Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Seni

Kontrasnya Dua Dunia Manusia

Dua fotografer berpameran bersama. Masing-masing menyajikan simbol-simbol dunia manusia dengan cara pandang yang berbeda. Keduanya terasa mengetuk hati.

12 September 1999 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

MUNGKIN lelaki tua itu ingin sekali berdiri tegap di samping lukisan bambu burung Garuda Pancasila. Namun, sosoknya yang kurus, dengan tulang-tulang menonjol di sekujur tubuh, membuat posisi berdirinya terlihat tak sempurna. Toh, di depan rumah kayunya yang kusam, sorot mata lelaki itu tak bisa menyembunyikan sebuah kebanggaan bersanding dengan lambang republik ini.

Foto hitam-putih yang berjudul Manusia Pancasila, hasil rekaman Rama Surya, itu belum tentu menarik perhatian kalau lelaki tua itu tidak berada di kawasan Kedungombo, Jawa Tengah. Kita mafhum, semasa rezim Orde Baru, penduduk daerah ini termasuk yang sulit ditaklukkan pemerintah. Pembangunan waduk di sana berbuah masalah. Mereka pun dicap antipembangunan dan makian lain yang lazim terungkap saat Soeharto masih berkuasa. Tak aneh jika tajuk yang diberikan Rama untuk fotonya itu terasa menghunjam.

Manusia Pancasila hanyalah satu dari 18 foto karya pria kelahiran Bukittinggi, Sumatra Barat, 2 November 1970, yang dipamerkan bersama fotografer asal Jerman, Sigrun Janiel, di Galeri Milenium, Plaza Golden, Jakarta, pekan silam. Pameran foto kedua fotografer itu memang sarat dengan simbol-simbol hidup manusia dalam kacamata yang berbeda.

Rama Surya, yang pernah meraih penghargaan Fotograf des Jahres '97 dari majalah foto Magazin, Jerman, itu menyajikan tema "Mencari Wajah Sang Pembebas". Foto-foto jurnalistik yang banyak diambil di beberapa lokasi di Yogyakarta itu hanya sebagian dari karya yang akan dibawa dalam pameran tunggalnya "1999: Transformation of Symbols", Februari sampai Maret tahun depan di Zurich, Swiss. Karya-karya Rama yang terbaru ini merekam dinamika dan kegelisahan sosial setelah runtuhnya pemerintahan Orde Baru. Foto-fotonya bercerita tentang suasana kampanye pemilihan umum, demonstrasi yang dilakukan mahasiswa, hingga kehidupan kaum alit di beberapa pojok jalan di Yogyakarta.

Salah satu foto Rama yang cukup mengusik perhatian adalah tampilnya Joko Pekik, perupa yang sempat dicap "kiri" hanya karena dia pernah ikut Lekra, di depan salah satu lukisan karyanya. Rama memberikan judul Joko Pekik Berburu Celeng. Tajuk foto itu, menurut Rama, merupakan penggambaran suasana euforia usai berakhirnya kekuasaan Soeharto. Celeng atau babi yang berhasil ditumbangkan itu simbol kejatuhan Soeharto. Sedangkan sosok Joko Pekik dalam fotonya itu, "seakan menggambarkan dia tengah memimpin pesta tersebut," tutur Rama.

Melalui foto-fotonya yang sarat simbol-simbol dalam bahasa kontekstual dengan tema-tema aktual dalam kehidupan sosial dan politik itu, Rama menekankan pada pencarian datangnya sosok pembebas alias sang Ratu Adil. Tema semacam ini tentu belum beranjak jauh dari kecenderungan Rama untuk meneropong kaum marginal, seperti yang sering dilakukannya. Salah satu pameran, yang juga direkam dalam buku "Yang Kuat yang Kalah" pada 1996 lalu, memperlihatkan konsistensi Rama dalam perhatiannya terhadap rakyat kecil yang dikalahkan oleh kekuasaan. Dinamika sosial dalam karya Rama Surya, seperti yang dituturkan kurator Hendro Wiyanto, menunjukkan perjalanan fotografi Indonesia yang sudah jauh sejak Kassian Cephas, yang dianggap sebagai peletak fondasi awal seni fotografi di Indonesia seabad silam, yang menggambarkan citra kehidupan aristokratis di dalam keraton.

Sementara itu, Sigrun Janiel, fotografer yang lahir di Munchengladbach, Jerman, 9 Juli 1952 itu, dengan cara menyalin ulang dan meng-copy kenyataan yang ada berupaya berbicara melalui simbolisasi dengan materi utama serangkaian manekin sebagai obyek. Foto-foto yang ditampilkannya merupakan pengembangan gagasan "fotografi subyektif"—sebuah arus fotografi yang lahir dan berkembang setelah 1945 di Jerman. Sigrun juga menggabungkan karyanya dengan teks-teks puisi dari penyair Inggris, Erich Fried. Alhasil, sebanyak lima belas buah foto hitam-putih "Gambar Copy-Gambar Simbolis" itu bercerita lirih. Simbol hidup manusia yang terekam dengan baik dalam nuansa kemuraman dan kebisuan.

Salah satu foto yang bisa diketengahkan adalah Gambar Copy-Gambar Simbolis 15, yang menampilkan rekaman sebuah manekin dibungkus plastik, duduk di antara dua buah manekin lainnya. Di bawah foto itu tertulis puisi Erich Fried yang dicuplik dari buku Zur Zeit und Zur Unzeit, yang berjudul Zaman Kita: /pikiran-pikiran/ menghapus pikiran/pasti merintis zaman baru. Zaman adalah saat manusia menghapus manusia/.

Hendro Wiyanto, sang kurator, menyebut karya Sigrun adalah representasi simbolisme, tempat kedalaman perasaan subyek menemukan kesejajarannya di dalam proyeksi obyek-obyek yang ditemuinya. "Sigrun menggunakan manekin sebagai simbol manusia secara metafisika," tutur Hendro.

Pilihan tema yang disodorkan dua fotografer itu terasa kontras, dan ternyata itu memang sengaja dilakukan Hendro sebagai kurator. Semula, karya Sigrun itu akan diduetkan dengan karya Rama yang lain, yakni Manusia Arang, yang berkisah tentang kebakaran hutan. Tapi, karena tema semacam itu dianggap sebagai hal biasa, terlebih setelah dia melihat foto-foto setahun terakhir Rama yang tinggal di Yogyakarta, Hendro berpikir lain. "Saya pikir keduanya berbicara tentang manusia. Yakni, pada visi dalam dan luar manusia. Kalau ditampilkan secara kontras, saya pikir lebih menarik daripada analogi," ucapnya. Dengan penampilan kontras dua fotografer—yang sama-sama berlatar belakang foto jurnalistik—pameran ini membuat wilayah foto jurnalisme menjangkau wilayah yang jauh lebih luas daripada sekadar hasil rekaman momen berdarah atau peluru berdesing.

Irfan Budiman

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus