Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
PLN meraup pendanaan dalam Konferensi Iklim COP29 di Azerbaijan.
Pemerintah menginginkan 75 persen pembangkit listrik pada 2025-2040 memakai energi baru.
Negara maju mulai enggan mendanai transisi energi negara berkembang.
KONFERENSI Para Pihak atau Conference of the Parties (COP) Ke-29 dalam Konvensi Kerangka Kerja Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Perubahan Iklim di Baku, Azerbaijan, membuahkan lima poin kerja sama transisi energi antara PT Perusahaan Listrik Negara (Persero) dan lima mitra internasional. Kerja sama itu antara lain mencakup pendanaan energi bersih di Tanah Air.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Satu contohnya adalah kerja sama PLN dengan Lembaga Pembiayaan Ekspor Pemerintah Inggris (UKEF). Dalam proyek ini, PLN menjajaki pendanaan guna membangun jaringan transmisi untuk mengintegrasikan sumber energi bersih. “Kolaborasi ini akan memperkuat kemampuan Indonesia dalam mengelola dan mengembangkan infrastruktur energi hijau,” kata Direktur Utama PLN Darmawan Prasodjo di Azerbaijan pada Senin, 18 November 2024.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
PLN juga meneken nota kesepahaman dengan bank pembangunan Jerman, Kreditanstalt für Wiederaufbau (KfW), untuk pendanaan pembangkit listrik tenaga air pumped storage beserta jaringan transmisinya. Nilai pendanaan dari KfW mencapai € 1,2 miliar atau sekitar Rp 20 triliun. Selain menggandeng dua lembaga ini, PLN menjalin kerja sama dengan lembaga seperti Sembcorp Utilities Pte Ltd, Transportasi Gas Indonesia, dan Global Energy Alliance for People and Planet.
Pemenuhan target transisi energi membutuhkan biaya tinggi sampai beberapa tahun ke depan. PLN mencatat kebutuhan untuk percepatan pengembangan energi terbarukan sebesar US$ 235 miliar atau sekitar Rp 3.737 triliun pada 2025-2040. Pembiayaan hijau ini antara lain diperlukan untuk membangun pembangkit listrik energi baru dan terbarukan, menciptakan sistem penyimpanan energi, merangkai saluran transmisi dan gardu induk, serta mengembangkan jaringan listrik pintar.
Jika nilainya dibagi rata setiap tahun, PLN harus menggelontorkan dana Rp 160 triliun untuk memenuhi target pengembangan energi terbarukan. Angka ini dua kali lipat rata-rata alokasi anggaran investasi yang digelontorkan perusahaan setiap tahun. “Ini cukup menantang,” ucap Direktur Manajemen Risiko PLN Suroso Isnandar pada Selasa, 10 Desember 2024.
Dari berbagai skema pendanaan, Suroso menambahkan, PLN mengutamakan pinjaman lunak dan sumber dari lembaga multilateral. Meski begitu, PLN juga tetap membuka ruang bagi sektor swasta untuk mendanai berbagai pembangunan infrastruktur transisi energi. Skema yang disiapkan untuk swasta antara lain co-investment dan produsen listrik independen atau independent power producer. Co-investment adalah skema kerja sama sejumlah investor untuk satu proyek.
Salah satu skema pembiayaan yang digadang-gadang akan mendanai berbagai proyek transisi energi adalah Just Energy Transition Partnership (JETP) Indonesia. Komitmen pembiayaan dari skema ini mencapai US$ 21,5 miliar dalam tiga-lima tahun sejak disepakati.
Kemitraan pemerintah dengan kelompok International Partners Group (IPG) ini diluncurkan pada November 2022 dalam Konferensi Tingkat Tinggi G20 di Bali. IPG terdiri atas pemerintah Jepang, Amerika Serikat, Kanada, Denmark, Uni Eropa, Republik Federal Jerman, Republik Prancis, Norwegia, Republik Italia, Inggris Raya, dan Irlandia Utara. Belakangan, skema pembiayaan ini jalan di tempat.
Pemerintah juga telah menggandeng Bank Pembangunan Asia (ADB) dalam skema Energy Transition Mechanism (ETM) untuk merealisasi proyek pensiun dini pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) batu bara. Peluncuran platform negara ETM juga digelar dalam rangkaian KTT G20 di Bali. Penjajakan proyek pensiun dini PLTU batu bara dengan skema ini antara lain dilakukan untuk PLTU Cirebon Unit 1 di Jawa Barat.
Target pemerintah dalam transisi energi cukup ambisius. Dalam pidatonya di sesi ketiga KTT G20 di Brasil pada 19 November 2024, Presiden Prabowo Subianto menyampaikan visi Indonesia mencapai emisi nol bersih sebelum 2050. Ini lebih cepat dari komitmen pemerintah sebelumnya yang mencanangkan target emisi nol bersih pada 2060.
Kala itu Prabowo juga menyampaikan rencana pemerintah menghentikan operasi PLTU batu bara dan pembangkit listrik tenaga fosil lain dalam 15 tahun ke depan. “Kami berencana membangun lebih dari 75 gigawatt energi terbarukan dalam 15 tahun ke depan,” tuturnya seperti dilansir situs web Sekretariat Negara pada Selasa, 19 November 2024.
Adik Prabowo, Hashim Djojohadikusumo, lantas meralat pernyataan tersebut. Ia mengatakan pemerintah tidak akan menutup semua pembangkit listrik batu bara paling lambat pada 2040, tapi menguranginya secara bertahap. Menurut dia, rencana menutup semua PLTU batu bara pada 2040 tidak realistis dan dapat berdampak pada aktivitas industri. “Kami menganut prinsip phase down, bukan phase out,” kata Utusan Khusus Presiden Bidang Perubahan Iklim dan Energi itu pada Selasa, 10 Desember 2024.
Hashim pun mengatakan pemerintah menargetkan 75 persen penambahan pembangkitan listrik pada 2025-2040 akan menggunakan energi terbarukan, sementara 25 persen sisanya ditopang pembangkit bertenaga nuklir dan gas alam.
Target yang disampaikan Hashim itu juga tidak mudah dicapai. Musababnya, target tahunan bauran energi bersih pun masih jauh dari target. Hingga paruh pertama tahun ini, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral mencatat penambahan kapasitas terpasang pembangkit listrik tenaga energi baru dan terbarukan baru 217,73 megawatt atau 66,6 persen dari target tahunan 326,91 megawatt. Hingga semester I 2024, realisasi bauran energi dari energi baru dan terbarukan hanya 13,9 persen atau di bawah target 19,5 persen.
Direktur Jenderal Energi Baru, Terbarukan, dan Konservasi Energi Kementerian Energi Eniya Listiani Dewi mengatakan salah satu faktor yang membuat target itu belum tercapai adalah masalah investasi. Realisasi investasi energi baru-terbarukan hingga semester I 2024 sebesar US$ 580 juta atau 46,8 persen dari target sepanjang tahun. Belum lagi investasi yang dibutuhkan untuk memenuhi target 8,2 gigawatt energi baru-terbarukan pada 2025 mencapai US$ 14 miliar.
Secara global, berbagai lembaga riset memproyeksikan pembiayaan transisi energi akan tersendat antara lain karena ekonomi negara maju mengalami tekanan. Ini terlihat dari hasil COP29, ketika negara maju hanya sepakat memobilisasi pendanaan iklim US$ 300 miliar per tahun pada 2035. Nilai ini jauh di bawah target US$ 1,3 triliun yang diajukan negara berkembang.
Manajer Program Diplomasi Iklim dan Energi Institute for Essential Services Reform (IESR) Arief Rosadi mengatakan target emisi nol bersih pada 2050 hanya bisa dicapai dengan transisi penuh dari energi fosil ke energi terbarukan, diikuti pensiun dini PLTU batu bara pada 2040. Untuk itu, ada kebutuhan investasi US$ 20-40 miliar per tahun sampai 2050.
Masalahnya, rata-rata investasi publik untuk energi terbarukan hanya di bawah US$ 2 miliar per tahun pada 2017-2023. Karena itu, IESR mendorong pemerintah memberikan panduan dan target anggaran yang lebih jelas mengenai transisi energi.
Situasi global saat ini, menurut Direktur Eksekutif Center of Economic and Law Studies Bhima Yudhistira, menjadi penanda kembalinya era kerja sama bilateral dalam pembiayaan transisi. Buktinya, dia menjelaskan, negara seperti Jepang, Amerika Serikat, dan Norwegia pada akhirnya membuat inisiatif di luar kerangka JETP.
Di satu sisi, skema kerja sama bilateral bisa menjadi alternatif di tengah lesunya pembiayaan transisi energi secara multilateral. Masalahnya, Bhima menambahkan, kerja sama yang bersifat bilateral akan cenderung tertutup dan tidak transparan sehingga sulit dipantau publik. “Selain itu, bisa saja tak ada yang mau membiayai proyek yang secara komersial tidak layak, seperti pensiun dini PLTU batu bara." ●
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Di edisi cetak artikel ini terbit di bawah judul "Lebar Jurang Pendanaan Transisi Energi"