Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Lampu Kuning Perkara Asian Agri

Pengadilan Pajak segera memutus banding 14 anak usaha Asian Agri. Ada upaya penggiringan opini majelis hakim.

6 Oktober 2014 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

KANTOR Pengadilan Pajak yang terletak di lantai sembilan Gedung Dhanapala di kompleks Kementerian Keuangan mendadak ramai, Rabu dua pekan lalu. Sejumlah tamu penting menghadiri persidangan PT Inti Indosawit Subur, salah satu anak perusahaan Asian Agri, yang berlangsung hari itu.

Direktur Jenderal Pajak Fuad Rahmany datang ditemani Wakil Deputi Unit Kerja Presiden Bidang Pengawasan dan Pengendalian Pembangunan (UKP4) Mas Achmad Santosa, anggota Komisi Yudisial Jaja Ahmad Jayus, dan Inspektur Jenderal Kementerian Keuangan. Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi Bambang Widjojanto menyusul belakangan.

Fuad mengaku kedatangannya bersama para petinggi lembaga negara itu guna memperlihatkan keseriusan aparat hukum dalam mengawal kasus pajak perusahaan sawit milik taipan Sukanto Tanoto ini. Apalagi, menurut dia, sebelumnya negara sering kalah di pengadilan dalam menghadapi sengketa pajak.

Dibanding pengadilan tindak pidana korupsi, pengadilan pajak memang hampir tak pernah tampil di halaman media massa. Padahal uang yang disengketakan terkait dengan kasus Asian Agri cukup fantastis, yakni Rp 1,9 triliun. "Publik harus mengawasi. Ini uang negara yang sangat besar," kata Fuad. "Banyak yang bisa tergoda dengan jumlah sebanyak itu."

Dukungan memang mengalir deras dalam pengusutan skandal pajak terbesar sepanjang sejarah Indonesia ini. Terlebih Wakil Presiden Boediono kerap menggelar rapat rutin untuk membahas penanganan kasus hukum dan mafia perpajakan sesuai dengan Instruksi Presiden Tahun 2011. Komisi Yudisial mengaku akan terus memantau dan mengikuti jalannya persidangan Asian Agri ini. "Kami akan memantau bagaimana hakim menjalankan persidangan. Kami juga akan melakukan koordinasi seperti dengan KPK," kata Jaja Ahmad Jayus.

l l l

Persidangan kasus Asian Agri sudah berlangsung sejak Mei 2014. Dari 14 perusahaan grup Asian Agri yang bersengketa, empat perusahaan oleh majelis hakim dianggap sudah cukup menjalani persidangan dan hanya tinggal menunggu pembacaan putusan. Keempat perusahaan itu adalah PT Mitra Unggul Pusaka, PT Raja Garuda Mas Sejati, PT Rigunas Agri Utama, dan PT Saudara Sejati Luhur. Sedangkan sepuluh perusahaan lainnya baru menjalani lima-enam kali sidang.

Ada kekhawatiran dari Direktorat Pajak selama persidangan, yaitu penggiringan opini yang dilakukan Asian Agri agar proses pengadilan lebih berfokus pada penghitungan angka pajak yang disengketakan. Sebab, jika terjadi selisih angka satu rupiah saja, itu akan memberikan angin segar bagi Asian Agri untuk menang di Pengadilan Pajak dan senjata untuk mengajukan permohonan peninjauan kembali atas putusan Mahkamah Agung yang telah ditetapkan pada Desember 2012.

Seperti dalam sidang yang digelar pada awal September lalu untuk PT Rigunas Agri Utama. Salah satu anak usaha Asian Agri ini meminta agar persidangan membahas persoalan banding besaran pajak pertambahan nilai (PPN) periode 2007 dan 2008. Sidang banding yang dipimpin hakim ketua Didi Hardiman pun saat itu langsung memutuskan untuk melakukan uji bukti transaksi sepanjang tahun 2007 di luar bukti transaksi Juni dan Juli 2007.

Direktur Keberatan dan Banding Direktorat Pajak, Catur Rini Widosari, tak membantah adanya upaya penggiringan yang dilakukan anak-anak usaha Asian Agri itu agar persidangan lebih membahas pada rincian hitungan utang pajak yang tengah dipersoalkan. Beberapa majelis hakim juga pernah meminta penjelasan kepadanya mengenai proses penghitungan angka terutang pajak Asian Agri yang menjadi dasar putusan Mahkamah Agung. "Kami sampaikan tidak punya kewenangan untuk memberikan penjelasan bagaimana angka ini muncul dalam putusan MA," kata Catur.

Bukan hanya itu, beberapa majelis hakim pun sempat mempertanyakan ihwal pembuktian sempurna (probatio plena). Pembuktian sempurna yang dimaksud majelis hakim adalah putusan pengadilan negeri atas Asian Agri sebelum adanya vonis dari Mahkamah Agung. Namun Direktorat Pajak menilai hal itu tak relevan untuk dipersoalkan karena yang disengketakan oleh Asian Agri adalah perihal surat ketetapan pajak (SKP) yang berdasarkan dari angka yang ada di putusan Mahkamah.

Mahkamah Agung memvonis mantan Manajer Pajak Asian Agri, Suwir Laut, dua tahun penjara dengan masa percobaan tiga tahun. Asian Agri juga harus membayar dua kali pajak terutang Rp 1,259 triliun, sehingga totalnya Rp 2,5 triliun. Sanksi denda pidana itu sudah dilunasi Asian Agri pada 18 September lalu kepada Kejaksaan Agung setelah pembayaran dilakukan secara dicicil.

Suwir Laut dianggap sengaja melakukan tindak pidana perpajakan atas 14 perusahaan. Perbuatan Suwir dinilai berbasis pada kepentingan bisnis yang menguntungkan perusahaan-perusahaan itu dan mengakibatkan penerimaan negara dari sektor pajak Rp 1,259 triliun berkurang. Atas pertimbangan itu, hakim Mahkamah menyatakan perusahaan yang menikmati hasil dari penghindaran pajak tersebut juga harus bertanggung jawab.

Atas putusan Mahkamah tersebut, Direktorat Pajak menerbitkan 108 surat ketetapan pajak atas 14 anak perusahaan Asian Agri sesuai dengan hitungan Mahkamah Agung sebesar Rp 1,259. Selain itu, perusahaan dikenai denda 48-100 persen, sehingga total tagihan pajak adalah Rp 1,959 triliun.

Asian Agri pun mengajukan keberatan kepada Direktorat Pajak. Namun upaya itu langsung ditolak dan kemudian perusahaan-perusahaan itu mengajukan permohonan banding ke Pengadilan Pajak. Untuk banding, ke-14 perusahaan ini sebelumnya telah membayar separuh dari total tagihan pajak sebesar Rp 979,5 miliar.

Banding dilakukan Asian Agri karena Direktorat Pajak dianggap telah menerbitkan SKP yang tidak sesuai dengan prosedur, tak melalui proses pemeriksaan, pinjam buku perusahaan, dan mencantumkan dasar koreksi. Selain itu, mereka merasa perusahaan-perusahaan tersebut tidak terkait dengan sengketa dan yang divonis bersalah hanya Suwir Laut.

Namun Catur buru-buru menjelaskan, selain vonis individu, putusan Mahkamah juga disebutkan terkait dengan terutang pajak yang menjadi tanggung jawab perusahaan. Dengan adanya kalimat itu, Direktorat merasa harus menagih pajak yang belum dibayar dengan mengeluarkan SKP dengan jumlah tagihan sesuai dengan amar putusan.

"Pasal 13 ayat 1 Undang-Undang Ketentuan Umum Perpajakan mengatur kewenangan Direktorat Pajak menerbitkan SKP berdasarkan hasil pemeriksaan atau keterangan lain, yaitu putusan Mahkamah Agung," kata Catur.

Catur mengaku optimistis menang dalam perkara ini. Dia berharap hakim Pengadilan Pajak bisa mengambil putusan yang adil dengan mempertimbangkan argumen yang bersumber pada putusan Mahkamah Agung. "Ketetapan yang kami terbitkan sama persis dengan yang ada dalam putusan Mahkamah," katanya. "Tapi kami juga memikirkan langkah paling akhir untuk mengantisipasi putusan."

General Manager Asian Agri, Freddy Widjaja, menolak berkomentar tentang materi banding yang diajukan. Dia mengatakan akan menghormati proses persidangan. "Undang-Undang Pajak memberikan hak kepada setiap wajib pajak untuk mengajukan banding," kata Freddy.

Angga Sukma Wijaya, Y. Tomi Aryanto, Amos Simanungkalit


Raja Sawit Mencari Peluru

ASIAN Agri Group terus berjuang lepas dari jerat tuduhan penggelapan pajak. Setelah divonis bersalah Mahkamah Agung, kelompok usaha milik taipan Sukanto Tanoto ini mencari cara berkelit dengan mengajukan permohonan peninjauan kembali. Upaya hukum luar biasa itu tentunya memerlukan adanya novum atau bukti baru. Proses banding ke Pengadilan Pajak diharapkan bisa menjadi amunisi baru untuk lepas dari jerat hukum dan kewajiban membayar denda Rp 2,5 triliun.

Rp 2,5 Triliun
Denda pidana pajak terutang

Rp 1,3 Triliun
Nilai penggelapan pajak

12
Direksi dan pegawai yang ditetapkan sebagai tersangka.

14
Anak usaha Asian Agri yang divonis bersalah.

1
Divonis bersalah.


Perjalanan Perkara

1 Desember 2006
Mantan Financial Controller Asian Agri Vincentius Amin Sutanto membongkar praktek manipulasi pajak senilai Rp 1,3 triliun.

13 Agustus 2010
Dari 12 tersangka, berkas Suwir Laut dinyatakan lengkap.

2011

16 Februari
Sidang perdana Suwir Laut di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Ia didakwa menggelapkan pajak Rp 1,259 triliun.

20 Mei
Suwir Laut dibebaskan dari tahanan karena masa penahanan lewat 90 hari.

2012

15 Maret
Dakwaan jaksa dinilai prematur. Majelis hakim menerima eksepsi dan membebaskan Suwir Laut.

21 Maret
Jaksa mengajukan permohonan banding.

23 Juli
Pengadilan tinggi menguatkan vonis terhadap Suwir Laut. Kejaksaan mengajukan permohonan kasasi.

18 Desember
Majelis hakim kasasi memvonis Suwir Laut dua tahun penjara dengan masa percobaan tiga tahun. Asian Agri harus membayar dua kali pajak terutang sebesar Rp 2,5 triliun, yang dibayar tunai dalam waktu satu tahun.

2013

11 Juni
Direktorat Jenderal Pajak mengirim 108 surat ketetapan pajak kepada 14 perusahaan Asian Agri senilai Rp 1,9 triliun.

28 Agustus
Asian Agri mengajukan keberatan setelah membayar separuh dari tunggakan, Rp 969,68 miliar.

2014

20 Mei
Sidang perdana Asian Agri di Pengadilan Pajak.

18 September
Asian Agri melunasi denda pidana ke Kejaksaan Rp 2,5 triliun setelah mencicil sejak Maret 2014.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus