BEBERAPA pekan sebelum kalender bulan Desember ini disobek, sudah banyak pengusaha yang grogi, nasygul memikirkan jeleknya penampilan usaha sepanjang tahun ini. Para pengusaha sektor industri modern, terutama, boleh jadi termangu memandang buku: laba tahun ini diperkirakan hanya mencapai 70% dari sasaran. Itu pun, sebagian, tersangkut pada piutang agen dan distnbutor yang terus membesar. "Sekarang inilah, kita benar-benar memasuki masa resesi," kata seorang ahli ekonomi. Tanda-tanda kelesuan itu oleh Menteri Keuangan Radius Prawiro, ketika berbicara di DPR pekan lalu, tidak dibantah. Hal itu, menurut Menteri, terutama dihadapi oleh banyak industri yang memusatkan penjualannya ke pasar dalam negeri. Penyebabnya tak mudah diusut. Radius agak tak yakin bahwa kelesuan itu muncul karena daya beli masyarakat menurun. Sebab, katanya, pemerintah sudah berusaha menaikkan pendapatan masyarakat - antara lain petani, dengan memperbaiki harga dasar gabah kenng. Tentu, bukan karena pendapatan petani naik, jika penjualan obat-obatan dari berbagai industri farmasi masih kencang sepanjang tahun ini. Sebaliknya, agak aneh, penjualan barang-barang kebutuhan primer, seperti sabun, odol, dan minyak goreng, menurun tajam. Makanan dan minuman dalam kemasan, baik kalengan maupun botolan, juga lesu. Industri mobil dan elektronik, sudah sejak awal tahun, mengeluh panjang mengenai merosotnya distribusi barang mereka. Pendeknya, kata Hadi Soesastro, seorang pengamat ekonomi, "Sektor industri modern tahun ini terkena pukulan resesi paling kuat." Volume penjualan di sektor industri ini, secara umum, tahun ini turun 30% sampai 50%. Karena itu, agen tunggal mobil Suzuki di sini sudah senang jika penjualan Suzuki ST 100 dan Jimny tahun ini bisa mencapai 20 ribu unit - padahal sasarannya 30 ribu. Penjualan motor Suzuki diperkirakan juga hanya meliputi angka 210 ribu unit. "Itu pun sebagian besar terjual dengan sistem cicilan," ujar Soebronto Laras, presiden direktur Indo Mobil Utama, agen tunggal dan perakit Suzuki. Keadaan serupa juga dihadapi PT National Gobel. Penjualan berbagai barang elektronik National, seperti televisi dan cassete recorder, diperkirakan turun 20%. Yamien A. Tahir, wakil presiden direktur National Gobel, lalu menunjuk gudangnya yang penuh persediaan barang jadi. Supaya modal kerJa tidak banyak terikat pada stok barang jadi, volume produksi kemudian diturunkan sampai tingkat tertentu. "Jadi, bukan lantaran produk kami sudah tidak sesuai lai dengan selera konsumen," katanya. PT Delta Jakarta bahkan sudah mengurangi waktu kerja pabrik, dari delapan jam menjadi enam jam sehari. Penghematan biaya itu terpaksa dilakukan mengingat penjualan bir Anker produksinya, tahun ini, diduga hanya meliputi 600 ribu hektoliter. Tahun lalu, kendati cukai bir sudah naik dua kali, penjualannya masih bisa mencapai 850 ribu hektoliter. Dan dari situ perusahaan masih bisa mengantungi laba bersih Rp2,74 milyar. Laba bersih tahun ini diperkirakan hanya akan terkumpul Rp 1,5 milyar - sama dengan tingkat keuntungan pada 1981. Industri tekstil, yang memusatkan penualannya ke pasar lokal, juga tak berharap bisa meraih laba tinggi tahun ini. Kata sebuah sumber di PT Perintis Textile Industries (Perintex), Bandung, besar kemungkinan para penghasil sandang malah akan merugi. Ancaman itu mulai muncul sesudah - belum lama ini - harga bahan baku polyester naik dari Rp 1.400 jadi Rp 1.900 setiap kg. Sementara itu, karena permintaan belum juga naik, harga jual terpaksa "dipertahankan". Tapi, tetap saja, penjualan seret. Karena itu, hari kerja harus pula dikurangi, dari tujuh menjadi enam hari. Belum jelas benar apakah semua tanda kelesuan di industri pengolahan itu akan memperburuk pertumbuhan mereka tahun ini dibandingkan tahun lalu (Lihat: Grafik I) Di "hulu", penghasil besi beton dan besi profil juga menghadapi penumpukan stok secara berlebihan. Penumpukan mulai terjadi sesudah sejak awal tahun ini permintaan industri konstruksi akan semua bahan itu berangsur turun. Akibatnya, produksi besi beton yang tahun lalu bisa mencapai 700 ribu ton, tahun ini diduga hanya akan berjumlah 600 ribu ton. Apa hendak dikata, lesunya industri konstruksi itu akhirnya ikut memperlemah permintaan akan semen. Permintaan semen pada 1984-1985 ini diperkirakan hanya akan naik 3% - jauh dari perkiraan yang 8%. Besar kemungkinan, suplai semen di dalam negeri akan mengalami surplus lebih dari tiga juta ton. Tekanan terhadap harga semen sudah terasa di pelbagai kota. Situasi itu akhirnya ikut menekan harga saham Semen Cibinong di Pasar Modal. Selain menghadapi penumpukan stok di atas batas normal sektor industri modern juga mengalami kesulitan perputaran dana. Sebab, banyak piutang tertahan dan tertunggak di agen dan distributor. "Dalam soal piutang ini, kami tidak bisa memaksa-maksa agen, karena mereka mempunyai senjata," ujar Yamien Tahir. Di saat pasar lesu begini, agen dan distributor mempunyai kedudukan cukup kuat untuk menggertak pabrikan. Mereka punya alasan kuat untuk tidak menambah atau bahkan mengurangi persediaan barang di gudang. Kata sebagian dari mereka, stok barang tak perlu banyak, mengingat permintaan dari konsumen belum tentu akan naik. Daripada uang tertahan di barang, sebagian dari mereka kemudian lebih suka mendepositokannya, baik dalam rupiah maupun dolar. Penumpukan barang juga mereka hindari karena, belakangan ini, pusat-pusat perdagangan dirasakan seperti terancam kebakaran. Alasan lain diberikan PT Borsumij Wehry Indonesia, yang ikut membatasi stok barang dagangan, seperti makanan kaleng produksi grup Mantrust, yang didistribusikannya. Pembatasan dilakukannya agar kewajiban mencicil utang pada pabrikan dan supplier tidak terganggu. Supaya perputaran dana tetap terjaga, Borsumij berusaha pula mendapatkan kredit dari supplier dengan jangka pengembalian cukup longgar. Secara singkat bisa dikatakan, untuk mengatasi gangguan di pasar itu, Borsumij beranggapan hanya bisa dilakukan dari dalam perusahaan. "Meskipun promosi ditingkatkan, atau harga diturunkan sekalipun belum tentu bisa merangsang penjualan. Sebab, daya beli meman tidak ada," ujar A. Sukandar, direktur komersial Borsumij. Ekspor? Sulit dilakukan mengingat harga pokok barang Indonesia kini dinilai mahal, apalagi pasar dunia jug payah. Karena alasar itu, maka realisasi laba Borsumij tahun ini hanya akan mencapai separuh dari sasaran. Pabrikan sendiri tak kurang-kurangnya mencari akal mendorong agen dan distributor untuk menggalakkan penjualan dan membayar utang. Delta Jakarta sampai-sampai memberikan hadiah istimewa atau insentif. Upaya ekstra semacam itu mau tak mau harus dilakukan mengingat ada agen yang lebih suka memutarkan uang setorannya lebih dulu, dengan cara menunda pembayaran utang hingga tiga bulan. "Penundaan yang normal sebetulnya cuma sebulan," ujar Soedjono Respati, direktur utama Delta. Toh seret juga. Pihak Indo Mobil Utama, misalnya, sampai jatuh bangun untuk menyelamatkan perputaran dananya. Seretnya pembayaran darl agen memaksa agen tunggal Suzuki itu menurunkan produksinya hingga 30%, dan sekaligus minta penundaan pembayaran utang pada prinsipalnya di Jepang. "Sebenarnya, bisa saja kami membayar utang, tapi - kalau itu dilakukan berarti kami akan kekurangan dana untuk modal kerja," ujar Soebronto Laras kepada Budi Kesumah dari TEMPO. Sektor industri jasa konstruksi juga tampak berusaha mengatasi kelesuan itu dengan segala cara. Tapi, karena soal pemakaian jasa mereka banyak menyangkut kemampuan keuangan pemilik proyek, seperti pemerintah pusat melalui APBN, usaha mereka itu seperti tidak sampai. Omset PT Pembangunan Jaya tahun ini, misalnya, diperkirakan hanya akan mencapai Rp 62 milyar dari sasaran yang Rp 69 milyar. Memang, tidak tertutup kemungkinan bahwa kecilnya realisasi rencana itu merupakan akibat kelambatan sejumlah proyek penting, yang keputusannya membutuhkan birokrasi panjang. Apa pun sebabnya, kelambatan itu jelas akan mempengaruhi secara langsung pemakaian jasa tenaga kerja. "Besar kemungkinan ' kelambatan realisasi proyek-proyek itu akan menyebabkan bertambahnya tingkat pengangguran" ujar Secakakusuma direktur pelaksana Pembangunan Jaya. Singkat kata, kelesuan akhirnya menimbulkan serentetan akibat yang mengguncang sendi-sendi di sana-sini. Jatuhnya penjualan mobil secara langsung menyebabkan permintaan akan ban menurun pula. Karena prospek penjualan belum akan membaik. harga saham Good Year di pasar modal ikut terseret jatuh. Begitu juga loyonya penjualan barang-barang konsumsi menyebabkan harga saham Unilever dan rokok BAT terhuyung-huyung menghadapi tekanan rendahnya penawaran. Akibat serupa juga harus dialami saham Semen Cibinong, saham penghasil kabel Sucaco, dan saham bir Bintang. Secara sederhana, bisa dikatakan, 13 di antara 23 perusahaan yang sudah memasyarakat hari-hari ini mendapat tekanan hebat di pasar modal. Kurs saham mereka cenderung merosot terus, bahkan sudah ada pula yang berada di bawah harga nominal - seperti BAT dan Good Year. Tanda-tanda kemerosotan itu, sesungguhnya, sudah mulai tampak sejak Juni tahun lalu, ketika indeks harga saham (IHS) dari 16 perusahaan yang sudah go public turun menjadi 97,8. Indeks 100, yang menunjukkan kurs rata-rata yang terjadi masih di atas harga perdana, dltetapkan pada Agustus 1982. Karena kelesuan menghebat, IHS itu pun makin jatuh - hingga September lalu angka IHS 23 perusahaan itu tinggal 74 saja (Lihat: Grafik II). Di Lembaga Kliring Bank Indonesia, kelesuan itu terasa dekat sekali dengan kalangan perbankan di Jakarta. Dari Januari sampai minggu keempat Oktober, cek dan giro bilyet kosong, alias tak punya dana yang ditolak sudah berjumlah Rp 340 miIyar lebih (Lihat: Grafik III). Padahal, tahun lalu, selama 12 bulan, baru meliputi Rp 275 milyar. Makin besarnya nilai cek dan giro bilyet kosong yang beredar di masyarakat itu, tampaknya, merupakan salah satu petunjuk bahwa para pengusaha kini cukup serius menghadapi kekurangan dana. Pertanyaan benarkah pengusaha kekurangan dana, tampaknya, perlu diuji. Sebab, posisi giro berbagai lembaga keuangan peserta kliring di Jakarta, sejak September lalu, justru menunjukkan kecenderungan menaik - sekalipun di bulan April sebelumnya anjlok cukup tajam. Lazimnya, jika makin banyak uang pengusaha ditaruh di rekening giro, kegiatan usaha mereka menunjukkan tanda-tanda baik - hingga tak perlu lagi mengedarkan cek ataupun giro bilyet kosong. Jadi, pertanyaan yang tepat, barangkali: ke mana uang mereka? Ekonom Hadi Soesastro, yang cermat mengamati perkembangan ekonomi, menduga bahwa uang itu "berubah bentuk". "Mungkin menjadi emas, mungkin dolar,"katanya dalam sebuah diskusi dengan TEMPO, belum lama ini. Bahkan ada yang mengatakan, mungkin uang itu untuk membeli rumah-rumah mewah di luar negeri. Indikasinya, posisi deposito rupiah di lembaga-lembaga keuangan sejak September lalu, misalnya, menunjukkan tanda-tanda menurun (Lihat: Grafik IV ). Penurunan cukup besar terjadi, terutama, di lembaga keuangan milik pemerintah dan asing. Mungkin juga penyusutan posisi deposito rupiah itu terjadi sesudah kurs tengah dolar pada awal September lalu naik hebat dalam dua hari transaksi. Supaya nilai rupiah mereka tidak susut, penarikan dana berjangka itu pun dilakukan secara besar-besaran untuk menubruk dolar. Sejumlah pengusaha, terutama yang punya utang valuta asimg, kabarnya )uga dengan rasa pamk melakukan tmdakan itu. Karena itu, dana mereka di bank jadi kosong. Tapi, ada sebagian pengamat yang menghubungkan kekosongan dana pengusaha ini dengan menumpuknya stok barang jadi dan setengah jadi. Kata seorang pengamat ekonomi, penumpukan stok barang, yang mencerminkan seretnya arus barang, tak perlu terjadi jika arus uang tidak macet. Kalau arus uang pemerintah diperlancar, bukan tak mungkin, memasuki tahun 1985 nanti, prospek bisnis akan cukup cerah. Tapi pemerintah kini justru mengendalikan uang beredar dari sektor anggaran. Sedang dari sektor kredit malah diperlonggar (Lihat: Grafik VI). Jadi, dunia usaha tetap saja lesu. Pertambahan uang beredar, sepanjang tahun ini, memang kelihatan seret dibandingkan dua tiga tahun lalu - ketika uang minyak membanjir. Sampai minggu ketiga Oktober, pertambahan uang beredar hanya mellputi 9%, sedang di tahun 1980 lalu bisa mencapai 48%. Pengetatan, memang, terpaksa dilakukan sesudah uang minyak, yang biasanya didistribusikan dalam bentuk kredit likuiditas berbunga rendah, susut besar dua tahun terakhir ini. Secara tidak langsung, Menteri Keuangan Radius Prawiro membenarkan terjadinya pengereman itu. Kepada TEMPO, Menteri Radius menyatakan bahwa untuk menambah likuiditas rupiah di masyarakat pada semester kedua 1984-1985 ini, pemerintah akan berusaha meningkatkan pertambahan uang beredar lebih besar. Dalan rapat dengan DPR, pekan lalu, Radius juga mengatakan bahwa pemerintah akan berusaha mengurangi sisa anggaran pembangunan untuk mengatasi kelesuan dunia usaha. "Tapi kelesuan sebenarnya tidak bisa dihubungkan secara langsung dengan realisasi APBN 1984-1985," katanya. Kelesuan ekonomi memang tidak sepenuhnya tanggung jawab pemerintah. Menurut Raidius, kelesuan itu berkaitan pula dengan kegiatan sektor swasta sendiri, dan berlebihnya kapasitas produksi pelbagai industri yang tersedia. Tapi, bukan tak mungkin, kelesuan juga muncul karena realisasi anggaran pembangunan pemerintah, yang berperanan besar dalam mendorong kegiatan ekonomi, masih kecil. Pada semester pertama tahun anggaran ini, misalnya, pengeluaran pembangunan pemerintah baru meliputi Rp 4.245 milyar, atau sekitar 40% dari seluruh rencana anggaran. Benar tidaknya anggapan itu, tentu saja, masih bisa diperdebatkan. Seperti juga adanya anggapan, sebagian besar kebijaksanaan ekonomi sejak tahun lalu hingga kini semata-mata dilakukan untuk memperbaiki neraca pembayaran. Kebijaksanaan perkreditan perbankan, misalnya, sampai perlu pula dikaitkan ke situ: mereka hanya diperbolehkan memberikan kredit untuk sektor usaha yang sedikit menggunakan bahan baku dan penolong impor. Juga sektor jasa angkutan laut ikut dilibatkan, dengan mengharuskan semua pengangkutan barang milik pemerintah dilakukan kapal berbendera Indonesia. Hasilnya memang cukup bagus. Neraca pembayaran, pada semester pertama 1984-1985 ini, menunjukkan surplus US$ 589 juta - karena impor barang modal serta bahan baku dan penolong ditekan hebat (Lihat: Grafik V). Cadangan devisa ditangan Bank Indonesia tercatat US$ 5,7 miIyar lebih. Di luar bank sentral, cadangan devisa ditaksir meliputi jumlah tak kurang dari US$ 4 milyar. Dengan devisa sebesar hampir US$ 10 milyar itu, sesungguhnya, cukup aman bagi pemerintah untuk mendorong industri lokal -yang padat bahan baku dan penolong impor - agar mulai bergerak. Tindakan pemerintah masih ditunggu. Tapi, tunggu punya tunggu, keran impor untuk sejumlah barang esensial, yang konon sudah bisa dihasilkan industri lokal, masih ditutup. Sektor industri baja, terutama, mengeluh panjang pendek karena harus membeli bahan baku lebih mahal dari Krakatau Steel. Padahal, kata Anwar Nasution "Kalau pemerintah benar-benar ingin mendorong usaha ekspor dari berbagai industri, perlu sebuah tindakan paling mendasar." Ahli moneter ini mengambil contoh tindakan pemerintah Korea Selatan, Yang setiap dua sampai tiga tahun sekali neubantu usaha restrukturisasi industri tekstil disana, untuk menambah jumlah dan sekaligu mutu dagangan. "Strategi dan tindakan itulah yang dilakukan untuh mengatasi hambatan diluar negeri, kata Anwar, dalam diskusi dengan TEMPO. "Bukan hanya memberi subsidi kredit atau membebaskan pajak." Jika tindakan itu dilakukan, industri tekstil di sini tentu akan senang. Sudah sejak dua tahun lalu sektor industri yang banyak dimasuki PMA Jepang ini mengeluh mengenai perlunya restrukturisasi barang modal. Sebab, lambatnya usaha mereka mengubah teknologi, ternyata, menyebabkan jumlah jenis tekstil yang terkena kuota terutama di Amerika - makin bertambah. Supaya usaha ekspor mereka tidak terhambat, sebagian dari mereka kemudian berusaha mencari pasar baru ke negara nonkuota, seperti Mesir, Malaysia, dan Timur Tengah. Pasar ekspor, walaupun harga jualnya masih murah, memang merupakan pilihan menarik untuk mengatasi keIesuan pasar: umumnya para pembeli di luar negeri membayar secara tunai. Hingga, "Perputaran dana jadi terjaga," ujar S. Sinaga, direktur PT Unilon Textile Industries Bandune. Hanya dengan usaha keraslah industri tekstil patungan itu bisa meningkatkan penjualan tekstilnya ke luar negeri, dari 35% tahun lalu menjadi hampir 39% sepanjang tahun ini. Setiap tiga bulan jumlah tekstil yang bisa dijualnya tak kurang dari 12,6 juta yard. Merasa belum cukup hanya dengan ekspor, Unilon juga melakukan diversifikasi produk. Kini ada 120-150 jenis bahan tekstil untuk wanita dan pria dihasilkan pabrik itu. "Menghadapi kelesuan, kreativitas pengusaha banyak diminta," ujar Sinaga kepada wartawan TEMPO, Hasan Syukur. "Kurang-kurang mutar otak dalam suasana begini, bisa-bisa gulung tikar." Anggapan serupa juga dikemukakan Musa, ketua Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API). Menurut dia, jika pengusaha hanya menggantungkan pasar dalam negeri, sektor usaha tekstil jelas sudah tidak akan menguntungkan lagi. Maklum, stok pabrik sudah memumpuk di atas batas normal. Untung saja, pasar ekspor sudah dirintis. Tahun ini, nilai ekspor produk tekstil (pakaian jadi, kaim tenun, dan kaim rajut) diperkirakan Musa meliputi US$ 274 juta. "Sekiranya kami tidak mendapat hambatan di Amerika, sasaran US$ 350 juta mungkin bisa tercapai," ujar Musa kepada wartawan TEMPO, Adyan Soeseno. Usaha ekspor untuk mengatasi kelesuan pasar dalam negeri juga sudah dilakukan PT National Gobel, dengan menjual radio cassette ke Bangladesh, serta batu baterai ke Amerika, Eropa Timur, dan Muangthai. Potensi pasar Peru juga sedang dijajaki dengan mencoba menjual 5.00Q unit radio. Prospeknya dianggap cukup baik. Tapi, seperti juga di pasar lokal, di pasar ekspor itu National harus menghadapi persaingan dcngan pelbagai barang elektronik bikinan Taiwan dan Korea Selatan, yang harganya Icbih murah karena banyak mendapat subsidi kredit dan pajak dari pemerintah masing-masimg. Bagai tak mau ketinggalan, PT Delta Djakarta mulai November ini juga akan mengekspor minuman Shanta Super Shandy ke Singapura - dan tahun depan akan berusaha memasuki Malaysia dan Australia. "Saya gunakan kesempatan untuk ekspor ini, karena saya tidak begitu optimistis pasaran dalam negeri akan segera pulih dalam waktu dekat," ujar Soedjono Respati direktur utama Delta. Tentu saja, semua usaha mengatasi kelesuan pasar dalam negeri itu dilakukan dengan cara cukup ketat. Efisiensi, yang memungkmkan mereka menggunakan modal kerja semurah mungkin, harus dilakukan supaya harga jual di pasar ekspor bisa bersaing. Insentif pemerintah, berupa pemberian kredit ekspor berbunga 9%, tentu cukup menolong. Tapi, tetap saja, tak banyak pengamat berani berharap memasuki 1985 nanti. Kata Anwar Nasution, kalaupun ekonomi tahun depan membaik, bukan berarti bahwa proteksi dari negara pembeli dikurangi. "Tarif bea masuk mungkin dikurangi, tapi kuota akan makin lebar," katanya. Singkat kata, tindakan proteksi masih akan dilakukan negara-neara industri. Sementara keadaan pasar di dalam negeri masih tanda tanya. Sejumlah sektor industri, seperti tekstil dan minuman, bahkan terasa sudah jenuh. Lesunya daya beli konsumen belakangan, tentu, mengurangi minat investor menanamkan modal di sini. Karena itu, tak mengherankan jika sampai Oktober lalu permohonan PMA baru masuk US$ 850 juta dan PMDN Rp 1,6 trilyun. Sasaran BKPM sendiri tahun ini bakal meliputi Rp 6 trilyun, lebih rendah dari angka tahun lalu yang mencapai Rp 7,5 trilyun (Lihat: Grafik VI). Bagaimana tahun depan? Untuk melihat prospeknya, kata Ekonom Hadi Soesastro bisa dilihat dari perkembangan sektor keuangan. Kalau kebijaksanaan pemerintah di situ tidak berubah, "Saya pesimistis tahun 1985 akan membaik," katanya. Apa artinya ini bagi usaha Anda?
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini