Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TAK ada yang meramalkan gelombang besar tsunami akan terjadi, akhir tahun lalu. Tak juga Pertamina. Mungkin karena itu, mereka tak serius memasukkan humbalang samudra itu ke pertanggungan asuransinya. Ketika tsunami melibas Banda Aceh, termasuk kekayaan Pertamina, Desember tahun lalu, mereka hanya bisa terhenyak.
Nun jauh di London, Inggris, awal Mei tahun lalu, Pertamina bertemu Tugu Pratama, Jasindo, dan broker reasuransi. Mereka sepakat menjamin aset Pertamina dari kebakaran, petir, gempa bumi, dan tsunami dari 1 Juni 2004-31 Mei 2005. Premi untuk seluruh aset dari hulu sampai hilir, termasuk kekayaan di Arun dan Badak, US$ 36,2 juta atau sekitar Rp 325 miliar.
Tugu Pratama sebagai leader dengan porsi 70 persen, dan Jasindo co-leader dengan bagian 30 persen. Akhir Mei, Pertamina mengajukan beberapa perubahan. Mereka meminta keringanan premi dan biaya yang harus dikeluarkan Pertamina bila bencana terjadi (deductible). Untuk itu, Pertamina menghapus tsunami sebagai risiko yang dijamin.
Keinginan Pertamina itu disambut baik Tugu Pratama. Sebuah surat kesepakatan, tanpa tanggungan tsunami, segera mereka sodorkan untuk ditandatangani perusahaan minyak raksasa itu. Pertamina setuju jaminan tsunami dihapus dengan syarat premi dan deductible diturunkan.
Lima bulan tak ada kabar, sampai 8 Desember 2004 Direktur Utama Pertamina, Widya Purnama, menandatangani perjanjian asuransi itu. Anehnya, penghapusan jaminan tsunami itu tak diikuti penurunan premi. "Ini jelas merugikan Pertamina," kata sumber Tempo.
Tiba-tiba maralah tsunami. Sejumlah bangunan dan gedung Pertamina di Krueng Raya, Sabang, Meulaboh, dan Gunung Sitoli remuk-redam. Pertamina, Tugu Pratama, dan Jasindo menggelar rapat kilat. Polis yang belum terbit segera diluncurkan. Tarik-ulur tak menghasilkan apa pun buat Pertamina.
Perusahaan minyak itu harus menelan pil pahit: menanggung sendiri kerugian, meski sudah membayar premi puluhan juta dolar. Tugu Pratama dan Jasindo ngotot pada keputusan semula, tidak menjamin kerugian akibat tsunami.
Pertemuan pada awal April antara Jasindo dan Pertamina sedikit memberi napas bagi perusahaan minyak negara itu. Jasindo menawarkan klaim tsunami dengan cara ex gratia. Perusahaan asuransi bersedia mengganti kerugian asal dipilih lagi menjadi penjamin aset tahun berikutnya.
Direktur Eksekutif Asuransi Jasindo, Mustafa Ashari, mengatakan nilai penggantian ex gratia biasanya maksimum 10 persen dari total kerusakan. Jasindo sudah mendapat komitmen dari seluruh perusahaan penanggung ulangnya di luar negeri. "Mereka bersedia memberi ganti rugi," katanya.
Pertamina pasrah. Daripada menggantang angin, mereka setuju penggantian tak penuh atau secara ex gratia. Berapa yang akan diterima perusahaan negara itu, belum jelas. Mustafa mengatakan nilainya masih dihitung. Karena itu, Jasindo belum mengeluarkan uang sepeser pun.
Direktur Utama Tugu Pratama, Syahrir Hamzah, enggan bicara banyak soal ini. Ketika tsunami terjadi, katanya, nilai premi dan jaminan sudah disetujui. Setelah megabencana itu, Tugu Pratama dan Jasindo sepakat mengganti kerugian, meski tak ditanggung dalam polis asuransi.
Syahrir, yang tak setuju penggunaan istilah ex gratia, tak bersedia menyebut besaran klaim penggantian karena masih dihitung. Wakil Direktur Utama Pertamina, Mustiko Saleh, juga tak mau berkomentar. "Itu sudah berita basi," ujarnya kepada Mawar Kesuma dari Tempo. "Semuanya sudah beres, mereka mau membayar."
Leanika Tanjung
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo