Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
PROTES investor minor-itas tak menghambat langkah pemerintah Malaysia menggabungkan tiga perusahaan sawit miliknya: Sime Darby Bhd., Golden Hope Plantations, dan Kumpulan Guthrie Bhd. Bersama enam unit usahanya yang tercatat di bursa saham Malaysia, ketiga perusahaan pelat merah itu akan bernaung di bawah payung baru bernama Synergy Drive Sdn. Bhd.
Bermodalkan 31,4 miliar ringgit Malaysia (sekitar US$ 8,6 miliar), perusahaan hasil merger ini nantinya tercatat sebagai perusahaan terbesar kelima di bursa Malaysia. Dengan penguasaan lahan kebun 600 ribu hektare, Synergy juga bakal menyerap 107 ribu tenaga kerja dan menguasai 6 persen pangsa pasar minyak sawit mentah dunia.
Investor gusar karena merasa di-faith-accompli oleh pemerintah selaku pemilik saham mayoritas. Kelompok oposisi pimpinan Wan Azizah Wan Ismail, istri mantan deputi perdana menteri Anwar Ibrahim, bahkan berteriak meminta pemerintah mengecek ada-tidaknya pelanggaran dalam aksi merger itu.
Toh, pemerintah Malaysia bergeming. Dukungan penuh lantang disuarakan oleh Deputi Perdana Menteri Najib Razak. ”Ini akan menciptakan kelompok usaha yang tangguh,” katanya, seperti dikutip AFP. Alasan lainnya, langkah penggabungan ini sejalan dengan kebijakan bioenergi nasional. Maklum, pemerintah negeri jiran ini memang sedang giat-giatnya memproduksi minyak sawit sebagai bahan baku biodiesel atau biosolar.
Di Malaysia, ide pembuatan biosolar sesungguhnya sudah muncul sejak 2001. Ketika itu harga minyak sawit mentah atau crude palm oil (CPO) masih murah: di bawah US$ 250 per ton. Jeli mencuri peluang, pemerintah Malaysia langsung memanfaatkannya sebagai bahan bakar pembangkit listrik. Apalagi, stoknya saat itu masih berlebih.
Kebutuhan biosolar kian besar setelah harga minyak mentah di pasar dunia beberapa tahun terakhir terus melonjak hingga mendekati US$ 80 per barel. Biosolar sebagai energi alternatif dunia pun kian dilirik. Untuk memasok kebutuhan itulah, lembaga minyak sawit Malaysia (Malaysia Palm Oil Board) segera menunjuk Golden Hope Plantations Bhd., Fima Bulkers Sdn. Bhd. (unit usaha Kumpulan Fima Bhd.), dan JC Chang Johor Groups Carotino Sdn. Bhd. untuk memproduksi biodiesel dengan menerapkan teknologi milik Malaysia Palm.
Akhir tahun lalu, Malaysia resmi meluncurkan kebijakan biodiesel nasional. Sesuai dengan standar kualitas yang ditetapkan (campuran minyak sawit 5 persen dan minyak diesel 95 persen), diperkirakan minyak sawit yang harus disediakan mencapai 500 ribu ton per tahun.
Persoalannya, harga minyak sawit di pasar dunia pun kini terus membubung. Per Desember ini harganya sudah mencapai US$ 535-570 per ton—tertinggi dalam dua tahun terakhir. Kenaikan harga ini diperkirakan masih akan berlanjut tahun depan, mencapai sekitar US$ 620 per ton. Padahal, tren harga minyak dunia diprediksi mulai turun, yang bisa membuat penggunaan minyak sawit sebagai bahan baku biodiesel tak lagi ekonomis.
Lonjakan harga ini antara lain dipicu oleh tarik-menarik permintaan sawit untuk kebutuhan biodiesel dengan industri makanan. Faktor lainnya, kata seorang pengusaha perkebunan sawit di sana, panen sawit di Malaysia merosot. Pasokan baru akan normal kembali sekitar Maret tahun depan.
Meski begitu, pemerintah Malaysia tampaknya tak khawatir proyek biodieselnya bakal terhenti gara-gara kekurangan pasokan sawit. Sebab, sudah ada aturan yang mewajibkan 40 persen produksi sawit di negeri itu diolah menjadi biodiesel.
Retno Sulistyowati
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo