Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
DISCOVERY JAPAN | ||
Pameran Foto | ||
Karya Seno Gumira Ajidarma | ||
Tempat | : | Pusat Kebudayaan Jepang |
FAJAR masih terlelap dalam pelukan malam. Saat itu masih pukul 04.00 subuh. Sastrawan Seno Gumira Ajidarma sudah berkeliaran di Pasar Ikan Tsukiji, Tokyo, dan bergerak lincah di antara traktor kecil yang lalu-lalang membawa ikan raksasa. Dengan membiarkan perasaannya, Seno mengatur langkah, menangkap imaji begitu optik nalurinya memutuskan sesuatu harus dipotret. Selanjutnya hanya getar shutter yang terdengar, merekam itu semua.
Pria kelahiran Boston ini, sadar atau tidak, sudah masuk dalam denyut kehidupan bangsa Jepang tepat di jantungnya. Lima foto dari Pasar Ikan Tsukiji bisa kita nikmati dalam pameran foto perdananya ''Discovery Japan", di Galeri Mini Pusat Kebudayaan Jepang, hingga akhir pekan silam. Tiga puluh dua koleksi lainnya adalah jejak selanjutnya dari pencaharian Seno di lubuk Negeri Matahari Terbit itu. Atas undangan Japan Foundation untuk menerima Takeshi Kaiko Memorial Award plus sejumlah ceramah dan talk show yang sangat protokoler yang memenuhi skedul yang padat di Tokyo, Osaka, Kyoto, dan Hiroshima, Seno berupaya menyeruak dari sela-sela cengkeraman waktu itu. Dia merekam denyut Jepang yang masuk seleksi matanya dan merepresentasikannya frame demi frame.
Dari sekitar 35 rol film baik berwarna maupun hitam-putih, Seno menjadi seorang ''shutter-happy". Ia panik, seolah imaji dilihatnya bakal lenyap tertelan memori baru. Maklum, Seno seorang wartawan dan juga mengajar di Institut Kesenian Jakarta. Di kota tua Nara, dia bukan memotret patung atau kuil, yang sudah menjadi aikon klasik, tapi bongkahan tanah dan retakan tembok. Foto-foto itu mengemukakan maknanya setelah terhidang di ruang galeri. ''Dia mampu menghadirkan apa yang kami rasakan sebagai orang Jepang, yang sehari-hari kami melihatnya tapi tidak pernah memberinya kesempatan untuk tersimpan dalam arsip otak kita," komentar Direktur Pusat Kebudayaan Jepang, Nizida Kazumasa, di antara denting gelas minuman tamu pembukaan.
Penelusuran Seno tetaplah sebagai karya keseharian suatu representasi yang muncul dari nalurinya sebagai wartawan. Simak paradoks urban-rural dalam foto Gagasan Payung di Tempat Penitipan, Tokyo, yang kosmopolis tapi keras. Dia menonjolkan gembok yang mengunci gagang-gagang payung di tempat penitipan. Bandingkan dengan Wanita Berpayung dalam Gerimis, Miyajima, yang soliter tapi magis. Kita bisa merasakan suasana kesendirian yang menyejukkan, kebebasan dalam sebuah sistem, saat seorang perempuan berkimono memakai payung melangkah di antara kabut dan gerimis di lorong senyap Miyajima, suatu pulau terpencil yang kondisi alamnya dijaga ekstraketat. Seno juga menyajikan sejumlah karya puitis; sebut saja Sendal Senja, Kyoto, yang romantik, Air Menetes di Palung, Kyoto, yang sakral, dan Sepotong Jalan di Vemo, Tokyo, yang terhampar seperti tak berujung.
Seno tampaknya sengaja membiarkan karya-karyanya mengalir seperti bahasa yang selalu bercerita bagai sejumlah karya sastra yang tergores dari penanya. Seno sadar dan sepenuhnya meletakkan subyektivitas sebagai landasan. Maka, ''Discovery Japan" memperoleh rohnya. Dia meletakkan titik api lensanya menjadi subyek yang aktif. Itu sebabnya deretan ember merah di belakang kuil yang paling sakral di kota tua Kyoto, Ryoanji, termasuk koleksi yang dipamerkannya. Foto itu bersandingan dengan (tentu) batu suci yang kerap kita lihat di kartu pos yang dijajakan di kios suvenir Stasiun Kanda, Tokyo.
''Saya memotret apa yang saya pandang. Orang-orang memandang apa yang saya pandang. Pandangan orang tentang pandangan saya adalah suatu proses kebudayaan. Maka, sebuah foto pun mendapatkan maknanya," tutur Seno, berseloroh. Kendati dengan rendah hati ia mengaku belum mampu mengeksploitasi aspek artistik sebuah foto, sejumlah karya Seno tetaplah suatu karya dari anugerah 'talenta melihat" seperti yang dimiliki koreografer Sardono Kusumo. ''Discovery Japan" bukan sekadar sedap dipandang mata. Tapi karya itu menjadi lebih berarti karena Seno berani memberi substansi pada isi ketimbang menjunjung tinggi urusan teknis. Akibatnya, dia memang tampil sederhana, tapi sekaligus membuatnya kuat.
Oscar Motuloh
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo