Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

BISNIS SEPEKAN

10 Mei 1999 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Raup Rp 3,2 Triliun dari Saham Telkom

Pemerintah menjual sahamnya di Telkom sebanyak 898 juta lembar (9,62 persen). Saham seri B itu dilepas pada harga Rp 3.650 selembar, atau masih ada premium 4,3 persen dibandingkan dengan harga rata-rata bulanannya. Dari penjualan itu, pemerintah berhasil mengantongi US$ 400 juta (Rp 3,2 triliun). Setelah penjualan itu, saham pemerintah di Telkom tinggal 65,98 persen. Kantor Menteri Negara Pembinaan BUMN tak merinci jelas siapa pembelinya, hanya disebutkan bahwa investor berasal dari Indonesia, Asia, dan Amerika Serikat.

Ini merupakan penjualan saham (privatisasi) BUMN yang kedua oleh pemerintah sejak awal tahun anggaran 1999/2000. Sebelumnya, pemerintah berhasil menjual 49 persen saham perusahaan operator terminal peti kemas di Pelabuhan Tanjungperak senilai US$ 173 juta (Rp 1,4 triliun). Saham dibeli oleh P&O Australia. Pemerintah pada tahun anggaran 1999/2000 menargetkan pemasukan Rp 13 triliun dari program privatisasi 14 BUMN.


Sapi Perah Pejabat Daerah

Diam-diam, 27 Bank Pembangunan Daerah (BPD) punya kredit macet Rp 2 triliun—jumlah yang relatif besar. Walau belum ’’sekuku hitam” kredit macet bank pemerintah, tetap saja hal itu menunjukkan amburadulnya manajemen BPD. Dikabarkan, selama ini BPD sering menjadi sapi perah pejabat-pejabat daerah. Sebuah kasus yang melibatkan bekas direktur utama BPD Jawa Tengah, Panoet Harsono, menunjukkan hal itu.

Karena skala usaha BPD tak sebesar bank pemerintah, kebutuhan dana rekapitalisasi untuk mencapai CAR 4 persen juga tak terlalu besar. Untuk merekapitalisasi 12 bank, tambahan modal yang dibutuhkan cuma Rp 1,5 triliun. Seperti bank swasta yang direkap, 20 persen tambahan modal itu harus disediakan pemegang saham, sedangkan selebihnya ditanggung pemerintah. Dengan CAR minus 30, berarti BPD Jawa Tengah membutuhkan suntikan modal paling besar, yaitu Rp 487 miliar.


Pertamina Masih Membingungkan

Laporan keuangan Pertamina selalu membingungkan. Untuk kinerja 1997/1998 saja, ketika Soegianto masih duduk di kursi direktur utama, dia bilang keuntungan Pertamina adalah Rp 1,7 triliun, turun sedikit dari lama tahun sebelumnya, yang sebesar Rp 1,8 triliun. Tapi, dalam laporan keuangan yang diaudit Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan, Pertamina justru dilaporkan merugi Rp 2,5 triliun untuk tahun anggaran yang sama.

Ajaibnya lagi, tak ada penjelasan mengenai apa saja penyebab kerugian tersebut dalam laporan keuangan yang diedarkan pada awal April 1999 itu. Kabarnya, laporan keuangan itu akan ditarik karena berbagai keganjilan tadi. Menteri Pertambangan dan Energi Kuntoro Mangkusubroto sendiri masih belum tahu persis soal silang selisih laporan keuangan Pertamina itu. ’’Kita baru meneliti itu, apakah kerugiannya karena depresiasi rupiah ataukah karena inefisiensi,” kata Kuntoro.


Hore! Rezeki Minyak Datang Lagi

Kantong pemerintah akan lebih tebal karena harga minyak mentah dunia naik cukup tinggi. Pekan lalu, minyak Brent, misalnya, mencapai tingkat harga US$ 16,56 per barel. Harga rata-rata OPEC sudah US$ 15,8 per barel, naik lumayan dari rata-rata US$ 12,27 per barel pada Maret 1999. Sementara itu, harga patokan minyak dalam anggaran belanja RI adalah US$ 10,5 per barel. Kenaikan dramatis ini terjadi setelah OPEC dan negara penghasil minyak lain memangkas produksinya. Sejauh ini, OPEC baru memproduksi minyak pada tingkat 81 persen.

Kesepakatan pemangkasan itu tercapai setelah harga minyak mencapai titik terendah dalam 12 tahun terakhir pada Desember 1998. Jurus pangkah itu ampuh, harga minyak naik sampai 75 persen. Kalangan analis yakin, jika negara-negara OPEC tetap patuh pada komitmen itu, harga akan bisa dipertahankan. Bagi Indonesia, ini bisa jadi berkah, bisa pula celaka. Sebab, Indonesia mengekspor minyak mentah sekaligus mengimpornya. Di tengah ’’celaka” yang datang bertubi-tubi, semoga ini jadi berkah.


PLN Dihukum Bayar US$ 500 Juta

Berbeda dengan Pertamina, PLN merupakan BUMN yang paling sering digugat. Kali ini dua gugatan sekaligus dilayangkan oleh pemilik proyek listrik swasta. Gara-garanya, PLN ingkar janji dengan tidak mematuhi perjanjian pembelian listrik (power purchase agreement/PPA). Dalam PPA yang ditandatangani pada 1994 itu, PLN diharuskan membeli listrik dari Himpurna California Energy dan Patuha Power, yang masing-masing punya kapasitas 400 MW. Dan kali ini pula PLN kalah. Oleh panel arbitrase yang diawasi PBB, pabrik setrum ini diharuskan membayar ganti rugi US$ 572 juta.

Namun, PLN tampaknya menganggap enteng putusan itu. Menurut Direktur Utama PLN, Adhi Satriya, pabrik setrum itu tetap akan melakukan restrukturisasi, kendati dihukum membayar ganti rugi itu. Restrukturisasi ini meliputi juga renegosiasi PPA, yang sudah kadung ditandatangani PLN pada zaman Soeharto. ’’Proses eksekusinya masih lama,” kata Adhi, santai. Renegosiasi ini memang tak terelakkan karena sekarang PLN sudah kelebihan pasok. Jika ditambah lagi dengan pasok listrik swasta, PLN pasti akan terjerembap.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus