Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Film

Kisah Cinta dari Sahara

Film yang dibuat ulang oleh sutradara Shekhar Kapur. Pandangan nasionalistis dan imperialistis Inggris Raya yang dipandang kritis oleh sineas masa kini.

2 November 2003 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

The Four Feathers
Sutradara: Shekhar Kapur
Skenario: Michael Schiffer dan Hossein Amini
Pemain: Heath Ledger, Wes Bentley, Kate Hudson
Produksi: Miramax Film

Kisah ini dimulai ketika hampir seluruh kulit muka bumi ini dikuasai oleh Kerajaan Britania Raya pada 1880-an, ketika chauvinism, kegagahan, dan kejantanan identik dengan pembelaan negara dan sang Ratu. Syahdan, tentara Inggris terpukul nun di Gurun Sahara di Sudan oleh kelompok Mahdi (yang dalam film ini disebut sebagai "kelompok Islam fundamentalis"). Maka tentara kerajaan segera diminta memperkuat pasukannya dalam waktu sepekan. Saat semua tentara kerajaan bersorak riuh rendah menyambut "peperangan untuk pengabdian itu," hanya Harry Faversham (Heath Ledger) yang tak kunjung bahagia dengan pengumuman mendadak itu, karena "apa urusannya negara di Afrika dengan Kerajaan Inggris?" Kegundahannya memuncak karena sesungguhnya Harry sudah berniat menikah dengan kekasihnya, Ethne (Kate Hudson).

Hanya beberapa hari sebelum keberangkatan, Harry mengundurkan diri dari barak. Tindakannya membuat ketiga kawan dekatnya terkesima. Ia tampak seperti seorang prajurit pengecut yang senewen untuk maju ke medan perang yang sesungguhnya. Sang kekasih yang jelita pun menunjukkan kekecewaan yang mendalam atas keputusan Harry. Maka ketiga teman Harry dan Ethne mengirim empat helai bulu angsa. Ini adalah sebuah penghinaan terdalam bagi seorang prajurit. Bulu angsa itu adalah simbol bahwa pemiliknya seorang pengecut. Sang ayah, jenderal pasukan kerajaan, bahkan memutuskan hubungan dengan anaknya. Keempat helai bulu itu kemudian mendorong Harry menyusul teman-temannya ke tengah kecamuk peperangan di tengah gurun itu.

Film yang diangkat berdasarkan novel karya A.E.W. Mason (1902) ini adalah sebuah pembuatan ulang ketujuh. Terinspirasi oleh periode kampanye kontroversial militer Inggris terhadap kelompok muslim fundamentalis di kawasan Afrika—termasuk arahan sutradara Zoltan Kolda pada 1939—kali ini Shekhar Kapur "merevisi" pandangan "konservatif" dan "rasialis" abad silam itu dengan memunculkan tokoh Harry yang mempertanyakan kebijakan Kerajaan Inggris terhadap ambisi ekspansi negaranya (meski sikap kritis itu berakhir pada pertanyaan belaka).

Shekhar Kapur, sutradara Inggris keturunan India yang berhasil menyabet perhatian dunia melalui film Elizabeth yang luar biasa itu, jelas memperoleh dilema: apakah film ini akan menjadi sebuah film yang berupaya memiliki sikap politically correct (dengan mengkritik dan mempertanyakan semua kebiadaban dan kezaliman "Barat" terhadap negara jajahannya dan mereka yang berada di luar lingkaran kulit putih dan Kristen) atau sekadar kisah cinta segitiga antara Harry, Jack Durrant (Wes Bentley), dan Ethne? Hingga akhir film, Kapur tak mampu memutuskan. Dan akhirnya film ini menjadi sebuah film yang tanggung.

Kita tak tahu pergulatan batin Harry hingga mendadak dia sudah muncul di Sudan; kita juga tak diyakinkan bagaimana Ethne dapat membuat kedua sahabat itu bisa saling berkorban. Lebih mengecewakan lagi, di antara akting Heath Ledger dan Wes Bentley yang cemerlang, Kate Hudson tampil mengecewakan: tanpa nyawa dan dungu. Sulit membayangkan dia adalah aktris yang sama yang tampil begitu meyakinkan dalam film Almost Famous arahan Cameron Crowe.

Untung saja adegan-adegan di Sahara—yang memakan hampir setengah dari durasi film ini—merupakan adegan kolosal yang begitu luar biasa hingga mencuri seluruh napas dan jiwa dari tubuh kita. Peran Abou Fatma yang disajikan oleh Djimon Hounsou sebagai pemandu Harry yang setia selama di kawasan peperangan di gurun kemudian mendadak menghapus dahaga. Dia pun menjadi pencuri panggung. Harry dan rekan-rekan "bule"-nya itu kalah aura. Hounsou, aktor yang tampil dalam Amistad arahan Steven Spielberg, kali ini menjadi meteor.

Dengan segala kelemahan minor film ini, Kapur—seperti sutradara muda generasi 2000-an—tentu seorang sutradara yang pasti merevisi kecenderungan hitam-putih sosok-sosok dalam novel ataupun film di abad silam. Ini dilakukan dengan subtil dan sekaligus tanggung. Karena itu, film ini tak jadi menyentuh, meski Ledger telah tampil dengan sangat baik.

Leila S. Chudori

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus