Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Bisnis Sepekan

29 November 2004 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Tak Semua BUMN Untung

Sampai tahun 2003, masih banyak perusahaan negara yang rugi. Dari 157 badan usaha milik negara (BUMN) itu, 47 perusahaan atau hampir sepertiganya masih belum mampu mencetak keuntungan. Total jenderal, kerugian ke-47 perusahaan itu mencapai Rp 6 triliun. Dari jumlah tersebut, hampir 85 persen kerugian dibukukan oleh 10 perusahaan. Perusahaan pelat merah yang mencatat kerugian tertinggi adalah PT PLN, yang rugi hampir Rp 3,6 triliun. "Meski masih banyak, jumlahnya turun dibandingkan dengan tahun sebelumnya," kata Menteri Negara BUMN, Sugiharto.

Pada tahun 2002 silam, jumlah perusahaan negara yang rugi mencapai 70 buah dengan total kerugian Rp 9,6 triliun. Menurut Sugiharto, PLN menderita kerugian paling besar karena tarif dasar listrik (TDL) masih jauh di bawah biaya operasional. Akibatnya, PLN terpaksa nombok. "Padahal biaya bahan bakar disel terus naik," katanya. Selain PLN, yang juga mencatat kerugian lumayan besar antara lain PT Perusahaan Perdagangan Indonesia (Rp 418,2 miliar), PT Pelni (Rp 382,4 miliar), dan Indofarma (Rp 129,5 miliar).

Obligasi Terakhir

Pemerintah akan menutup tahun ini dengan menjual surat utang terakhir senilai Rp 1,7 triliun. Obligasi seri FR 0025 ini akan jatuh tempo pada 15 Oktober 2011. Direktur Jenderal Perbendaharaan Negara, Mulia P. Nasution, mengatakan obligasi tersebut merupakan yang terakhir yang diterbitkan pemerintah sepanjang tahun ini. Secara keseluruhan, pemerintah sudah menerbitkan obligasi negara senilai Rp 32,5 triliun.

Mulia yakin surat utang ini akan dibanjiri pembeli seperti bulan-bulan sebelumnya. Alasannya, pasar obligasi di Indonesia sedang bergairah. Kalau permintaan membludak, pemerintah tidak segan-segan menaikkan nilai jual. "Tapi paling tinggi hanya Rp 200 miliar saja," ujarnya. Obligasi dengan bunga tetap 10 persen ini dijual melalui mekanisme lelang. Lelang akan dilaksanakan oleh Bank Indonesia pada 30 November mendatang.

Defisit Membengkak

Menteri Keuangan Yusuf Anwar memperkirakan defisit Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2004 akan membengkak hingga 1,5 persen dari produk domestik bruto (PDB). Semula, defisit APBN direncanakan Rp 26,6 triliun (1,2 persen PDB). "Banyak, memang (pembengkakannya)," kata Yusuf, "Makanya, kita harus kerja keras, tidak ada leha-leha." Pembengkakan itu akibat melambungnya pengeluaran subsidi bahan bakar minyak (BBM). Subsidi BBM membengkak dari Rp 14,5 triliun menjadi Rp 63 triliun.

Kendati demikian, Yusuf masih percaya defisit itu bisa ditutup. Untuk itu, pemerintah akan menggenjot penerimaan dari pajak serta bea dan cukai. Direktur Jenderal Pajak, Hadi Poernomo, mengaku penerimaan pajak masih kurang Rp 45 triliun dari target yang ditetapkan dalam APBN. Hingga 22 November, pajak yang sudah terkumpul baru mencapai Rp 193 triliun atau 81 persen dari rencana. Direktur Jenderal Bea dan Cukai, Eddy Abdurrahman, menambahkan bahwa lembaganya sudah diminta menambah pemasukan sampai Rp 700 miliar-800 miliar. "Sebagian besar penerimaan itu diperoleh dari cukai rokok," kata Eddy.

Kanada Menambah Investasi

Kanada akan menanamkan investasi baru di Indonesia US$ 600 juta (Rp 5,4 triliun dengan kurs Rp 9.000 per US$). Duta Besar Kanada untuk Indonesia, Randolph Mank, mengatakan bahwa Indonesia menjadi negara tujuan investasi Kanada terbesar kedua di Asia setelah Jepang. Investasi Kanada di Indonesia secara keseluruhan hingga saat ini mencapai US$ 5,5 miliar. Investasi baru itu, kata Mank, akan disuntikkan pada sejumlah proyek pertambangan, gas, dan manufaktur di Sulawesi.

Dari jumlah itu, investasi terbesar akan dilakukan PT Internasional Nickel Indonesia Tbk. (INCO), yang mencapai US$ 250 juta. "Itu investasi utama kami," kata Mank usai diterima Wakil Presiden Jusuf Kalla, Selasa pekan lalu. Dalam pertemuan dengan Kalla, Mank juga membicarakan kesiapan Kanada memberi bantuan pembangunan yang baru dalam kurun waktu lima tahun ke depan. Fokus bantuan itu di Sulawesi, tempat berbagai perusahaan Kanada berada. Bentuk bantuan lainnya untuk usaha kecil dan menengah (UKM).

Dari Jepang untuk Listrik

Pemerintah Jepang akan mengucurkan pinjaman kepada Indonesia senilai 27,5 miliar yen. Kesepakatan pinjaman yang disalurkan melalui Japan Bank for International Corporation (JBIC) tersebut ditandatangani Direktur Jenderal Keuangan Internasional JBIC, Kazunori Nishida, dan Direktur Jenderal Perbendaharaan Negara, Mulia Nasution, Jumat pekan lalu. Pinjaman yang setara dengan US$ 200 juta (Rp 1,74 triliun) itu akan digunakan untuk merehabilitasi dan memelihara peralatan dalam proyek listrik dan gas.

Pinjaman yang diberikan dalam bentuk kredit ekspor akan dikenai bunga pinjaman komersial. Aturan pelunasan utang akan ditentukan perinciannya oleh JBIC. Mulia menjelaskan, fasilitas ini merupakan subsidi dari pemerintah yang akan diteruskan ke Perusahaan Listrik Negara (PLN). "Ini baru perjanjian payung. Masih harus ada perencanaan proyek," kata Mu-lia. Utang ini akan masuk dalam tahun anggaran 2005.

Harga Obat Generik Turun

Pendapatan PT Indofarma tidak akan turun, meski pemerintah menurunkan harga obat generik. Direktur Utama Indofarma, Dani Pratomo, mengatakan selama ini yang dibukukan di laporan keuangan merupakan harga neto penjualan obat setelah dipotong diskon. Kebijakan hanya berpengaruh pada penurunan diskon yang langsung dinikmati konsumen. "Kinerja perseroan tidak terganggu," katanya.

Sampai September 2004, penjualan Indofarma Rp 470 miliar dan hingga akhir tahun akan mencapai lebih dari Rp 600 miliar. Dia yakin laba akhir tahun tercapai dengan efisiensi biaya penjualan, administrasi, dan pemasaran. "Efisiensi pemasaran cukup signifikan, sampai 10 persen," katanya. Tahun depan, Dani memproyeksikan penjualan meningkat menjadi Rp 700 miliar dan laba meningkat dari Rp 1,7 miliar menjadi Rp 21 miliar. Indofarma akan mengurangi produk generik menjadi bermerek dengan tetap menjaga ketersediaan obat generik.

Pemerintah menurunkan harga 29 obat generik. Harga antibiotik Siprofloaksasin 500 mg, misalnya, turun 50 persen, antibiotik Amoksisilin 500 mg turun 20 persen, dan obat hipertensi Kaptopril 25 mg turun 35 persen. Penurunan harga berlaku sejak 23 November 2004 dan berlaku sepanjang tahun 2005 sampai ditetapkan kembali pada awal tahun 2006 yang akan datang. Penurunan harga itu agar masyarakat mampu membeli obat generik.

Berpacu Menuju Seribu

Setelah seminggu libur, bursa saham seperti memiliki energi berlebih untuk terus berlari sepanjang pekan ini. Kendati isu aksi ambil untung terus membayang sepanjang pekan ini, secara keseluruhan indeks justru mencatat kenaikan yang lumayan signifikan. Pada akhir perdagangan Jumat pekan lalu, indeks berada di posisi 965,216, naik 31,186 poin dibandingkan dengan pekan sebelumnya.

Dana investor asing disebut sebagai bahan bakar kenaikan indeks. Aksi ambil untung, yang terjadi sepanjang pekan lalu, tak mampu membenamkan indeks. Hanya, pada Kamis, indeks saham sempat mengalami koreksi 5,643 poin. Kenaikan indeks yang gila-gilaan disikapi dengan hati-hati oleh para analis. "Sebaiknya investor mengambil posisi hold (tahan), menunggu perkembangan selanjutnya," kata Adrian Rusmana, Kepala Riset BNI Sekuritas.

Hal yang sama diamini oleh Edwin Sinaga dari Kuo Capital Rahardja. "Investor retail sebaiknya tak melakukan transaksi baru." Sebagian para pelaku pasar waswas kenaikan yang berlangsung nyaris tak putus selama dua pekan ini akan berbuntut pada koreksi yang tajam. Hingga akhir pekan lalu, tren kenaikan bertahan karena para investor asing masih memburu saham telekomunikasi dan perbankan. Aksi beli para bandar besar diikuti para investor retail?yang percaya indeks masih akan terus berlari hingga seribu.

Uang Baru Seratus Ribu

Bank Indonesia (BI) meluncurkan uang baru pecahan Rp 20 ribu dan Rp 100 ribu. Gubernur BI, Burhanuddin Abdullah, mengatakan pecahan baru itu untuk menekan uang palsu. Bank sentral akan mengedarkan dua pecahan baru itu 29 Desember 2004, tapi pecahan lama masih berlaku dan tidak ditarik dari peredaran. Pecahan Rp 100 ribu lama sudah beredar sejak 1999, dan Rp 20 ribu mulai 1998. "Harus ada penyegaran psikologis dan upaya menekan pemalsuan," tuturnya di Jakarta, Kamis pekan lalu.

Menurut Burhanuddin, pemalsuan uang di Indonesia makin besar. Teknologinya juga makin canggih. Umumnya yang dipalsukan adalah nominal besar. Kelebihan uang baru ini terletak pada sisi pengamanannya sehingga sulit dipalsukan. Pecahan baru ini juga mengakomodasi tunanetra. Mereka bisa mengetahui nominal duit dengan meraba uang itu. BI akan meluncurkan kedua pecahan baru itu sebanyak Rp 386 juta pada 2005.

Direktorat Pengedaran Uang Bank Indonesia, Lucky Fathul A.H., mengatakan pemalsuan uang di Indonesia cukup tinggi. Hingga akhir September 2004, BI memperkirakan uang palsu yang beredar 36.550 bilyet (lembar), sepertiganya merupakan pecahan Rp 100 ribu dan hampir setengahnya pecahan Rp 50 ribu. Saat ini, bank sentral masih mempunyai cadangan pecahan Rp 100 ribu lama sebesar Rp 5,9 triliun, dan pecahan Rp 20 ribu sebesar Rp 2,3 triliun. Cadangan Rp 100 ribu bisa memenuhi kebutuhan satu bulan dan Rp 20 ribu sampai tiga bulan.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus