Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Aciong Kena Sandera
Setelah sekian lama sekadar mengeluarkan ancaman, Kantor Direktorat Pajak pekan lalu akhirnya benar-benar menyandera penunggak pajak, meski hanya satu orang.
Jasman L. alias Aciong menjadi pengusaha yang pertama kali terkena sandera kantor pajak karena menunggak pajak tahun 2001 dan 2002 sebesar Rp 11 miliar. Pengusaha importir terigu itu diantar keluarganya menyerahkan diri ke aparat pajak, Senin pagi, dan langsung dikirim ke Rumah Tahanan Cipinang.
Di Cipinang, Aciong menempati blok 3H. Jika selama enam bulan masa sandera tidak juga menyelesaikan utang, masa penahanannya akan ditambah enam bulan lagi.
Dua warga negara asing dengan tunggakan sekitar Rp 67 miliar diperkirakan segera menyusul Aciong. Kantor pajak saat ini masih menunggu izin dari Menteri Keuangan untuk menyandera dua wajib pajak yang dinilai tak kooperatif itu.
”Hingga kemarin,” kata tenaga pengkaji Bidang Pembinaan dan Penertiban Sumber Daya Manusia Ditjen Pajak, Djangkung Sujarwadi, ”keduanya belum menunjukkan tanda akan membayar kewajibannya. Tapi mereka sudah dicegah ke luar negeri.”
10 Broker Menyerah
Jumlah perusahaan sekuritas di lantai bursa akan berkurang. Sepuluh broker saham memutuskan mundur dan mengembalikan keanggotaannya ke Bursa Efek Jakarta karena tak punya cukup modal.
Direktur Utama Bursa Efek Jakarta, Erry Firmansyah, pekan lalu mengatakan, para anggota bursa tersebut tak bisa menyetor modal kerja bersih yang ditetapkan Badan Pengawas Pasar Modal (Bapepam) Rp 10 miliar.
Untuk periode 2004, anggota bursa harus sudah menyetorkan modal kerja pada 23 Desember 2003. Jika tidak, Komite Pencatatan Efek Indonesia akan membatasi perdagangan broker tersebut hanya lima kali dari modal bersih. Selanjutnya, jika ternyata tetap tidak ada perkembangan, broker tersebut akan dilarang melakukan transaksi saham.
Mei lalu, Bapepam menaikkan modal disetor dan modal kerja bersih disesuaikan dengan perusahaan sekuritas. Kenaikan ini dimaksudkan agar bursa saham lebih likuid karena pemainnya memiliki modal yang cukup. Anggota bursa yang tidak mampu disarankan merger atau menjadi perusahaan efek non-anggota bursa.
Saat ini ada sekitar 180 perusahaan efek yang menjadi anggota bursa. Dari jumlah tersebut hanya 35 atau 20 persen yang bisa memenuhi persyaratan itu.
Texmaco Tidak Ditutup
Presiden Megawati Soekarnoputri meminta Grup Texmaco tidak ditutup. Meski sudah mengundurkan diri, Marimutu Sinivasan (pendiri Texmaco) harus tetap bertanggung jawab atas persoalan di perusahaan itu.
Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Jacob Nuwa Wea mengatakan hal itu usai bertemu Presiden, pekan lalu, di Jakarta. Dia meminta agar beban perusahaan tidak sepenuhnya dijatuhkan ke pemerintah. ”Dia punya utang, dia suruh pemerintah yang bayar. Yang benar saja,” katanya.
Texmaco punya kewajiban ke negara Rp 29,04 triliun dan fasilitas kredit perdagangan US$ 29 juta ke PT Bank Negara Indonesia Tbk. Sebagai mantan pemilik PT Bank Putera Multikarsa, Sinivasan juga berutang Rp 1,317 triliun ke Badan Penyehatan Perbankan Nasional. BPPN bersedia merestrukturisasi grup usaha itu asal ada itikad membayar utang.
Utang APP (Belum) Beres
Setelah sekian lama berunding, Asia Pulp and Paper dan kreditornya akhirnya menandatangani perjanjian induk restrukturisasi yang disebut MRA, master of restructuring agreement.
Sayangnya, kreditor yang menandatangani restrukturisasi tersebut baru 35-40 persen. Padahal, kata ketua restrukturisasi utang Group Sinar Mas, Franky Oesman Widjaja, perjanjian dapat efektif jika mendapat persetujuan 67 persen kreditor.
Selain BPPN, kreditor yang telah meneken restrukturisasi utang senilai US$ 6,7 miliar tersebut antara lain adalah Export Credit Agency dari delapan negara (Austria, Denmark, Finlandia, Prancis, Jerman, Italia, Spanyol, dan Swedia) dan Nippon Export and Investment Insurance.
Kreditor yang secara tegas menolak menandatangani adalah US Exim Bank karena menganggap proposal perjanjian tidak adil. ”Dan strukturnya tidak merefleksikan kemampuan APP membayar utang,” kata James Hess, Direktur Keuangan US Exim Bank.
Daya Saing Melorot
Daya saing bisnis Indonesia menempati posisi 60, menurun dua tingkat dibandingkan dengan tahun sebelumnya. Sedangkan untuk daya saing pertumbuhan melorot enam tingkat, dari 66 menjadi 72.
Laporan World Economic Forum dengan judul Global Competitiveness Report 2003-2004 yang diluncurkan di Washington, pekan lalu, menunjukkan peringkat daya saing bisnis Indonesia di Asia Tenggara hanya lebih baik empat tingkat di atas Filipina.
Dalam hal daya saing pertumbuhan negara se-Asia Tenggara, Indonesia menempati urutan terendah.
Negara paling kompetitif, baik di sisi daya saing pertumbuhan maupun bisnis, adalah Finlandia, Amerika Serikat, Swedia, Denmark, dan Taiwan.
Satu hal yang dapat dipetik dari survei ini, kata Kepala Bidang Ekonomi World Economic Forum, Augusto Lopez, adalah kekuatan dan ketegasan pemerintah dalam kebijakannya bisa membawa setiap negara mencapai urutan tertinggi.
Sorak Segera Kuasai BII
Konsorsium Sorak Financial menjadi penawar utama (preferred bidder) dalam penjualan 51 persen sahamPT Bank Internasional Indonesia Tbk.
BPPN menaikkan peringkat Sorak dari qualified menjadi preferred bidder setelah konsorsium tersebut bersedia memenuhi dua syarat: memperbaiki harga penawaran dan perjanjian jual beli.
Namun BPPN belum menjelaskan pada harga berapa Sorak harus memperbaiki penawarannya. Deputi Ketua BPPN I Nyoman Sender pernah mengatakan harga penjualan saham BII 1,1 hingga 1,4 kali nilai buku.
Syarat lain yang dipenuhi Sorak adalah soal kewajiban yang timbul atas kepemilikan saham BII di Ningbo, Cina, dan kantor cabang BII di Kepulauan Cayman dan Mauritius. Jika berjalan lancar, besar kemungkinan Bank Internasional Indonesia akan jatuh ke tangan Sorak.
Kadin Anti-Suap
Para pengusaha yang tergabung dalam Kadin belakangan sibuk menggelar kampanyeantisuap. Mereka miris dengan merajalelanya praktek suap di Indonesia.
Pada awal Oktober lalu, para pengusaha itu telah menandatangani Pakta Anti-Suap. Namun gerakan tersebut disambut dingin oleh para pejabat pemerintah.
Hal ini tampak dari ketidakhadiran Menteri Perhubungan dan Menteri Negara Komunikasi dan Informasi dalam acara penandatanganan Pakta Anti-Suap Sektor Telematika, Perposan, dan Media Massa, Selasa pekan lalu. Menteri Negara BUMN Laksamana Sukardi bahkan dikabarkan menolak menandatangani pakta tersebut.
Padahal komitmen pemerintah penting dalam memberantas praktek suap. Sebab, kata Ketua Kadin Bidang Telematika, Perposan, dan Media Massa, Sharif Cicip, urusan suap biasanya terkait erat dengan pemerintah. ”Mengurus izin, mendapat jaringan frekuensi, dan sebagainya membutuhkan banyak uang suap,” katanya pekan lalu.
Meski seret dukungan, para pengusaha yang sering dituding sebagai sumber korupsi tidak akan surut melakukan kampanye antisuap. Mereka menargetkan nilai indeks persepsi korupsi Indonesia naik menjadi 2,5 pada tahun 2004. Hingga tahun 2015, akhir gerakan antisuap ini, indeks diharapkan sudah naik menjadi 6, setara dengan Slovenia atau Prancis.
Indonesia merupakan negara nomor enam terkorup di dunia. Indeks Persepsi Korupsi Transparansi Internasional menunjukkan, angka Indonesia cuma 1,9 dari rentang 1 sampai 10. Angka 10 menunjukkan negara paling bersih dari korupsi. Nilai Indonesia itu tidak bergerak dari tahun 2001.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo