Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Film

Dunia Rekaan Hanny Saputra

Sebuah film dengan ide menarik. Sayang, penggarapannya lemah dan skenarionya sibuk dengan kata-kata makian bahasa Inggris.

29 November 2004 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

VIRGIN Sutradara: Hanny R. Saputra Skenario: Armantono Pemain: Laudya Cynthia Bella, Tio Pakusadewo, Ayu Azhari, Ari Sihasale Produksi: Starvision

Bayangkanlah sebuah dunia nun jauh di sana. Dikatakan ”nun jauh di sana” karena tak akan ada satu lembar orang tua pun—seburuk apa pun dia—yang memimpikan anak gadisnya yang masih mengenakan seragam putih abu-abu menjual dirinya dari satu kamar hotel ke kamar hotel lainnya; menghias sekujur tubuhnya dengan pelbagai gambar tato; mengucapkan kata ”f...” atau ”b....” (kata-kata ini tak bisa dilengkapi bukan hanya karena peraturan majalah ini, tetapi juga karena Anda tak akan tega membacanya—Red.) sepanjang kalimat, sepanjang hari, sepanjang malam.

Bayangkanlah dunia ini nun jauh di sana. Jauh dari Anda... tapi ternyata terjangkau oleh anak Anda... ketika Anda hanya mengedipkan mata sekejap, tiba-tiba Anda menemukan putri Anda yang berusia 16 tahun telah ”menjual keperawanan”-nya kepada om-om di hotel atas nama ”keisengan”.

Inilah yang kira-kira ingin disajikan oleh sutradara yang selama ini saya hormati: Hanny Saputra. Seorang sineas yang pernah menghasilkan berbagai penghargaan film televisi; yang sangat fasih bertutur ketika menyampaikan visinya tentang sinema Indonesia. Dia berkata, ”Orang tua harus tahu perubahan norma yang tengah terjadi dengan cepat di kalangan remaja masa kini.” Lalu, apa yang dilakukan Hanny dalam film ini agar para orang tua segera melek?

Syahdan, Hanny Saputra memperkenalkan tiga cewek bandel itu: Biyan (Laudya Cynthia Bella) yang datang dari keluarga berantakan. Sang ayah gemar bercinta dengan pelbagai perempuan di ruang tamu, dan sang ibu menangis penuh derita di kamar lantai atas (duh, benarkah masih ada istri yang sudi hanya berdiam diri menatap suami yang begitu kurang ajar?). Stella (Ardina Rasti), anak pejabat dengan rumah sebesar istana, yang berlagak seperti ”bos” dan ”germo” dari kelompok ini. Dia ngebet ingin main sinetron, tetapi dia juga dengan enteng menjual tubuhnya, meski duit segitu bisa saja dia minta dari orang tuanya. Cewek ketiga adalah Keti (Angie), anggota geng yang paling bloon dan cantik, yang bersedia ”menjual keperawanannya” seharga Rp 10 juta agar dia bisa membeli handphone idamannya.

Merinding? Ini belum apa-apa. Anda akan diajak mengikuti sebuah tur visual roller-coaster gaya kamera MTV kepada dunia anak-anak SMA yang tampaknya sama sekali tak pernah menyentuh buku matematika, apalagi memikirkan ujian persiapan masuk universitas. Hidup mereka terdiri dari satu hotel ke hotel lain, memoroti kantong para om (meski terkadang pipi dan tubuh bisa biru lebam, karena ada om yang suka menyiksa); lalu mereka menggunakan duit itu untuk berdansa di klub-klub ternama dan, oh, jangan lupa: kamar mandi klub itu penuh dengan remaja yang ML (ini singkatan anak gaul dari making love, meski negara yang punya bahasa ini tak menyebutnya dengan singkatan itu—Red.).

Anda tak perlu mengkeret. Hanny mencoba menunjuk satu sisi yang nyata dalam kehidupan di Jakarta. Dan ”hidup nun jauh di sana” itu memang ada. Hanya, kenapa antara ”menu utama” dan ”makanan penutup” tampak terbalik? Jika memang Hanny ingin mempermasalahkan sisi psikologis dan kemanusiaan anak-anak itu, dia harus bisa menyusuri persoalan yang jauh lebih menukik, lebih dalam, tentang bagaimana anak-anak semuda ini memutuskan masuk ke kubangan neraka itu; kenapa film ini malah penuh dengan aksesorinya (kehidupan seks bebas dan gaya hidup yang mengerikan itu)? Kemampuan Hanny yang sebelumnya lazim menyelami sisi gelap manusia akhirnya tidak tampil dalam film ini. Jika film Thirteen karya Catherine Hardwicke menjadi rujukan utama film ini (baca: ”Di Usia yang Penuh Tanya”, Tempo, 9 Mei 2004), Hanny dan para sineas dalam timnya baru menyentuh permukaan problem. Film Thirteen mengutamakan pertanyaan yang paling manusiawi tentang ”sebab-akibat” perbuatan anak-anak remaja yang berkubang dalam gaya hidup seks bebas, narkoba, dan kriminalitas hanya karena ingin terlihat cool alias keren. Anda akan menyaksikan jiwa-jiwa yang robek yang akhirnya mencoba berdiri kembali di antara serpihan jiwa yang sudah berantakan. Jorok? Tidak. Berlebihan? Ya, mulai dari penyajian hingga ekspresi, film ini sangat berlebihan (apa iya remaja kita mengenal permainan ”truth or dare” sebagai kebudayaan anak gaul masa kini? Apa iya remaja kita hanya bisa memaki dalam bahasa Inggris? Apa iya ada ayah yang begitu gilanya bersetubuh dengan santai di ruang tamu sembari disaksikan anaknya sendiri?).

Satu-satunya hiburan dalam film Virgin adalah menyaksikan kembalinya kawan-kawan lama seperti Ari Sihasale, Ayu Azhari, Unique Pricilla, dan Tio Pakusadewo, yang seperti biasa meniupkan napas pada batang tubuh sebuah film. Tetapi oksigen sebuah film tak cukup hanya ditiup oleh para pemain (pembantu). Ia juga membutuhkan skenario dan penggarapan sutradara yang kuat. Jika penampilan para pemain senior ini menjadi oksigen, skenario dan penyutradaraan film ini membuat daya hidup perfilman Indonesia sesak napas.

Leila S. Chudori

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus