Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
CERUK bisnis biosolar tak seindah yang dibayangkan Pertamina. Sejak diluncurkan, enam bulan lalu, penjualan energi alternatif itu malah membuat brankas perusahaan minyak pelat merah ini terkuras. ”Kami tekor Rp 3,5 miliar per bulan,” kata Hanung Budya, Deputi Direktur Pemasaran dan Nia-ga PT Pertamina, pekan lalu. Biaya produksi biosolar ternyata lebih mahal ketimbang solar biasa.
Untuk menghasilkan biosolar, Pertamina mesti mengeluarkan ongkos Rp 5.380 per liter—lebih mahal Rp 90 per liter dari harga produksi solar biasa. Sedangkan harga jual dari Pertamina cuma Rp 4.300 per liter, setara dengan solar yang disubsidi pemerintah.
Biosolar atau kerap disebut juga biodiesel adalah bahan bakar mesin diesel berbasis minyak yang berasal dari sumber terbarukan. Bahan bakunya bisa dari minyak nabati (sawit, jarak, jagung, kedelai, lobak) atau lemak hewani. Bahan bakar ini dikenal ramah lingkungan karena tak menimbulkan pencemaran. Untuk menghasilkannya dibutuhkan 5 persen bahan bakar nabati yang kemudian dicampur dengan 95 persen solar murni.
Melonjaknya harga jual keekonomian biosolar disebabkan tingginya harga fatthy acid methil ester (FAME), yang merupakan bahan baku utamanya. Harganya kini di kisaran Rp 5.200 per liter. Padahal, ketika biosolar pertama kali diluncurkan, harga minyak nabati yang diekstraksi dari minyak sawit (crude palm oil) ini hanya Rp 4.300 per liter.
Buat Pertamina, ini jelas urusan gawat. Di satu sisi, program biosolar tak mungkin disetop, karena telanjur dijual di 189 pompa bensin di Jakarta dan 10 pompa bensin di Surabaya. Tapi, di sisi lain, Pertamina tentu saja tak mau menanggung rugi. Karena itulah, akhir bulan lalu, Pertamina menyurati Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral dan Tim Nasional Pengembangan Bahan Bakar Nabati. ”Kami minta selisih biaya yang sudah dikeluarkan bisa diganti pemerintah,” kata Hanung.
Surat itu sekaligus meminta kepastian model subsidi yang akan diberikan pemerintah. Pertengahan November lalu, pemerintah sudah menyetujui bahan bakar nabati termasuk dalam bahan bakar minyak bersubsidi. Besaran subsidi dipatok sesuai dengan harga rata-rata Mid Oil Platt’s Singapore (MOPS) satu bulan sebelumnya, plus margin dan distribusi 14,1 persen. Artinya, bila biaya produksi biosolar lebih dari itu, Pertamina harus menutup sendiri selisihnya.
Yang jadi persoalan, harga FAME kini jauh lebih mahal ketimbang harga MOPS solar, yang saat ini lagi turun ke angka US$ 0,47 (atau Rp 4.200) per liter. Itu sebabnya Pertamina meminta kepastian apakah selisih tadi bisa diklaim ke pemerintah. Ketidakpastian ini pula yang menyebabkan Pertamina masih menunda penandatanganan kontrak dengan tiga investor baru yang akan menjadi pemasok FAME. Tiga investor itu siap memasok sekitar 2,5 juta ton FAME per tahun.
Mereka akan membangun pabrik di Balongan (Jawa Barat), Dumai (Riau), dan Kuala Tanjung (Sumatera Utara). Tiga lokasi ini dipilih karena dekat dengan lokasi bahan baku FAME dan kilang penghasil bahan bakar minyak Pertamina. Selama ini, Pertamina memperoleh pasokan FAME dari PT Eterindo Wahanatama dan PT Platinum sebanyak 200 ribu ton.
Sambil menanti kepastian, Pertamina tetap menjalankan bisnis biosolar. ”Kami tidak bisa ngambek begitu saja, karena ini program nasional,” kata Ahmad Faisal, Direktur Pemasaran dan Niaga Pertamina. Meski begitu, Pertamina sudah mematok tenggat. ”Kita lihat hingga April 2007,” ucap Faisal. ”Bila tidak ada kepastian juga, Pertamina tidak bisa lanjut.”
Nah, kalau sudah begitu, bisnis biosolar Pertamina pun bisa jadi tinggal seumur jagung. Soalnya, pemerintah tampaknya tetap berkeras hanya akan memberikan subsidi tak lebih dari harga patokan MOPS. Alasannya, ”Ini menyangkut keterbatasan dana APBN dan keseimbangan fiskal,” kata Al Hilal Hamdi, Ketua Tim Nasional Pengembangan Bahan Bakar Nabati. Pemerintah pun, dia menambahkan, tidak bisa menyesuaikan besaran subsidi berdasarkan kenaikan harga minyak sawit dunia, yang kini menembus US$ 560 per ton—faktor yang menyebabkan harga FAME melambung.
Suara senada dilontarkan Luluk Sumiarso, Direktur Jenderal Minyak dan Gas, Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral. Menurut dia, melambungnya harga FAME semestinya bisa disiasati Pertamina dengan melakukan subsidi silang. ”Bisa diambil dari margin yang selama ini diperoleh Pertamina dari hasil penjualan premium, solar, dan minyak tanah,” katanya.
Supaya program bioenergi Pertamina tetap jalan, Tim Nasional merekomendasikan Pertamina mengubah strategi bisnisnya, yakni mencampur bahan bakar nabati untuk bahan bakar minyak yang tidak disubsidi. ”Sebab, menjual bioenergi untuk bahan bakar yang disubsidi pasti rugi,” kata Hilal. Caranya, antara lain, menjual biosolar untuk industri, yang kebutuhannya mencapai 13 juta kiloliter per tahun. Sedangkan untuk mengail rezeki di ranah transportasi, bisa dengan menjual biodex atau memperluas penjualan biopertamax, seperti yang mulai dirintis Pertamina pada awal Desember ini.
M. Ikhsan, Staf Khusus Menteri Perekonomian, mengusulkan jika mau mengail rezeki besar, Pertamina sebaiknya menjajaki kemungkinan penjualan biosolar ke Eropa. ”Selain pangsa pasarnya besar, penjualan biosolar di sana bebas pajak karbon,” katanya. Selain itu, pengenaan pajak yang tinggi untuk bahan bakar minyak fosil membuat konsumen lebih memilih bioenergi.
Untuk mempercepat laju program bioenergi, Tim Nasional kini sedang mengkaji penghapusan pajak pertambahan nilai (PPn) untuk penjualan minyak sawit dan FAME di pasar dalam negeri. Cara ini, kata Hilal, guna menjamin ketersediaan pasokan bahan baku biosolar di tengah melonjaknya harga mi-nyak sawit yang tahun depan diprediksi menembus US$ 620 per ton.
Pemerintah juga telah merencanakan perluasan lahan 5,25 juta hektare. Namun, kalangan pengusaha sawit tak dengan serta-merta menyambutnya. ”Kami perlu mendapat kejelasan sistem distribusi dan perdagangan terlebih dahulu,” kata Derom Bangun, Ketua Harian Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia. Salah satu yang dipersoalkannya adalah keharusan bagi pabrik biodiesel untuk menjual produknya kepada Pertamina. ”Ini tidak bagus bila pembeli hanya satu,” katanya.
Hal lain yang diprotes adalah keharusan pengusaha sawit mendapat rekomendasi dari Kementerian ESDM bila ingin mengekspor biodiesel. ”Aturan ini memberatkan dan menurunkan semangat pengusaha,” kata Derom. Padahal, ketika program ini baru diluncurkan, banyak pengusaha sawit yang berminat. ”Ada empat teman saya yang sudah mengajukan izin untuk membuat pabrik biodiesel,” katanya. ”Mereka bahkan sudah pesan mesin dari Eropa.”
Sederet keluh kesah tadi menunjukkan bahwa perencanaan program bioenergi masih bolong di sana-sini. Jika tidak segera dibenahi, perencanaan yang tidak utuh dari hulu ke hilir, bukan tak mungkin program bioenergi berantakan di tengah jalan.
Karena itu, sebelum telanjur, ada baiknya pemerintah menyimak pengalaman Brasil. Meski tercatat sebagai negara berkembang paling maju dalam mengembangkan bioetanol yang berbahan baku tebu, dan punya pengalaman riset bertahun-tahun, programnya sejak enam tahun lalu terseok-seok.
Menurut laporan Energy Sector Management Assistance Programme, lembaga hasil kerja sama antara Bank Dunia dan UNDP, kegagalan Brasil disebabkan melejitnya harga gula sehingga harga etanol tidak lagi kompetitif. Alhasil, pengusaha di sana lebih senang menjual produknya dalam bentuk gula ketimbang etanol. Melihat tingginya harga sawit dunia saat ini, jika tak diantisipasi, kegagalan serupa bukan tak mungkin juga bakal dialami Indonesia.
Yandhrie Arvian
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo