Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Bisnis Cemerlang Truk Makanan

Konsep berbisnis kuliner menggunakan food truck masih menarik. Dilirik pengusaha kuliner dari restoran besar sampai wirausahawan.

4 Juli 2016 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

PREDIKSI Ferry Dafira tak terjadi sepenuhnya. Semula Sekretaris Umum Organisasi Mobil Bisnis Indonesia (OMBI) ini mengira geliat bisnis kuliner menggunakan food truck bakal merosot. Nyatanya sudah lebih dari 100 unit mobil resto beredar di Ibu Kota—meningkat dari angka tahun lalu yang hanya 80 unit.

Beberapa di antaranya bahkan restoran besar yang sudah memiliki banyak gerai permanen. Ferry mengatakan penghasilan yang menggiurkan bikin pengusaha-pengusaha itu ikut-ikutan berjualan di jalan. "Salah satunya restoran Padang Bhinneka," kata Ferry saat ditemui di kantornya, Senin lalu.

Meski Bhinneka belum resmi berjualan di jalan, Ferry yakin rencana restoran Padang yang berlokasi di Lippo Village, Karawaci, Tangerang, ini bakal menuai sambutan positif. Sebab, menurut dia, nasi Padang adalah menu lokal yang banyak peminatnya. Apalagi jika lokasinya bisa berpindah-pindah.

Konsep truk-resto kini memang menjadi salah satu cara restoran besar berinovasi. Sebab, selain lebih mendekat ke konsumen, membuat food truck jauh lebih ekonomis ketimbang menambah gerai restoran. Ferry mengatakan modal membuat food truck siap pakai dengan jenis Isuzu Elf hanya menghabiskan biaya sekitar Rp 250 juta. Sedangkan membangun restoran minimal harus merogoh kocek Rp 1-2 miliar.

Terobosan ini lebih dulu dilirik oleh Bakmi GM. Pada pertengahan tahun lalu, restoran bakmi ini meluncurkan truknya di Bandung. Disusul oleh Chatime, jaringan rumah makan waralaba asal Jepang, Yoshinoya, dan Bebek Dower. "Restoran melirik konsep food truck karena ini menjadi kesempatan marketing," ujar Ferry.

Konsep food truck berasal dari Amerika Serikat. Di Negeri Abang Sam, kegiatan ini berlangsung sejak awal abad ke-17. Di Indonesia, popularitas truk-resto baru meledak pada 2013. Kendati demikian, pemilik Jakarta Food Truck, Anglia G. Auwiness, memprediksi tren bisnis kuliner di atas mobil ini terus menarik. "Bisnis food truck bisa long lasting sampai 10 tahun mendatang karena lebih menjanjikan," kata Anglia saat dihubungi pada Senin lalu.

Menjual makanan dengan kendaraan sebenarnya sudah lumrah di Tanah Air. Masyarakat sudah terbiasa dengan pemandangan pedagang yang menjual pernak-pernik dapur, bakso, pecel, sayur, bahkan daging di atas truk atau mobil pikap. Bedanya, truk-resto memiliki desain khusus dari sisi konstruksi dan rupa. "Food truck itu dapur berjalan yang dimodifikasi sedemikian rupa. Ada instalasi air, gas, listrik, tangki air bersih, dan kulkas," ucap Anglia.

Perbedaan mencolok lain adalah omzet yang cukup menggiurkan. Ferry mengatakan sejumlah anggota OMBI bisa meraup angka penjualan sampai Rp 100 juta per bulan. Malah, dalam sebuah festival di Jakarta tahun lalu, anggotanya, Kaaramel Juice, bisa membukukan angka penjualan Rp 150 juta dalam tujuh hari. "Bagaimanapun omzet itu tergantung produk, event yang bagus, dan komitmen pebisnisnya," ujarnya.

Gurihnya bisnis food truck juga menarik perhatian Indra Gusdiman. Wirausahawan asal Ciamis, Jawa Barat, ini semula adalah karyawan di sebuah perusahaan media di Jakarta. Ia memilih keluar dari pekerjaannya akhir tahun lalu untuk menjajal bisnis kuliner menggunakan food truck dengan nama Combi Story. "Darah dagang mengalir ke saya dari Ibu," kata lelaki 30 tahun ini, Sabtu pekan lalu.

Sesuai dengan namanya, Indra menggunakan mobil jenis VW Combi keluaran tahun 1975. Berbekal mobil yang dibelinya empat tahun lalu seharga Rp 27 juta itu, ia memodifikasi mobilnya menjadi sebuah dapur berjalan lengkap dengan wastafel, meja dapur, dan kompor. Jendela VW berwarna kuning itu pun disiasati sehingga bisa menjadi meja ketika dibuka. Demikian pula atap Combi yang bisa diangkat ke atas memudahkan Indra berdiri di dalam mobil melayani pembeli. Untuk semua ini, Indra hanya merogoh kocek sekitar Rp 80 juta.

Berjualan di Taman Peranginan, Jalan Jenderal Sudirman, Bogor, Jawa Barat, setiap malam, Indra tak menawarkan menu muluk-muluk. "Saya bawa menu lokal saja," ujarnya. Menu andalannya mi bakso gelosor asli Bogor dan cilok kuah khas Tasikmalaya. Karena baru beroperasi selama tiga pekan terakhir, lulusan Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Padjadjaran ini belum banyak membukukan angka penjualan. Dengan harga makanan Rp 13 ribu per porsi dan rata-rata pengunjung 80-100 orang per hari, Indra membawa pulang uang di atas Rp 1 juta per hari. Ayu Prima Sandi

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus