Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TANGKI minyak berjajar rapi di antara bangunan di kawasan Desa Sumengko, Bojonegoro, Jawa Timur. Puluhan truk merah berlogo Pertamina antre untuk diisi solar. Bahan bakar minyak itu kemudian didistribusikan ke stasiun pengisian bahan bakar umum-juga berlogo Pertamina-yang ada di Bojonegoro, Tuban, dan Lamongan.
Solar yang diangkut menggunakan truk Pertamina itu adalah produksi kilang milik PT Tri Wahana Universal, satu-satunya perusahaan kilang minyak swasta di Indonesia. "Produk solar kami bening dan diakui terbaik," kata kepala kilang Mahzum Antoni saat Tempo berkunjung ke pabriknya, Kamis dua pekan lalu.
Berdiri di atas lahan seluas 7,2 hektare, kilang itu dibangun Rudy Tavinos pada 2008. Sarjana kimia lulusan Institut Teknologi Bandung 1989 itu kini menjabat Chief Executive Officer Tri Wahana Universal. "Gila, nekat, dan mustahil." Itulah kata yang kerap didengar Rudy saat melontarkan niat untuk nyemplung ke bisnis penyulingan minyak. "Kamu bakal rugi, membangun kilang itu tidak gampang," kata Rudy menirukan ucapan para koleganya waktu itu.
Mengabaikan semua komentar negatif, dia melanjutkan impian membangun pabrik pengolahan minyak bumi berkapasitas mini. Menurut Rudy, kilang berkapasitas 6.000-30.000 barel per hari lebih pas dengan kondisi Indonesia yang lokasi sumur dan produksi minyaknya sangat beragam.
Pada 2005, Rudy yang mantan komisaris independen PT PGN Tbk ini mendirikan PT Tri Wahana Universal. Ia memulai bisnis dari dasar, yakni merancang sendiri desain dan teknologi. Kilang dirancang bisa dibongkar-pasang dan disesuaikan dengan jenis minyak yang akan diolah.
Rudi juga repot mondar-mandir ke luar negeri untuk mencari investor yang bersedia membiayai proyek senilai US$ 40 juta (sekitar Rp 480 miliar) ini. Hingga akhirnya, pada 2009, train pertama terbangun dengan kapasitas 6.000 barel per hari. "Masih ada hambatan, kami belum dapat pasokan minyak," ujar Rudy. Menunggu hampir setahun, perusahaan baru mendapat kepastian alokasi minyak dari Blok Cepu, yang dioperasikan Mobil Cepu Limited (MCL) pada 2010.
Setelah train pertama beroperasi, pada 2012 train kedua mulai dibangun dengan kapasitas 12 ribu barel per hari. Kali ini HSBC dan Standard Chartered mengulurkan pinjaman US$ 150 juta (sekitar Rp 1,7 triliun). Pemerintah pun menambah alokasi minyak mentah agar kedua train bisa beroperasi. Kini kilang Tri Wahana bisa mengolah minyak mentah hingga 18 ribu barel per hari. Hasilnya luar biasa. Perusahaan membukukan pendapatan US$ 342 juta (sekitar Rp 4,1 triliun) pada 2013. "Tahun ini bisa naik," kata Rudy. "Diperkirakan lebih dari US$ 500 juta."
Berdasarkan grafik pendapatan perusahaan yang terus merangkak naik, menurut Rudy, bisnis kilang ternyata masih menjanjikan. Buktinya, saat ini sudah ada bank yang siap mengucurkan kredit untuk ekspansi train ketiga dan meningkatkan kapasitas kilang Tri Wahana menjadi 30 ribu barel per hari.
Ide "liar" Rudy melebar. Ia berencana mengembangkan bisnis membangun minimal 10 kilang mini di seluruh Indonesia, masing-masing berkapasitas 10 ribu barel per hari. Jika perizinan dan pasokan minyak telah ada kepastian, pembangunan 10 kilang mini akan dirampungkan dalam waktu dua tahun. "Setara dengan membangun kilang besar tapi lebih cepat dan efisien," katanya.
Ekspansi gaya Rudy berbanding terbalik dengan rencana membangun kilang berkapasitas besar yang hingga kini tak beranjak dari wacana. Balongan menjadi kilang terakhir yang dibangun oleh pemerintah sejak 1994.
Menteri Koordinator Perekonomian Chairul Tanjung menyatakan pembangunan kilang terhambat sederet masalah, misalnya insentif pembebasan pajak (tax holiday) yang selalu diminta investor dan lahan. "Ini tidak pernah tuntas. Akan diputuskan," ujarnya menegaskan.
Hambatan lain disampaikan Direktur Perencanaan Investasi dan Manajemen Risiko PT Pertamina (Persero) Afdal Bahaudin. Dalam seminar di Mega Kuningan, Jakarta, akhir bulan lalu, Afdal menyebutkan salah satu penyebab pembangunan kilang mandek adalah rendahnya tingkat pengembalian modal (internal rate of return/IRR). "Hanya 5-6 persen. Pengembalian modal bisa di atas 25 tahun. Itu tidak ekonomis," katanya.
Afdal menghitung, untuk membangun kilang berkapasitas 300 ribu barel per hari, dibutuhkan dana hingga US$ 6 miliar (sekitar Rp 72 triliun). Investasi itu belum termasuk biaya infrastruktur tanah. Malah anggaran bisa membengkak mencapai US$ 11 miliar (sekitar Rp 132 triliun) jika kilang didesain terintegrasi dengan pabrik petrokimia. Padahal, dia menambahkan, margin baru bisa didapat jika kilang yang dibangun adalah kilang terintegrasi.
Rudy setuju bahwa kilang jumbo membutuhkan investasi yang jauh lebih besar. Tapi, menurut dia, pangkal soal pembangunan kilang bukan di situ. Masalah lahan, misalnya. Ia yakin pemerintah daerah mampu menyediakan. Sebab, investasi dengan jumlah besar akan berdampak signifikan terhadap daerah tersebut.
Rudy mengatakan margin tipis semestinya bukan persoalan bagi pemerintah, yang berkomitmen menjaga ketahanan stok bahan bakar nasional. Apalagi pasti akan ada efek domino bagi masyarakat setempat, baik dari sisi ekonomi, sosial, maupun budaya.
Ia menambahkan, masalah paling penting dalam bisnis kilang adalah kepastian pasokan minyak mentah yang hingga kini belum terkoordinasi rapi di pemerintah. Berbeda dengan gas, alokasi minyak selama ini tidak pernah dibuka transparan. Maka tidak bisa diketahui pasti, dari produksi rata-rata 800 ribu barel per hari, berapa banyak yang diekspor dan diolah di dalam negeri. "Membangun kilang butuh kepastian pasokan minyak mentah dalam jangka panjang. Kalau tidak ada, investor pasti tidak berminat," tuturnya.
Ia menilai bisnis kilang dianggap tidak efisien karena lokasi kilang dan sumur tidak strategis. Jarak sumur ke penampungan bisa mencapai ratusan kilometer. Lantas minyak diangkut lagi menggunakan kapal sebelum dimasukkan ke kilang. Mata rantai yang panjang itulah yang membikin biaya membengkak. Rudy mencontohkan, minyak mentah dari Blok Cepu yang justru dikirimkan ke kilang Balikpapan. Padahal ada kilang yang lebih dekat dan sanggup membayar sesuai dengan harga minyak mentah Indonesia (ICP).
Kilang mini, menurut Rudy, jauh lebih efisien karena bisa menghampiri sumur minyak. Maka biaya angkut terpangkas, infrastruktur tidak rumit, kilang pun bisa dirancang sesuai dengan kriteria minyaknya. "Yang bikin rumit dan menciptakan mafia itu, ya, negara ini sendiri," katanya.
Deputi Tim Transisi Jokowi-JK, Hasto Kristiyanto, menyatakan pembangunan kilang menjadi salah satu komitmen pemerintah baru nanti. Targetnya semua masalah yang menghambat akan diselesaikan dalam 32 bulan. Sambil menunggu proses pembangunan yang bisa memakan waktu lima tahun, pemerintah akan mengoptimalkan kilang yang ada. "Sehingga kapasitas bisa naik."
Gustidha Budiartie, Bernadette Christina (Jakarta), Sujatmiko (Bojonegoro).
Profil Kilang Tri Wahana Universal
Penjualan produk high speed diesel/solar (kiloliter)
(dalam juta US$)
Kinerja (juta US$)
2011 | 2012 | 2013 | 2014* | ||
Pendapatan | 211 | 236 | 342 | 258 | |
EBITDA | - | 16 | 26 | 22 | |
Aset | 79 | 103 | 124 | 153 | |
*) semester I
Sumber: PT Tri Wahana Universal
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo