Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Bisnis Sepekan

10 Oktober 1999 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

’Long Form’ PwC Dibuka, Isinya….

BANYAK pertanyaan seputar long form hasil audit PricewaterhouseCoopers tentang skandal Bank Bali yang diumumkan awal pekan ini. Pertanyaan itu: mengapa Satrio Billy Judono, Ketua Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), harus begitu ngotot tak mengumumkannya, padahal tak ada nama-nama baru di sana? Billy perlu sebuah fatwa Mahkamah Agung untuk akhirnya menyerahkan long form yang tak mengejutkan sama sekali itu ke DPR.

Dibandingkan dengan versi pendek (short form) yang sudah beredar luas, long form PwC intinya tak jauh berbeda. Dalam bagan aliran uang—entah sudah dibersihkan atau memang demikian aslinya—tidak tercatat nama-nama pejabat penting yang dikabarkan kebagian transfer uang dari skandal bernilai Rp 904 miliar ini.

Memang, ada ’’muka baru” penerima transfer yang selama ini belum pernah diungkap. Misalnya, seorang staf Menteri Koordinator Kesejahteraan Rakyat dan Pemberantasan Kemiskinan, yang menerima transfer senilai Rp 1 miliar dari PT Ungaran Sari Garment. Perusahaan milik Marimutu Manimaren itu adalah rantai ketiga dari Rp 120 miliar dana yang sebelumnya mengalir dari Bank Bali ke PT Era Giat Prima. Melalui Ungaran Sari ini pula, seorang mantan ketua Serikat Buruh Seluruh Indonesia dicatat menerima transfer Rp 1,95 miliar. Lalu, ada mantan anggota MPR dan petinggi Golkar yang menerima transfer Rp 920 miliar dari Marimutu Manimaren.

Namun, bagan aliran uang long form ini masih belum bercerita banyak. PWC mengaku tak bisa menembus berbagai tembok pembuktian. Alhasil, tak bisa diketahui apa motif aliran uang yang dilacak PwC itu. Bisa jadi, transfer yang diterima adalah pembayaran utang-piutang yang dibuat dua pihak sebelumnya. Pengusaha Enggartiasto Lukito, misalnya, tercatat menerima transfer Rp 10 miliar dari PT EGP. Tetapi, menurut pengakuan Enggar, uang tersebut adalah ongkos saham Hotel Mulia milik Enggar, yang dibeli Djoko S. Tjandra, pemilik PT EGP.

PWC juga mengaku tak bisa mengakses bank-bank yang menerima aliran dana dari EGP. Alasannya, rekening penerima tak bernama jelas dan tertutup untuk pelacakan. Siapa penerima dan ke mana lagi uang mengalir tak bisa diketahui. Begitulah, long form PWC yang ditunggu-tunggu ternyata belum menguak lebar skandal perbankan terbesar di Indonesia itu.


 Akhirnya Mas Tommy (Janji) Bayar Utang

Ini kisah satu perusahaan kroni Soeharto yang nasibnya ’’ngap-ngapan” di zaman reformasi. Pekan lalu, akhirnya Grup Humpuss berjanji untuk membenahi timbunan utang macetnya. Sebuah memorandum kesepakatan antara Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) dan PT Humpuss telah diteken. Total utang Humpuss yang dibenahi adalah Rp 167 miliar, US$ 307 juta, dan 12 juta ringgit Malaysia. Utang yang membelit delapan anak perusahaan Humpuss ini berasal dari delapan bank yang sudah berstatus bank take over (BTO) dan bank beku kegiatan usaha (BBKU).

Menurut Glenn M.S. Yusuf, pemilik Grup Humpuss, Hutomo ’’Tommy” Mandala Putra siap menyelesaikan utang dengan cara bayar kontan (cash settlement) plus pembayaran dengan aset (asset settlement). Uang kontan yang akan dibayarkan adalah Rp 66 miliar. Sedangkan aset yang diserahkan —antara lain dari Humpuss Patragas dan Humpuss Terminal Peti Kemas— senilai Rp 101 miliar. Bagaimana dengan perusahaan kroni Soeharto yang lain?


 Pabrik Sepatu Olahraga itu ’Berpenyakit’

KANTOR pusat perusahaan sepatu Reebok di Amerika ’’menonjok” cabangnya di Indonesia. Mengapa? Laporan terbaru Reebok, pabrik pakaian atlet di New York, AS, menunjukkan ketidakberesan pada pabriknya di Indonesia. Kondisi kesehatan yang payah, keamanan yang kurang, upah minimal, dan timpangnya karir karyawan pria-wanita adalah beberapa ’’penyakit” dua pabrik pemegang lisensi Reebok di sini, yaitu PT Done Joe Indonesia dan PT Tong Yang Indonesia.

Sesuai dengan penyelidikan yang dikerjakan konsultan Insan Hitawasana Sejahtera, ventilasi di kedua pabrik yang mempekerjakan sekitar 10.000 pekerja ini sama sekali tidak memadai. Akibatnya, berbagai senyawa beracun memenuhi udara ruangan dan membuat para karyawan mengeluh gampang pusing, gugup, dan menderita bercak-bercak merah pada tangan. Di bagian lain, dilaporkan ada 69 pekerja yang otot punggungnya selalu terasa nyeri. Setelah diusut, sumber nyeri terletak pada kursi kerja yang tidak dilengkapi sandaran.

Pekerja perempuan—yang jumlahnya 80 persen—ternyata tidak menikmati fasilitas dan jenjang karir setara dengan pekerja laki-laki. Posisi supervisor, misalnya, 70 persen ditempati pekerja laki-laki. Reebok Amerika melaporkan bahwa manajemen pabrik di Indonesia beralasan, pekerja perempuan sering absen karena harus mengurus keluarga.

Apa tindakan sang juragan Reebok Amerika? Mereka akan mengambil alih pengelolaan pabrik di sini. ’’Kami juga akan memperbaiki fasilitas dan meningkatkan kesejahteraan pekerja,” kata Doug Cahn, petinggi Reebok untuk urusan hak asasi pekerja. Reebok tentu saja tak mau bernasib seperti Nike Inc. Perusahaan sepatu olahraga ini, dua tahun lalu, memanen kritik hebat karena terbukti meremehkan hak-hak pekerja.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus