Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Bisnis Sepekan

12 September 1999 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Rebutan Dana Miyazawa Plan

Punya proyek macet? Barangkali inilah saatnya Anda melobi Menteri Ginandjar Kartasasmita. Diam-diam, Menteri Negara Ekonomi, Keuangan, dan Industri itu sedang menyusun sejumlah proyek yang layak mendapatkan pinjaman lunak dari Miyazawa Plan tahap kedua.

Miyazawa Plan merupakan nama umum paket pinjaman yang diberikan Jepang (dari Kantor Menteri Keuangan Keiichi Miyazawa) untuk membantu Asia keluar dari krisis. Tokyo telah menyediakan sekitar US$ 30 miliar untuk keperluan itu. Sebelum ini, Indonesia telah menjala US$ 2,4 miliar, walaupun belum semuanya dicairkan.

Untuk paketnya yang kedua ini, Jepang, seperti biasa, meminta Indonesia membuat usulan proyek yang akan didanai. Semula, ada empat kategori proyek urgen yang diusulkan. Misalnya rekapitalisasi bank, pembiayaan perdagangan, dan proyek-proyek yang macet di tengah jalan (non-final project). Proyek pembangkit listrik Tanjung Jati B, yang kabarnya sudah jalan sampai 60 persen, misalnya, disebut-sebut sebagai salah satu proyek yang dijagokan untuk mendapatkan pinjaman lunak ini.

Semula, Kantor Menteri Ginandjar mengajukan pinjaman lunak untuk pendanaan tiga proyek raksasa. Yaitu, pemipaan gas dari Sumatra Selatan ke Jawa Barat (proyek milik PN Gas), proyek mass rapid transportation (MRT) alias subway di Jakarta, yang akan dibangun konsorsium Bakrie, dan proyek rel ganda Jakarta-Surabaya. Pengajuan ketiga proyek ini secara halus dipertanyakan oleh Jepang. Alasannya, proyek-proyek itu baru dalam tahap studi kelayakan. ”Bahkan, amdalnya pun belum ada,” kata sumber TEMPO. Untuk itu, Jepang meminta agar tim Ginandjar menambahkan sejumlah argumen teknis dan ekonomi mengapa proyek-proyek itu yang harus didanai.

Seperti tak peduli dengan ”tampikan” halus itu, Menteri Ginandjar maju terus. Selain menjelaskan posisi ketiga proyek itu, Pak Menteri menambahkan enam proyek baru. Yakni, lima seksi jalan tol lingkar luar Jakarta plus Tol Kalimalang; proyek jaringan rel terpadu dalam kota di Jakarta, saluran pengendali banjir di Kaligarang, Semarang; jaringan interkoneksi listrik Jawa-Bali, sejumlah proyek jalan layang di Jakarta dan Bogor, serta pembelian listrik Tanjung Jati B.

Bagaimana hasil upaya Ginandjar, tak jelas betul. Yang pasti, ada satu atau dua proyek yang sudah diberi lampu hijau. Salah satunya, pembelian pabrik listrik Tanjung Jati B. Menurut Direktur Utama PLN, Adhi Satriya, pemerintah sudah mendapat persetujuan awal pinjaman lunak senilai US$ 1,15 miliar. Pinjaman berbunga satu persen setahun ini berjangka waktu 40 tahun dengan pembayaran cicilan pokok dimulai pada tahun ke-11. Empuk bagi Tanjung Jati B, memang. Tapi, bagi proyek-proyek lain, lobi pinjaman Miyazawa tetap saja alot.

Melihat kealotan ini, Kantor Menteri Ginandjar kabarnya kini sedang menyusun daftar proyek baru. Nah, jika Anda punya proyek yang memiliki dampak ekonomi skala nasional dan kini sudah setengah jalan, ada baiknya melobi Pak Ginandjar. Siapa tahu rezeki Miyazawa nomplok ke tangan Anda.

 Gegar Telekomunikasi

Selama sepekan terakhir, PT Telekomunikasi Indonesia (Telkom) jadi ”bintang” di pasar modal. Bukan cuma karena harga sahamnya pelan-pelan kembali merayap naik. Lebih dari itu, pengelola jasa telekomunikasi terbesar Indonesia itu begitu banyak memberi kejutan kepada investor.

Pertama, soal tambahan modal. Tanpa ujung pangkal, tiba-tiba manajemen Telkom membatalkan rencananya menambah modal. Pembatalan ini sebenarnya disambut baik oleh investor karena tak perlu mengeluarkan dana ekstra untuk mempertahankan saham. Tapi, manajemen dinilai tak memberikan solusi: bagaimana Telkom akan membiayai rencana ekspansinya, kelak?

Investor tambah terkejut ketika Direktur Utama Telkom, A.A. Nasution, menolak rencana pemerintah mencari partner strategis. ”Kalau mau jual saham, langsung saja ke pasar, tak perlu cari partner,” katanya. Menurut Nasution, partner asing hanya membawa Telkom sebagai kendaraan usaha, untuk mencari untung semata, tanpa memikirkan kepentingan bangsa yang lebih luas. Apa itu kepentingan yang lebih luas? Nasution tak memberi keterangan lebih rinci.

Padahal, partner asing semula diundang pemerintah untuk mendongkrak Telkom. Maksudnya, agar mampu bersaing di pasar internasional, baik dari segi teknis maupun finansial. Jika Telkom mau berekspansi, misalnya, pemerintah punya partner yang tangguh untuk menyetor modal.

Belum habis kekagetan investor, bom sudah dijatuhkan lagi. Kali ini Nasution ”membuka” info soal rencana perkawinan Telkom dengan Indosat. ”Kapan saja merger itu bisa digelar,” katanya.

Sebenarnya, ini bukan kabar baru. Rencana merger kedua raksasa telekomunikasi itu sudah bertiup lama. Tapi, belakangan, beberapa pengamat menyatakan keberatan karena merger ini akan mengurangi tingkat efisiensi industri jasa itu dan akhirnya merugikan konsumen. ”Posisi tawar konsumen lemah karena tak punya pilihan lain,” kata bekas dirut Telkom, Setyanto P. Santosa. Ia menambahkan, merger kedua BUMN ini justru mematikan persaingan. Langkah yang lebih tepat, kata Setyanto, justru sebaliknya. Telkom mestinya dibolehkan memasuki bisnis sambungan langsung internasional, spesialisasi Indosat selama ini. Sebagai imbangan, Indosat diizinkan mengelola sambungan lokal. Kalau perlu, untuk menambah ramainya kompetisi, pemain baru seharusnya juga dibiarkan masuk. ”Jadi, mengapa malah merger?” ujarnya.

Dengan pelbagai kejutan bak tikungan roller coaster itu, bagaimana sikap para pemodal? Alhamdulillah, baik-baik saja. Sebuah kantor riset perusahaan sekuritas lokal malah tetap menjagokan saham Telkom agar diborong. Sebagai bukti, harga saham perusahaan ini terus merayap naik.

Tapi, seorang penasihat investasi yang lain menyatakan kenaikan harga saham Telkom ini harus dicermati dari banyak segi. Misalnya, kenaikan ini bisa saja sebagai pantulan setelah harga saham Telkom terperosok cukup dalam beberapa pekan terakhir. Selain itu, seiring dengan gejolak nilai tukar rupiah, mungkin saja harga saham Telkom dipengaruhi naik-turunnya perdagangan arbitrase antara bursa Jakarta dan bursa New York. Jadi, hati-hati saja.

  Pasar Terbuka dalam Badai Keuangan

Ini berkah atau kutukan? Entahlah. Yang pasti, pertemuan petinggi negara-negara Asia-Pasifik di Auckland, Selandia Baru, yang berakhir Senin ini tak melahirkan kesepakatan yang nyeleneh. Sebuah deklarasi yang mendukung kemakmuran luas memang telah diteken, tapi itu tak mengubah niat para pemimpin untuk berada dalam semangat pasar terbuka. Singkat kata, ide-ide perdagangan bebas tetap tak tergoyahkan.

Sejumlah langkah penting malah akan dipercepat. Misalnya, pembenahan lembaga keuangan, penekanan ongkos pelayanan publik, pemangkasan birokrasi untuk memacu kemudahan berusaha, peningkatkan stabilitas finansial, penyebarluasan perkembangan teknologi dalam produksi pangan, dan lain-lain. Khusus produk pertanian, para pemimpin sepakat menggelar perundingan yang lebih komplet. Di sana, aturan mengenai subsidi, harga komoditi, dan pembatasan impor akan dibuat lebih rinci.

Di tengah badai pergerakan modal yang supercepat, semangat pasar terbuka bisa melahirkan konsekuensi sulit. Memang betul, perekonomian akan lebih efisien. Konsumen juga bisa menikmati barang dengan harga yang adil. Tapi pergerakan barang hanya ke tempat-tempat dengan daya beli tertinggi bukan mustahil akan menimbulkan gejolak serius. Contoh gampang: pelahap minyak goreng di Gunungkidul bukan cuma harus membayar harga sama mahal dengan konsumen di New York, tapi juga harus bersiap-siap kehilangan minyak jika perekonomian Amerika terus menanjak sedangkan Indonesia terbenam dalam resesi. Tanda-tanda kekhawatiran seperti itu sudah mulai tampak, justru dari Amerika.

Beberapa hari setelah sidang APEC dibuka, Menteri Perdagangan AS, William Daley, mengakui terancamnya posisi dagang AS. Soalnya, selisih pertumbuhan ekonomi AS dengan negara-negara yang terkena krisis terlalu lebar. Akibatnya, warga AS terlalu banyak ’’makan” barang impor. Buntutnya: neraca dagang AS defisit luar biasa.

Karena tekanan ini, para ahli hukum AS bahkan telah mendesak Clinton untuk membangun benteng pertahanan guna menahan laju impor. Karena lobi politik pengusaha yang begitu kuat, akhirnya Clinton melarang impor baja, domba, dan beberapa mata dagangan lain. Ini tentu saja menimbulkan protes keras dari negara-negara Eropa dan sejumlah anggota APEC.

Untuk menggelar pasar terbuka, kata Daley, daya beli dan permintaan konsumen di negara-negara di luar AS harus didongkrak habis-habisan. Pertumbuhan harus dipompa lebih kencang. Ini mustahil dilakukan jika negara-negara itu terus berada dalam krisis: mata uangnya dijegal jungkir balik tak keruan.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum