Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Amerika Beri Moratorium Utang
Amerika Serikat menjadi negara pertama dari 19 negara anggota Paris Club yang merealisasi komitmen moratorium atau penangguhan pembayaran utang Indonesia senilai US$ 212 juta (Rp 2 triliun). Kesepakatan itu ditandatangani Direktur Jenderal Perbendaharaan Negara, Departemen Keuangan, Mulia Nasution, dan Duta Besar Amerika untuk Indonesia, Lynn Pascoe, Selasa pekan lalu.
Langkah ini merupakan tindak lanjut dari nota kesepahaman yang dibuat Paris Club dengan nilai penangguhan pembayaran utang pokok plus bunga US$ 2,6 miliar (hampir Rp 25 triliun). Moratorium ini berlaku selama satu tahun ditambah masa tenggang satu tahun. Menurut Mulia, Indonesia akan mencicil pembayaran utang itu dua kali setahun pada Juli dan Desember atau sebanyak tujuh kali terhitung sejak Desember 2006 hingga Desember 2009.
Forum Paris Club menyetujui moratorium setelah Nanggroe Aceh Darussalam dan Sumatera Utara dilanda bencana gempa dan tsunami. Menteri Keuangan Jusuf Anwar mengatakan, hingga kini baru empat negara Paris Club yang setuju pemberian bunga utang nol persen, yaitu Prancis, Jerman, Kanada, dan Italia. Sedangkan Jepang hanya memberi keringanan bunga utang dari 2,4 persen menjadi 1,3 persen. "Undang-undang di Jepang melarang pembebasan bunga," kata Jusuf.
Cina Siap Danai Infrastruktur
Angin segar berembus da-ri Cina. Pemerintah Negeri Tirai Bambu menawarkan pinjaman US$ 300 juta (Rp 2,85 triliun) untuk membiayai proyek infrastruktur di Indonesia. Menurut Menteri Keuangan Jusuf Anwar, syarat pinjaman ini cukup kompetitif karena jangka waktu pinjamannya 15 tahun dengan masa waktu tenggang tujuh tahun. "Sama kompetitifnya dengan pinjaman Bank Dunia dan Bank Pembangunan Asia," kata Jusuf. Pinjaman ini juga hanya diberikan untuk membiayai proyek yang tak diminati sektor bisnis tapi terkait kepentingan rakyat kecil, seperti pembangkit listrik, bendungan air, dan kereta api.
Menteri Komunikasi dan Informatika Sofyan A. Djalil, mewakili Menteri Perhubungan, mengatakan, proyek yang telah diajukan antara lain double tracking kereta api, penambahan lokomotif, dan bendungan Jatigede di Jawa Barat. Namun, kata Menteri Koordinator Perekonomian Aburizal Bakrie, pemerintah belum menentukan proyek yang menjadi prioritas untuk dibiayai dana pinjaman Cina itu. Rencananya, detail pinjaman akan dibicarakan ketika Presiden Yudhoyono berkunjung ke Cina pada Juli nanti. Secara keseluruhan, Indonesia membutuhkan Rp 750-1.000 triliun untuk membiayai proyek infrastruktur dalam lima tahun ke depan.
Obligasi Negara Laris
Surat utang negara masih laris. Dalam lelang Selasa pekan lalu, dua seri surat utang negara ludes diborong pembeli. Dari jumlah yang ditawarkan sebesar Rp 2,5 triliun, permintaan yang masuk mencapai lebih dari Rp 6 triliun. Direktur Jenderal Perbendaharaan Negara Mulia Nasution mengatakan, pemerintah menetapkan obligasi seri FR0030 dijual Rp 2,78 triliun dan seri FR0031 Rp 1,05 triliun. Imbal hasil dua seri obligasi berjangka 11 dan 15 tahun itu masing-masing 11,25 persen dan 11,59 persen. "Perbedaan imbal hasil yang tak beda jauh ini menandakan pembeli semakin menaruh kepercayaan pada obligasi pemerintah," katanya.
Sementara itu, bagi Deputi Gubernur Bank Indonesia Aslim Tadjudin, pasar surat utang negara sesungguhnya belum likuid dibanding negara-negara Asia lain. Seretnya pasar obligasi itu terlihat dari rasio tingkat penjualan yang hanya 1,31 pada 2004. "Rasio ini sangat kecil," kata Aslim. Rasio penjualan obligasi di Singapura mencapai 3,15, Jepang 5,38, Thailand 2,03 dan Malaysia 1,82. Pasar repo obligasi juga belum berkembang. Selama Januari-Mei 2005, jumlah transaksi repo hanya 3 persen dari total transaksi obligasi di pasar sekunder. Di negara maju, transaksi repo mencapai 10-40 persen dari total volume perdagangan.
Stok BBM Menipis
Persediaan bahan bakar minyak (BBM) beberapa pekan terakhir menipis. Tak mengherankan jika terjadi kelangkaan di beberapa daerah, seperti di Lombok (Nusa Tenggara Barat) serta Kediri dan Madiun (Jawa Timur). Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Purnomo Yusgiantoro, Selasa pekan lalu, mengakui stok BBM tinggal 18 hari. Padahal, patokan yang aman untuk Indonesia adalah 20-22 hari. Menurut Purnomo, kelangkaan itu sebagian besar akibat masalah operasional, seperti rusaknya kapal pengangkut BBM ke Sumatera Barat.
Perhitungan Pertamina agaknya berbeda. Juru bicara Pertamina M. Harun mengatakan bahwa selain masalah operasional tadi, kelangkaan itu juga karena meningkatnya konsumsi BBM sebesar 10 persen. Konsumsi premium, misalnya, biasanya 42 ribu kiloliter per hari, kini meningkat menjadi 46 ribu kiloliter dan solar naik dari 61 kiloliter menjadi 70 ribu kiloliter sehari. Akibat kenaikan konsumsi ini, Pertamina harus menyediakan dana untuk mengimpor minyak mentah dan BBM lebih besar lagi.
Kelangkaan itu, kata Harun, juga terjadi lantaran Departemen Keuangan terlambat mencairkan dana Rp 4 triliun untuk mengimpor BBM. Sumber Tempo di Pertamina mengungkapkan, dana Rp 4 triliun itu merupakan utang pemerintah. Selama Januari-Maret, Pertamina telah mengeluarkan Rp 23 triliun untuk pengadaan minyak mentah dan BBM, sedangkan yang sudah dibayar pemerintah baru Rp 19 triliun. Seharusnya, di luar jatah bulanan untuk pengadaan BBM sebesar Rp 1,2 triliun, pemerintah membayar dana yang Rp 4 triliun tersebut.
Izin Ekspor Dua Pabrik Pupuk
Pemerintah memberi izin PT Pupuk Kalimantan Timur (PKT) dan PT Pupuk Iskandar Muda (PIM) mengekspor pupuk urea granula. PKT diberi izin ekspor 250 ribu ton granula pada Juni-September 2005. Sebelumnya, PKT juga telah diizinkan mengekspor 80 ribu ton granula pada Januari-Februari. Sedangkan PIM diberi izin ekspor urea granula sebanyak 220 ribu ton selama Januari-September 2005. Menurut Menteri Pertanian Anton Apriyantono, sebelum diizinkan mengekspor granula, keduanya harus memenuhi kebutuhan pupuk di dalam negeri terpenuhi. Anton mengakui izin ekspor tersebut mempengaruhi pasokan urea di Aceh dan Sumatera Utara.
Karena itu, kata Anton, tanggung jawab penyediaan urea di Aceh dan Sumatera Utara dibebankan pada PT Pupuk Sriwijaya dan PKT. Menteri Negara BUMN Sugiharto mengatakan, sejak Desember lalu pemerintah tidak memberikan toleransi terhadap kasus kelangkaan pupuk. "Karena itu, produsen pupuk harus melakukan operasi pasar," katanya. Selama ini, kelangkaan pupuk terjadi karena kesalahan alokasi dan distribusi yang tidak merata. Pemicu lainnya adalah perbedaan harga pupuk yang mencolok di luar negeri dan di dalam negeri. Di luar negeri, pupuk dijual US$ 250-260 per metrik ton, tapi di dalam negeri cuma US$ 100-110 per metrik ton.
SBI Naik Lagi
Suku bunga Sertifikat Bank Indonesia (SBI) naik lagi. Lelang SBI pada Rabu pekan lalu menghasilkan rata-rata tertimbang tingkat diskonto SBI dengan tenor satu bulan sebesar 8,06 persen. Angka ini meningkat empat basis poin dari posisi sebelumnya. Kepala Biro Humas Bank Indonesia Erwin Riyanto mengatakan, dana yang diserap dari lelang itu mencapai Rp 35,15 triliun atau 99,98 persen dari jumlah lelang yang diterima Bank Indonesia. Bank Indonesia memang terus memperketat likuiditas untuk meredam inflasi.
Direktur Pengelolaan Moneter Bank Indonesia Budi Mulya sebelumnya memang sudah memprediksi tingkat suku bunga SBI akan mencapai 8,06 persen. "Range persepsi pasar seperti yang ada di survei Reuters," ujarnya. Pada lelang SBI pekan lalu, Bank Indonesia menargetkan akan menyerap kelebihan likuiditas sebesar Rp 37 triliun. Ternyata, hasil lelang Bank Indonesia hanya berhasil menyerap dana sebesar Rp 35,15 triliun.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo