Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Setelah Dialog Pasir dengan Dr. M

Secara politis ataupun finansial, ekspor pasir laut ke Malaysia akan sukses bila pengawasan dilakukan selama 24 jam. Pelestarian lingkungan juga tak boleh diabaikan.

2 November 2003 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

RENCANA ekspor pasir laut ke Malaysia sudah sampai di mana? Rencana itu ternyata belum ke mana-mana, bahkan masih harus dimatangkan lagi oleh Tim Pengendali dan Pengawas Perusahaan Pasir Laut (TP4L). Tak mengherankan bila saat memasuki bulan Puasa ini, kesibukan Indroyono Soesilo bertambah. Pekan lalu, sekretaris TP4L itu mengumpulkan semua anggotanya dan mengadakan rapat teknis. Agendanya, membahas pembukaan kembali ekspor pasir laut, dengan negara tujuan ekspor Malaysia—bukan Singapura.

Maksud rapat semata-mata untuk menindaklanjuti pembicaraan antara Menteri Kelautan dan Perikanan yang juga Ketua TP4L, Rokhmin Dahuri, dan Perdana Menteri Malaysia, Mahathir Mohamad, di Bali akhir bulan lalu. Negarawan yang juga dikenal dengan sebutan Dokter M ini menawarkan peluang bagi impor pasir laut dari Indonesia untuk reklamasi pantai di negaranya. Tawaran itu disambut positif, walau Rokhmin mengajukan beberapa syarat.

Hanya, informasi mengejutkan ini langsung menuai protes dari kalangan pencinta lingkungan. Penambangan pasir laut oleh mereka dinilai lebih banyak mudarat ketimbang manfaatnya. Lingkungan dan ekosistem rusak, nelayan kehilangan sumber nafkah, dan negara dirugikan miliaran rupiah karena pengerukan pasir yang tidak menghiraukan kelestarian alam. Masa depan kedaulatan teritorial Indonesia juga terancam, karena penambangan itu menyebabkan sejumlah pulau tenggelam, termasuk pulau yang berada di titik paling luar.

Di sisi lain, Menteri Perindustrian dan Perdagangan Rini Soewandi, yang menetapkan larangan ekspor awal Februari lalu, tetap berpegang pada keputusannya semula. Belakangan, Rokhmin mengemukakan, dibukanya pintu ekspor bergantung pada keputusan tim yang dipimpinnya. Karena itu, perlu pembicaraan khusus melalui suatu rapat pleno. Bahan untuk rapat itulah yang dirumuskan dalam rapat teknis yang dipimpin Indroyono. "Di situ (rapat pleno) tinggal diputuskan yes or no, berikut pembahasannya," ujar sekretaris TP4L ini.

Adalah wajar jika pemerhati lingkungan merasa waswas. Apalagi sebelum ini pemerintah menuai pujian karena berani menghentikan ekspor pasir laut—kendati hanya untuk sementara. Ekspor dihentikan sampai pembicaraan batas wilayah laut antara Indonesia dan Singapura selesai dibahas dan disepakati. Keputusan tersebut ditetapkan oleh tim yang dibentuk Presiden Megawati Soekarnoputri pada 23 Januari silam dan ditegaskan lagi melalui keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan.

Lantas apa makna "dialog pasir" antara Dr. M dan Rokhmin Dahuri? Menurut Indroyono, dalam pembicaraan dengan Mahathir, sebenarnya belum ada keputusan yang mengikat. Menteri pun saat itu sudah mengajukan tiga syarat. Pertama, tak ada masalah batas wilayah antara Indonesia dan Malaysia. Kedua, ekspor pasir laut harus dilaksanakan di bawah payung kesepakatan di antara pemerintah (government to government). Ketiga, harganya harus kompetitif.

Tiga syarat itulah yang menjadi kerangka bagi skema baru ekspor pasir laut Indonesia, yang dirancang Tim Pengawas Ekspor Pasir Laut. Indroyono mengungkapkan, dari ketiganya, masalah batas wilayah merupakan hal yang paling krusial. Penambangan pasir untuk reklamasi otomatis akan memperluas daratan negeri tetangga. Padahal sebagian pulau di Tanah Air justru tergerus akibat penambangan. Jika tak hati-hati, alih-alih memberi untung, ekspor pasir justru memperluas teritori negara lain.

Masalah inilah yang pertama kali disorot, saat mengkaji kemungkinan ekspor pasir laut ke Malaysia. Dari kajian itu diketahui bahwa pembicaraan batas wilayah laut kedua negara ternyata juga belum selesai. "Dengan Singapura belum selesai, apalagi dengan Malaysia," kata Indroyono. Alhasil, tim akan merekomendasi agar ekspor pasir laut tidak tergesa-gesa dibuka kembali. Pemerintah diminta melakukan pembicaraan segitiga dengan kedua negara yang berminat pada pasir laut Indonesia, yakni Singapura dan Malaysia.

Penghentian ekspor pasir laut sebenarnya dimanfaatkan pemerintah untuk menganalisis sistem ekspornya. Empat kelompok kerja dibentuk untuk membahas berbagai aspek dari ekspor tersebut, di antaranya menetapkan zonasi penambangan pasir laut, menyusun sistem pengawasan, serta menetapkan volume dan harga patokan ekspor. Sejauh ini pekerjaan itu telah mendatangkan hasil.

Yang terpenting adalah keberhasilan tim membuat peta zonasi penambangan pasir laut di Kepulauan Riau (lihat gambar). Indroyono mengatakan, penetapan kapling penambangan kelak akan menjadi wewenang sepenuhnya pemerintah daerah. Toh, pengkaplingan itu harus memperhatikan peta zonasi tersebut. Menteri Perindustrian dan Perdagangan juga telah menerbitkan harga patokan ekspor sebesar US$ 3 per meter kubik.

Namun skema baru ini bukannya tanpa kelemahan. PT Surveyor Indonesia, yang pernah bertugas memantau kegiatan produksi penambangan pasir laut, mengingatkan bahwa sistem pengawasan memegang peranan penting. Tanpa pengawasan, kegiatan penambangan akan liar dan tak terkendali. Di masa lalu pun, tak ada pihak yang bisa menjamin kegiatan itu dilakukan menurut prosedur.

Pasalnya, pengerukan pasir laut umumnya mengejar keuntungan tinggi, sehingga cenderung dilakukan di lokasi yang paling dekat dengan Singapura. Tindakan itu, kata Direktur Operasi PT Surveyor, Gannet Pontjowinoto, sulit dideteksi. "Kegiatan itu berlangsung dalam kurun waktu 24 jam," tuturnya. Apalagi tak semua kapal dipasangi alat sensor dari Surveyor—semacam kotak hitam—untuk memantau kegiatan penambangan.

Selain itu, kendala terbesar di masa lalu justru terletak pada lemahnya penegakan hukum. "Itu yang paling sulit," kata Gannet. Kelemahan ini bukannya tak disadari, tapi juga tak terhindarkan. Alasannya klise: keterbatasan dana. Ramainya pelaku penambangan yang berseliweran di tengah terbatasnya jumlah aparat keamanan akhirnya membuat si penambang nakal dengan mudah lolos dari pengawasan aparat. Tak tertutup kemungkinan merajalelanya kongkalikong antara aparat dan pemberi izin penambangan di satu pihak, dengan investor dan pengusaha pasir di pihak lain.

Karena itu, sarannya, bila keran ekspor dibuka, sebaiknya izin ekspor diberikan secara bertahap dengan jumlah yang terbatas pula. Pendapatan yang diperoleh dari ekspor pasir laut harus disisihkan pemerintah daerah untuk dana penegakan hukum dan pengawasan. Selain itu, mereka yang beroperasi harus benar-benar memenuhi persyaratan, termasuk dipasangi alat sensor—yang dulu sering ditampik dengan berbagai alasan oleh para pemilik kapal.

Kendati begitu, skema baru yang dimaksudkan untuk menutup kelemahan di masa lalu tetap diragukan efektivitasnya oleh khalayak. "Siapa yang bisa menjamin, pasir itu pasti akan sampai di Malaysia. Padahal kita tahu Singapura yang paling membutuhkan," kata guru besar kebijakan ekonomi perikanan dan kelautan Institut Pertanian Bogor, Tridoyo Kusumastanto.

Menurut Tridoyo, harga yang kompetitif maupun perjanjian bilateral tak cukup menjamin dampak lingkungan yang bisa timbul. Seharusnya harga pasir tak semata-mata dihitung dari kacamata pasar. Artinya, harus diukur sejauh mana aktivitas pembuatan lingkungan buatan akan merusak lingkungan yang asli. Dengan kata lain, dampak lingkungan yang ditimbulkannya juga harus dihitung.

Ia memberi contoh pembabatan hutan bakau (mangrove) yang menyebabkan kehilangan hutan senilai US$ 8.000 per hektare. Nilainya semakin tinggi bila menyangkut sumber daya alam yang sulit diperbarui, seperti biota laut yang ikut tergerus akibat pengerukan pasir. "Untuk koral atau padang lamun (sea grass) saja, harganya bisa ditaksir US$ 14 ribu hingga 38 ribu," tuturnya.

Tak mengherankan bila Tridoyo mengimbau pemerintah agar bersikap bijaksana dalam hal ekspor pasir laut ini. Diakuinya bahwa masalah perbatasan memang penting, tapi kelangsungan kelestarian ekologi lebih penting. "Kalau bisa, ekspor pasir laut ditutup untuk seterusnya," ujar Tridoyo, harap-harap cemas.

Dara Meutia Uning

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus