Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Permata Terakhir itu Terlepas Juga

Liem Sioe Liong benar-benar check-out dari Indonesia. Indocement Tunggal Prakarsa, permatanya yang masih tersisa, akhirnya dijual juga kepada investor asing.

10 Oktober 1999 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

BAGI Liem Sioe Liong, Indocement bukan sekadar pabrik semen. Perusahaan yang dibangun atas permintaan Presiden Soeharto pada 1970-an itu merupakan salah satu cikal bakal usaha Salim Group. Melalui Indocement pula, Om Liem berkibar sebagai salah satu raja semen dunia. Tapi, betapapun penting posisi dan riwayatnya saat itu, Indocement kini tak lebih dari divisi usaha biasa. Buktinya, pertengahan bulan lalu, Salim Grup meneken perjanjian penjualan Indocement kepada produsen semen terbesar ketiga dunia, Heidelberger Zement AG. Melalui perjanjian ini, Heidelberger punya opsi pertama membeli saham Salim di Indocement, kelak setelah pabrik semen terbesar kedua Indonesia itu merestrukturisasi utangnya. Jika memakai patokan harga akhir pekan lalu, 64 persen saham Salim di Indocement (20 persen di antaranya diagunkan ke pemerintah) akan mengalirkan sedikitnya Rp 3 triliun ke kantong Salim. Menurut jadwal, pengalihan Indocement dari Salim ke raksasa Jerman itu akan dilakukan akhir tahun nanti. Jika Indocement benar-benar jatuh ke Heidelberger, aset besar milik Salim di Indonesia praktis tak bersisa lagi. Pundi-pundi Salim yang paling berharga, yakni Bank Central Asia (BCA), sudah diserahkan kepada pemerintah, Agustus tahun lalu, gara-gara tak kuat membayar utang. Enam bulan kemudian, Salim harus pula menjual 40 persen sahamnya di produsen mi terbesar dunia, Indofood Sukses Makmur, kepada First Pacific dari Hong Kong. Dengan lepasnya kedua permata itu, Indocement merupakan satu-satunya permata Salim yang terakhir. Betul, di atas kertas, Salim masih memiliki pabrik perakitan mobil Indomobil Sukses Internasional. Tapi, perusahaan yang mengageni penjualan mobil Suzuki, Volvo, dan Nissan Diesel ini sebagian besar sahamnya sudah diagunkan Salim untuk membayar utang-utangnya kepada pemerintah. Lagi pula, Indomobil sedang ditawar Ford Motor, raksasa mobil dari Amerika Serikat. Sejumlah analis pasar keuangan yakin, aksi penjualan sejumlah aset gemuk ini merupakan strategi Salim mengurangi kekayaannya di Indonesia. Om Liem, yang kini tinggal di luar negeri setelah rumahnya di Jakarta diserbu para perusuh beberapa hari sebelum Pak Harto lengser, menurut keyakinan para analis tengah ringkes-ringkes, memboyong aset-aset yang bisa diselamatkannya ke luar negeri. Sejak Presiden Soeharto jatuh, posisi Salim di Indonesia memang rawan. Maklum saja, Om Liem telah menjadi simbol bisnis perkoncoan selama 32 tahun masa Orde Baru. Sebagai konglomerat yang menikmati kedekatan politik dengan Soeharto, Salim gampang menjadi sasaran empuk semangat pengganyangan praktek-praktek kolusi dan perkoncoan. Karena nasib usahanya tak pasti, "Salim memilih boyongan," kata seorang analis di pasar modal. Caranya, Salim menjual aset-aset di Indonesia kepada perusahaan di luar negeri yang juga dikuasainya. Dengan jurus ini, Salim tidak kehilangan kendali aset-aset itu. Penjualan Indofood ke First Pacific, misalnya, praktis tak mengalihkan kendali Salim atas pabrik mi terbesar dunia itu. Soalnya, 54 persen saham perusahaan Hong Kong itu dikuasai Om Liem dan konco-konconya. Tapi, apakah penjualan Indocement juga merupakan bagian dari strategi besar itu? Entahlah. Sebagian analis memang percaya, divestasi Indocement setali tiga utang dengan aset Salim yang lain. Tapi spekulasi ini tampak kurang memiliki dasar argumentasi. Soalnya, hingga saat ini belum ditemukan bukti-bukti bahwa Salim ikut mendompleng Heidelberger dari belakang. Juga belum ada petunjuk, Salim bermaksud mengalihkan kepemilikannya dari Indocement untuk menguasai pabrik semen lain di luar negeri. Sejauh ini, penjualan Indocement agaknya merupakan strategi Salim mengurangi beban pinjaman. Perusahaan yang menguasai 34 persen pasar semen domestik itu kini menanggung beban utang US$ 1,1 miliar kepada sindikasi bank internasional dan Marubeni. Untuk menghindari vonis default (tak bisa bayar), Indocement kini tengah berupaya mengulur masa pelunasan utang, syukur-syukur mendapat diskon utang alias haircut. Di sinilah Heidelberger diharapkan bisa mendongkrak posisi tawar Indocement. Dengan beking modal yang kuat dan reputasi yang mendunia, raksasa Jerman itu bukan cuma ikut melobi para kreditur. Lebih dari itu, Heidelberger juga mampu menanggung injeksi modal agar beban utang Indocement menjadi ringan. Sayang sekali, restrukturisasi utang bukan jaminan untuk mendongkrak kinerja Indocement. Di luar soal utang, industri semen Indonesia juga didera anjloknya tingkat permintaan di pasar lokal. Ada yang berharap, masuknya Heidelberger akan memompa daya saing Indocement di pasar ekspor, seperti yang dilakukan Cemex Meksiko ketika membeli saham Semen Gresik. Tapi, David Chang, Kepala Riset Trimegah Securities, yakin bahwa masuknya Heidelberger bukan mau menggenjot ekspor, tapi justru sebaliknya, untuk menancapkan kuku Indocement lebih kuat lagi di pasar domestik. Menurut analis industri semen regional dari Merrill Lynch Filipina, Alfred Dy, satu-satu cara bagi industri semen untuk mencetak duit adalah dengan mendekati pasar (lihat boks). Kendati ada lompatan ekspor semen yang cukup besar, para analis menilai pasar asing cuma berupaya agar bertahan hidup. "Untungnya sangat mepet," kata seorang analis. Repotnya, tamparan krisis dua tahun terakhir telah mencekik permintaan semen. Analis industri semen Bahana Sekuritas, Ella Nusantoro, menaksir hingga beberapa tahun ke depan, permintaan lokal akan tetap rendah. Taksiran kasar menyebut, konsumsi semen nasional tahun ini tak lebih dari 20 juta ton. Padahal, kapasitas produksi semen Indonesia sampai 47 juta ton. Jika permintaan naik 15 persen setahun, diperlukan waktu lima tahun agar permintaan bisa mengimbangi pasokan. Dengan gap pasokan dan permintaan yang lebar, mestinya pabrik semen seperti Indocement tak bisa dijual mahal. Tapi, dengan minat asing begitu meluap, Salim agaknya bisa berharap lebih banyak.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus