Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Resesi cuma di kota?

Ditengah lesunya dunia usaha, produksi beras naik, tapi pendapatan petani tak banyak berubah. Sektor pertanian, kehutanan dan perikanan tambah baik. (eb)

8 Desember 1984 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

MENURUT statistik, seharusnya petani-petani kita lolos dari cengkeraman resesi. Sebab, pada akhir Maret tahun depan, produksi beras diperkirakan mencapai 30 juta ton. Dibandingkan dengan tahun lalu, hanya 23,5 juta ton, kenaikan hampir 28% itu tentu terasa luar biasa. Bulog repot membangun puluhan gudang. Bahkan sejumlah delegasi juga dikirim ke berbagai negara untuk memasarkan kelebihan beras tadi. Berita ledakan produksi beras, di tengah lesunya dunia usaha itu, cukup menenteramkan hati. Sepanjang Repelita III, produksi beras yang semula diduga hanya akan tumbuh 4%, di luar perkiraan, bisa tumbuh dengan 6% setahun. Selain ditunjang musim, membaiknya panen juga dipengaruhi bertambahnya lahan pertanian, makin baiknya sistem irigasi, tiadanya serangan hama, dan usaha intensifikasi. "Musim memang sedang mencintai Indonesia," ujar Iwan Jaya Ais, ahli ekonomi regional dari Ul. Tapi, ada yang meragukan, membaiknya produksi beras itu belum tentu meningkatkan pendapatan petani - sekalipun pemerintah sudah menaikkan harga pembelian gabah kering. Kata Soetjipto Wirosardjono, wakil ketua Biro Pusat Statistik (BPS). kenaikan penerimaan terbesar jelas akan di nikmati para pemilik tanah, baru kemudian para petani penggarap. Karena, harga gabah segar. Langsung dikendalikan pemerintah, dia beranggapan, kenaikan pendapatan yang diterima pemillk tanah pun "tidak cukup besar". Sarman, petani dari Desa Jomboran di Yogya, misalnya, paling banter hanya bisa mengantungi hasil kotor Rp 620 ribu setiap kali panen dari sawahnya yang satu hektar. Untuk memperoleh penghasilan sebesar itu, dia harus turun sendiri menggarap sawahnya. Guna menambah penghasilan, dia 'ngobyek dengan gerobak sapinya. Sekalipun usaha naksimum itu sudah dilakukan, kenaikan pendapatan petani macam Sarman ini, tentu, tak berubah banyak. Usaha Iebih keras jelas harus dilakukan oleh petani gurem, yang unumnya hanya meniliki tanah kurang dari satu hektar - ratusan ribu jumlahnya. Misalnya saja Sarkowi, petani dari Desa Cebongan di Yogya juga. Dari sawahnya yang hanya 0.1 hektar dia hanya bisa mengantungi uang Rp 56 ribu setiap kali panenan. Untuk menambah penghasilan, dia bekerja sebagai kusir andong. Dari situ dia bisa mendapatkan tambahan Rp 1.000 setiap hari. Apakah dari petani jemis ini bisa dihharapkan kenaikan penjualan pelbagai hasil industri sektor modern? Tentu saja tidak. Kenaikan penjualan di tahun loyo ini jelas diharapkan akan datang dari petani macam Saman Sembiring, petani pemilik lahan pertanian 5 hektar di Medan, yang dengan penghasilan Rp 34 juta setahun mampu membeli sebuah mesin penggiling padi berharga Rp 5 juta. Duakali panen tahun ini dia membeli pula televisi dan sepeda motor. "Keadaan kami jelas tidak iesu seperti orang kota," ujar Sembiring dari pematang sawahnya. Tapi resesi di kota agaknya bisa juga dimanfaatkan pengusaha rokok. "Mungkin, karena banyak pusing, orang makin banyak merokok, he . . . he . . . ," seperti kata Ariamo Wiratman, direktur pemasaran PR Djarum di Jakarta, tanpa menyebut omset penjualannya. Kokok cap Djambu Bol dari Kudus juga menghadapi banyaknya permimtaan dari Lampung dan Kalinantan Selatan. Sampai Oktober lalu, penjualannya sudah mencapai 1,4 miiyar batang. Padahal, tahun lalu, masih 1,3 milyar batang. Perputaran dananya juga sehat, sehingga perusahaan ini memberanikan diri melakukan ekspansi, dengan mengadakan satu unit mesin pelinting rokok berfilter. "Tahun ini perkembangan perusahaan lebih baik dibandingkan sehelumnya," ujar Nawawie Rusdi, direktur Djambu Bol. Sektor pertanian, kehutanan, dan perikanan juga tambah baik, meski daya beli petani karet, kelapa sawit, dan kopi belum membaik betul posisinya tahun ini. Enam bulan terakhir ini harga minyak kelapa sawit memang cenderung turun terus. Hanya karet yang harganya mulai membaik, karena industri mobil di AS sudah bangun. Kendati harga tiga komoditi ekspor primer tadi menhadapi banyak kendala. tahun ini pendapatan mereka diharapkan bisa membaik - mengingat pemasaran ke negara-negara Timur sedang dipacu. Karena itu, bukan tak mungkin, tingkat pertumbuhan sektor pertanian, kehutanan, dan perikanan tahun ini akan naik lebih besar dari angka tahun laiu yang 4,8%. Khusus untuk tanaman seperti padi, membaiknya hasil panenan jelas sangat besar dipengaruhi oleh musim. Karena alasan itu, Iwan Jaya Azis memperingatkan bahwa ledakan beras, yang akan terjadi tahun depan, belum tentu bakal terulang tahun berikutnya. "Jangan-langan nant gudang-gudang baru Bulog malah banyak yang kosong," katanya.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus