Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Perselisihan Soal Selisih

Masyarakat Riau menggugat Menteri Keuangan gara-gara dianggap salah menaksir sumbangan minyak dari sana.

10 Mei 1999 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

HATI-hati menyebut angka, apalagi kalau menyangkut bilangan triliunan. Gara-gara angka itulah Menteri Keuangan Bambang Subianto digugat masyarakat Riau ke pengadilan. Korupsi lagi? Belum tentu begitu. Ini soal sumbangan minyak dari Riau, provinsi ''lumbung" minyak itu. Adalah Profesor Tabrani Rab, tokoh Riau, yang mencatat bahwa Menteri Bambang Subianto menyebut sumbangan minyak dari Riau pada 1998 hanya Rp 6,4 triliun. Padahal, perusahaan seperti Caltex Pacific Indonesia yang beroperasi di Riau punya data lain: sumbangan Caltex saja sekitar Rp 17 triliun (US$ 2,067 miliar). Padahal, di Riau ada empat perusahaan yang memegang kontrak production sharing (KPS). Seharusnya angka kontribusi minyak Riau pasti di atas Rp 17 triliun. Pernyataan Menteri Bambang di depan Gubernur Riau dan masyarakat setempat pekan lalu itu kontan memancing amarah. Tabrani langsung mengajukan gugatan ke Kejaksaan Agung melalui Kejaksaan Tinggi Pekanbaru setelah mendapatkan konfirmasi dari Caltex soal besarnya duit yang disetor perusahaan minyak itu ke Jakarta. ''Gugatan ini diajukan karena Menteri Keuangan berbohong soal kontribusi minyak Riau. Bagaimana mungkin selisihnya bisa mencapai Rp 11 triliun? Kita ingin tahu kebocorannya di mana dan kami juga minta masalah ini diaudit oleh auditor independen," kata Tabrani. Ia juga menggugat Pertamina, yang mengatur kontrak dengan Caltex. Menteri Bambang kaget. Ia menyadari bahwa pihaknya salah menyebut tahun anggaran. Menurut Bambang, angka yang diungkapkannya merupakan simulasi pelaksanaan UU Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah dengan berpatokan pada RAPBN 1999/2000. Di sana ditaksir penerimaan minyak mencapai Rp 12 triliun dan kontribusi rata-rata Riau 50-70 persen. Muncullah angka Rp 6,4 triliun itu. Perhitungan itu didasarkan pada kurs dolar Rp 7.500 dan harga minyak US$ 10,5 per barel. Jika Caltex punya angka lebih besar, ''Saya tidak tahu dari mana perhitungan Caltex, kok, bisa sebesar itu," kata Bambang Subianto. Direktur Penerimaan Minyak dan Bukan Pajak Departemen Keuangan, Dr. Sahala L. Gaol, menjelaskan bahwa perbedaan perhitungan itu bisa saja terjadi karena patokan yang dipakai berbeda. Departemen Keuangan menghitung dengan tahun anggaran, yaitu April sampai Maret, sementara Caltex menghitung dengan tahun takwim, yaitu Januari sampai Desember. Sahala mengatakan, kalau dihitung berdasarkan tahun 1998, uang minyak yang diterima Departemen Keuangan dari Caltex tak berbeda jauh dengan yang disebutkan perusahaan itu. Berapa? Sahala tak bersedia menyebut angka. ''Belum diaudit," kata Sahala kepada Agus Riyanto dari TEMPO. Pekan lalu Departemen Keuangan mengirim dua utusan ke DPRD Riau. Keduanya, Kepala Badan Pembinaan dan Pengusahaan Kontraktor Asing, Gatot Karyoso Wiroyudo, dan Kepala Sub-Direktorat Penerimaan Negara dari Migas, Mujo Suwarno, ternyata dianggap hanya mengulangi penjelasan Menteri Bambang Subianto. Menurut Tabrani, kedua pejabat Jakarta itu tidak bisa menyediakan data konkret untuk mendukung keterangannya. Ada duit yang bocor di tengah jalan? Kepada TEMPO, seorang pejabat Pertamina mengungkapkan bahwa prosedur setoran duit dari Caltex dan KPS lain ke kas pemerintah sudah cukup transparan. Namun, Tabrani masih penasaran. Menurut dia, kalau produksi rata-rata bulanan minyak Riau hampir sama, mestinya perhitungan Januari-Desember tidak akan berbeda jauh dengan April-Maret. Kalaupun asumsi harga patokan minyak dan nilai tukar dolar yang dipakai sesuai dengan RAPBN 1999/2000, kontribusi Caltex ditaksirnya masih di angka Rp 15 triliun. Apalagi kalau dasar perhitungan harga minyak OPEC yang US$ 15 sebarel, dan harga dolar sesuai dengan pasaran, pasti angka sumbangan Riau itu lebih besar. Kontribusi minyak Riau US$ 2 miliar sampai US$ 2,5 miliar setiap tahunnya. Dari angka-angka yang dipercayainya, Tabrani yakin uang minyak Riau yang seharusnya kembali ke bumi Riau akan lebih besar. Dia menghitung, jika Rp 17 triliun yang dijadikan dasar, dengan pembagian 15 persen, Riau bisa mendapatkan Rp 2,5 triliun. Sebaliknya, dengan dasar perhitungan yang cuma Rp 6,4 triliun, perolehan Riau tak akan lebih dari Rp 1 triliun. ''Karena itu, sekarang kami menuntut bagi hasil 10 persen dari hasil kotor, bukan lagi 15 persen dari hasil bersih," kata Tabrani. Selisih Rp 11 triliun itu—kalau benar bilangan-bilangan itu memang berbeda—jelas harus dicari. Apalagi pada saat cerita bahwa kantong pemerintah sering tiba-tiba ''bocor" oleh orang dalam sendiri sesungguhnya bukan berita baru lagi. M. Taufiqurohman, Ali Nur Yasin, dan Dwi Arjanto

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus