Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
HARI Sugiandhi harus merogoh kocek dua kali untuk ongkos bongkar-muat kargo di Bandar Udara Soekarno-Hatta, Tangerang, Banten. Pemilik perusahaan kargo PT Rush Cargo Nusantara itu membayar biaya bongkar-muat saat barangnya diperiksa oleh perusahaan agen inspeksi di Lini 2, kawasan yang belum steril di Bandara Soekarno-Hatta. Selesai diperiksa, barang-barangnya diangkut menuju kawasan steril di Lini 1 untuk diperiksa ulang.
"Akibat aturan ini, ongkos bongkar naik empat kali. Dua kali untuk tarif resmi, dua kali untuk tipnya," katanya Jumat pekan lalu. Sekali bongkar, Hari dikenai biaya Rp 125-250 per kilogram untuk bongkar-muat. Ia mengirim barang 1-2 ton per hari.
Sebelum ada kebijakan itu, Hari hanya sekali mengeluarkan ongkos bongkar-muat karena kargonya langsung masuk ke Lini 1. Pemeriksaan di Lini 1 dilakukan oleh maskapai penerbangan. Direktorat Jenderal Bea dan Cukai menambah pemeriksaan untuk pengiriman ekspor.
Keluhan Hari masuk laporan Tim Investigasi Ombudsman Republik Indonesia terhadap pelaksanaan agen inspeksi bandara. Tim Ombudsman, yang dibentuk tiga tahun lalu, bertugas melihat praktek pelaksanaan agen inspeksi. Ketua Ombudsman Danang Girindrawardana mengatakan tim yang sama juga menginspeksi praktek dwelling time di pelabuhan.
Hasilnya, Ombudsman menyimpulkan pelaksanaan regulated agent atau agen inspeksi membuat beban ekonomi tinggi. Ombudsman juga menyimpulkan risiko keamanan penerbangan belum terjamin, pemeriksaan kargo dan pos di Lini 2 yang bukan kawasan steril membahayakan keamanan penerbangan, serta tanggung jawab keamanan kargo dan pos antara perusahaan agen inspeksi dan maskapai tidak jelas.
Tim menyampaikan hasil kerja mereka kepada Presiden Joko Widodo pada 4 November 2015. "Laporan itu juga menegur Menteri Perhubungan Ignasius Jonan untuk memperbaiki pelaksanaan regulated agent," ujar Danang, Rabu pekan lalu.
Teguran Ombudsman dijawab enteng oleh Jonan lewat surat pada 7 Desember tahun lalu. Isinya: pelaksanaan regulated agent dinilai memuaskan oleh Badan Penerbangan Sipil Internasional (ICAO). "Kegiatan pemeriksaan keamanan kargo dan pos yang dilakukan oleh regulated agent memenuhi standar keamanan di Bandara Soekarno-Hatta dan dinilai memuaskan," tulis Jonan dalam suratnya.
Dijawab seperti itu, Ombudsman menyampaikan ulang persoalan agen inspeksi ini saat diundang Jokowi dalam rapat kabinet terbatas membahas dwelling time pada akhir Desember tahun lalu.
AGEN inspeksi adalah badan usaha yang memeriksa kargo dan pos yang diangkut lewat udara. Aturan ini muncul setelah serangan teroris terhadap menara World Trade Center, Amerika Serikat, 11 September 2001. ICAO mewajibkan pelaksanaan regulated agent untuk semua kargo dan pos yang diangkut lewat udara.
Kementerian Perhubungan menerbitkan regulasi mengenai agen inspeksi melalui Peraturan Direktur Jenderal Perhubungan Udara Nomor 477 Tahun 2010. Semua lalu lintas kargo dan pos—ekspor ataupun domestik—wajib diperiksa oleh agen inspeksi.
Dalam pelaksanaannya, Direktur Jenderal Perhubungan Udara saat itu, Herry Bakti, menunjuk tiga perusahaan, yakni PT Duta Angkasa Prima Kargo, PT Ghita Avia Trans, dan PT Fajar Anugerah Semesta, sebagai perusahaan agen inspeksi pada November 2010.
Direktur Eksekutif Asosiasi Perusahaan Jasa Pengiriman Ekspres, Pos, dan Logistik Indonesia (Asperindo) Syarifuddin mengatakan, sebelum ada regulated agent, semua kargo diperiksa di bawah mesin sinar-X milik PT Angkasa Pura II sebagai otoritas bandara di Soekarno-Hatta. Tarif yang dipatok Rp 60 per kilogram.
Setelah Kementerian Perhubungan menunjuk langsung tiga perusahaan regulated agent, tarif pemeriksaan di bawah mesin pemindai meroket menjadi Rp 850 per kilogram. Ongkos ini masih ditambah Rp 300 per kilogram untuk biaya angkut karena pemeriksaan oleh agen inspeksi dilakukan di Lini 2. Perusahaan agen inspeksi harus membawa kargo dan pos ke Lini 1. Proses pengangkutan barang dari Lini 2 ke Lini 1 dikenai tarif tambahan.
Tarif melangit inilah yang membuat Asperindo dan Asosiasi Logistik dan Forwarder Indonesia berang. "Sudah tarifnya mahal, kargo dan pos Indonesia masih diperiksa lagi di Lini 1," kata Syarifuddin. Kebijakan ini hanya menambah ongkos logistik.
Asosiasi mengadu ke Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU), Kamar Dagang dan Industri Indonesia, serta Ombudsman Republik Indonesia sepanjang 2011. Hasil kajian KPPU menyimpulkan ada dugaan kartel oleh perusahaan agen inspeksi. Alasannya: Kementerian Perhubungan menyerahkan tarif kepada perusahaan agen inspeksi yang jumlahnya hanya tiga—yang baru belakangan bertambah menjadi belasan.
"Terbatasnya jumlah pelaku usaha bisnis regulated agent dan penetapan tarif melalui mekanisme pasar berpotensi menimbulkan praktek monopoli dan persaingan usaha tidak sehat," tulis KPPU dalam suratnya kepada Menteri Perhubungan pada Agustus 2011.
Ibrahim Sahib, Direktur Utama PT Ghita Avia Trans, salah satu perusahaan regulated agent, tidak membantah dugaan kartel dari KPPU. "Tapi kenapa hanya regulated agent yang dipersoalkan, bagaimana dengan lain?" ujarnya. Menurut Ibrahim, KPPU masih terus mengawasi pelaksanaan bisnis regulated agent hingga saat ini. "Kami masih dipanggil November tahun lalu."
Direktorat Jenderal Bea dan Cukai juga memprotes pelaksanaan kebijakan ini. Pada Oktober 2011, Direktur Jenderal Bea dan Cukai waktu itu, Agung Kuswandono, mengirimkan surat protes kepada Direktur Jenderal Perhubungan Udara. Isinya: pelaksanaan regulated agent mengganggu kegiatan kepabeanan. Barang ekspor dari kawasan berikat yang disegel petugas pabean berpotensi dibuka segelnya oleh petugas regulated agent.
Padahal Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2006 menyebutkan segel bea dan cukai dari kawasan berikat hanya boleh dibuka oleh petugas pabean. "Pembukaan segel terhadap barang ekspor tanpa otorisasi Direktorat Jenderal Bea dan Cukai akan dikenai sanksi pidana," tulis Agung.
UPAYA asosiasi perusahaan kargo dan pos melalui KPPU dan Ombudsman tak membuahkan hasil. Kementerian Perhubungan berkukuh pelaksanaan regulated agent sudah ditetapkan. Sepanjang 2010-2014, regulasi yang mengatur agen inspeksi diganti melalui peraturan Direktur Jenderal Perhubungan Udara sebanyak tiga kali.
Syarifuddin mengatakan pembahasan menumbuk jalan buntu karena tidak ada tarif yang disepakati. Menurut dia, asosiasi mengusulkan tarif Rp 100-200 per kilogram. Adapun asosiasi agen inspeksi, yang diketuai Ibrahim Sahib, mengusulkan tarif di atas Rp 600 per kilogram.
Penjelasan berbeda datang dari salah satu pelaku usaha agen inspeksi. Menurut dia, sejak pemerintah Joko Widodo dilantik, perumusan tarif di Kementerian Perhubungan berlangsung tiga kali, melibatkan Asperindo dan asosiasi agen inspeksi. Hasilnya disepakati Rp 550 per kilogram.
Tarif itu dituangkan dalam Peraturan Menteri Perhubungan Nomor 32, yang terbit pada Februari 2015. Regulasi ini lalu diganti lagi menjadi Peraturan Menteri Perhubungan Nomor 153, yang terbit pada Oktober 2015. Inilah yang diprotes oleh Asperindo karena tarif batas bawah di atas tarif riil di lapangan, yang berkisar Rp 350-400 per kilogram.
Ditemui di Bandara Kertajati, Majalengka, Jawa Barat, Menteri Perhubungan Ignasius Jonan tidak mau berkomentar saat ditanyai tentang persoalan ini. Direktur Jenderal Perhubungan Udara Suprasetyo juga tidak mau menjawab pertanyaan mengenai pelaksanaan regulated agent.
Penjelasan datang dari Dwi Afrianto, Kepala Subdirektorat Standardisasi, Kerja Sama, dan Program Keamanan Penerbangan Kementerian Perhubungan. Ia membantah jika tarif itu disebut hasil pembahasan berbagai pihak. "Tarif itu datang dari kami," tuturnya Jumat pekan lalu. Penjelasan Dwi sejalan dengan keterangan Syarifuddin. Menurut dia, Asperindo tidak pernah ikut dalam perumusan tarif. "Dalam peraturan menteri yang baru, kami tidak pernah dilibatkan lagi," ucapnya.
Dwi mengatakan tarif Rp 550 per kilogram merupakan tarif batas bawah. Agen inspeksi, kata dia, boleh memasang tarif di atas patokan tersebut. Sebab, tim Kementerian Perhubungan menemukan perusahaan agen inspeksi memasang tarif Rp 100 per kilogram. Tarif murah ini untuk mengejar volume barang yang diperiksa. Namun, dengan tarif murah, pelayanan pemeriksaan menurun drastis. Beberapa maskapai penerbangan asing memprotes kualitas pelayanan agen inspeksi. "Agar tidak asal-asalan, tarif ditetapkan batas bawah," ujarnya.
Hari Sugiandhi membenarkan adanya praktek agen inspeksi yang mengejar keuntungan ketimbang mengutamakan aspek keamanan barang. Kenakalan perusahaan agen inspeksi itu tidak diatur sanksinya oleh Kementerian Perhubungan. Ia pernah menjadi korban ketidakprofesionalan perusahaan regulated agent pada 2012. Maskapai penerbangan mengenakan denda Rp 25 juta kepada Hari karena kinerja buruk agen inspeksi. "Yang menanggung pemilik kargo," katanya.
Agar perusahaan agen inspeksi tidak bekerja asal-asalan, Kementerian Perhubungan mensyaratkan perusahaan itu memiliki aset minimal Rp 25 miliar. Mereka juga harus memiliki mesin sinar-X sendiri. "Syarat ini diberlakukan agar agen inspeksi bukan perusahaan kelas kaki lima," ujarnya.
Bisnis agen inspeksi memang menggiurkan. Di 13 bandara yang dikelola PT Angkasa Pura II, misalnya, jumlah lalu lintas kargo dan pos mencapai 800 ribu ton pada 2014. Dengan tarif Rp 550 per kilogram, valuasi bisnis agen inspeksi di lingkungan Angkasa Pura II mencapai Rp 440 miliar per tahun. Total pengusaha agen inspeksi hingga akhir 2015 baru mencapai 18.
Menurut Dwi Afrianto, tidak ada yang salah bila swasta mengelola bisnis ini. Ia mengatakan otoritas penerbangan sipil di Australia dan Hong Kong juga memberi kesempatan perusahaan swasta ikut menjadi agen inspeksi. Namun Dwi tidak membantah kabar bahwa tarif di Indonesia termasuk yang mahal di Asia Tenggara. Namun, kata dia, jaminan keamanan lebih penting ketimbang tarif.
Ketua Ombudsman Danang Girindrawardana mengatakan regulated agent memang kewajiban agar keamanan terjamin, tapi pelaksanaannya jauh panggang dari api. Buktinya, hasil kerja agen inspeksi belum mendapatkan kepercayaan dari maskapai sehingga mereka memeriksa ulang kargo dan pos yang akan diangkutnya. "Itu semua hanya menambah beban ekonomi," ujarnya.
Akbar Tri Kuriniawan
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo