Rothschild Group juga sempat menyatakan kesediaannya menjadi pemodal US$ 100 juta. Dana jumbo ini rencananya untuk membiayai ekspansi jaringan bioskop milik Lippo Group, Cinemaxx. Dari dana ini, Cinemaxx punya target membuka 2.000 layar dalam sepuluh tahun ke depan.
Direktur Jenderal Kebudayaan Hilmar Farid berpendapat, sebenarnya tak ada persoalan pemain bioskop berasal dari dalam atau luar negeri. Selama masih bisa dikomunikasikan, kepentingan nasional pasti terjaga. "Duduk bareng lihat rencana calon investor itu apa, jangan kemudian dibuka keran bioskop tapi isinya cuma film asing saja," ujarnya. Itu sebabnya, kata dia, harus ada aturan main yang jelas.
Asosiasi Produser Film Indonesia (Aprofi) menilai pembukaan pintu bagi investor asing dalam bisnis layar lebar sebagai langkah tepat untuk memajukan industri film. Sekretaris Jenderal Aprofi, Fauzan Zidni, mengatakan, dari sisi kreatif, para pembuat film bakal mendapat kesempatan pengalaman dan bekerja di proyek lebih besar sehingga mempercepat transfer pengetahuan dan meningkatkan keterampilan.
Meski tak sepenuhnya mendukung, produser film senior Chand Parwez Servia mengatakan pembukaan investasi bioskop harus memperhatikan sebaran wilayah. Menurut dia, jangan sampai pemain baru juga merangsek ke kota-kota besar yang saat ini sudah memiliki jaringan bioskop.
Deputi Bidang Koordinasi Ekonomi Kreatif, Kewirausahaan, dan Daya Saing Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah, Rudy Salahuddin, memastikan kesepakatan 100 persen untuk membuka keran investasi asing di bisnis layar lebar akan dibawa ke rapat finalisasi tingkat menteri. "Mudah-mudahan tidak berubah," kata Rudy.
Ayu Prima Sandi
Layar Bioskop per Januari 2016
Layar | Lokasi | Kota | (%) | ||
XXI | 823 | 152 | 35 | 73,68 | |
CGV Blitz | 139 | 19 | 10 | 12,44 | |
Cinemaxx | 76 | 14 | 9 | 6,8 | |
Platinum | 18 | 4 | 4 | 1.6 | |
New Star | 16 | 7 | 6 | 1,43 | |
Independen | 45 | - | - | 4,03 | |
Perkembangan bioskop dan layar
Tahun | Layar | Bioskop |
2015 | 1117 | 196 |
2014 | 942 | 189 |
2013* | 1074 | 308 |
2012 | 1017 | 320 |
2011 | 774 | 190 |
2010 | 676 | 172 |
2009 | 651 | 166 |
2008 | 611 | 163 |
2007 | 548 | 155 |
2006 | 465 | 145 |
*) Data 2013 masih diperdebatkan
Sebaran Bioskop di Indonesia (Per 2011, %)
Jakarta | 35
Jawa Barat | 20
Jawa Timur | 17
Jawa Tengah | 8
Banten | 7
Sumatera Utara | 4
Sulawesi Selatan | 3
Sumatera Selatan | 2
Lampung | 2
Batam | 2Sumber: wawancara, Kementerian Pariwisata, Bekraf, sumber diolah Tempo
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo