Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
BELUM kering keriaan menyambut Idul Fitri, Pertamina justru memberikan kejutan panas kepada ibu-ibu rumah tangga. Badan usaha milik negara ini akan menaikkan harga jual gas dalam tabung (liquefied petroleum gas/elpiji)17-42 persen dari harga yang sekarang Rp 3.000 per kilogram.
Pertamina kini masih menghitung, apakah kenaikan dilakukan bertahap atau langsung menjadi Rp 4.250 per kilogram. ?Pertamina baru bisa mendapat untung Rp 300 per kilogram jika harganya Rp 4.250,? kata Arie H. Soemarno, Direktur Pemasaran dan Niaga Pertamina.
Harga baru ini akan diterapkan mulai Desember, sehingga dalam setahun ini Pertamina sudah dua kali menaikkan harga elpiji. Pada pertengahan Maret lalu, Pertamina menaikkan harga elpiji lima persen. Saat ini, harga di tingkat konsumen Rp 38.000-40.000 untuk tabung 12 kilogram.
Kisaran kenaikan pada Desember nanti adalah Rp 500-Rp 1.250 per kilogram, sehingga harga elpiji nanti Rp 3.500-4.250. Namun, sampai di konsumen harga gas bisa di atas Rp 50.000. Alasan Pertamina, ini adalah kenaikan biaya pokok produksi akibat kenaikan harga elpiji di pasar dunia.
Kenaikan itu dipicu harga minyak dunia yang US$ 45-50 per barel. Arie mengatakan, harga elpiji di pasar dunia mencapai US$ 512 per ton, naik lumayan tinggi dari harga sebelumnya yang hanya US$ 383. ?Kalau harga sekarang dipertahankan, Pertamina rugi hampir Rp 825 per kilogram atau sekitar Rp 1 triliun hingga akhir tahun,? katanya.
Pemerintah menyerahkan kebijakan harga ini kepada Pertamina, karena elpiji bukan produk bahan bakar yang disubsidi, seperti minyak tanah dan produk komersial. Tak mengherankan jika Pertamina mendasarkan harga jual elpiji di pasar domestik pada harga Saudi Contract Price (CP). Selama ini, Pertamina hanya mampu memenuhi 90 persen kebutuhan di dalam negeri, sedangkan kekurangannya dipenuhi dari impor.
Setiap tahun Indonesia membutuhkan sekitar 1,2 juta ton elpiji. ?Kalau harga dunia turun, ya harga jual kami juga turun,? kata Arie. Tetapi Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) tetap mengkritik rencana itu. Menurut pengurus harian YLKI, Sudaryatmo, sebelum menaikkan harga jual Pertamina seharusnya secara transparan mengemukakan struktur biaya elpiji kepada konsumen.
Pada kondisi pasar yang hanya diisi Pertamina, faktor harga menjadi sangat penting. Dengan begitu, konsumen bisa menilai apakah Pertamina sudah efisien atau belum, dan di mana komponen biaya terbesar. ?Jadi, kalau Pertamina mengaku rugi di bisnis elpiji, masih bisa diperdebatkan,? kata Sudaryatmo.
Ia pun mempertanyakan jaminan peningkatan pelayanan setelah harga baru kelak. Becermin dari kenaikan Maret lalu, YLKI tak melihat perbaikan berarti. Buktinya, lembaga swadaya masyarakat ini masih banyak menerima keluhan konsumen soal isi tabung yang kurang dan kondisi tabung yang tidak standar.
Karena itu publik sebaiknya dilibatkan dalam upaya kontrol. ?Kalau ini jalan, konsumen tidak terlalu defensif atas kebijakan harga baru,? kata Sudaryatmo. Pertamina sendiri mengaku sudah transparan. Menurut General Manager Gas Domestik Pertamina, Achmad Faisal, struktur biaya elpiji Pertamina ditentukan tiga komponen: biaya eks kilang Pertamina dan kilang milik kontraktor bagi hasil (KPS), biaya pabrikasi, dan biaya pemasaran.
Selama ini, 73 persen kebutuhan gas dibeli dari Pertamina, sedangkan selebihnya dipasok oleh kontraktor KPS dan impor. Saat ini, dengan acuan harga minyak mentah masih US$ 36 per barel, harga eks kilang, baik dari Pertamina, KPS, maupun impor, rata-rata Rp 2.778,8 per kilogram.
Ditambah biaya pabrikasi, pemasaran, plus margin agen dan pajak pertambahan nilai (PPN), biaya pokok elpiji Rp 3.625 per kilogram. Ini belum termasuk margin Pertamina (lihat tabel). ?Setiap tahun kami diaudit BPK dan BPKP. Jadi, angka kami tidak asal tulis,? kata Achmad Faisal.
Toh Pertamina tetap berani menjanjikan perbaikan layanan. Caranya, mengubah kontrak antara Pertamina dan pengusaha stasiun pengisian dan pengamanan bulk elpiji (SPPBE). Di kontrak lama, Pertamina menjual elpiji curah kepada SPPBE?alias jual putus. Para pengusaha SPPBE inilah yang menjual elpiji kepada para agen, yang kemudian menjualnya lagi kepada pengecer.
Karena itulah pengusaha SPPBE bisa menerbitkan surat delivery order (DO). Di sinilah sering terjadi ?main mata? antara pengusaha SPPBE dan agen dalam bentuk pengurangan volume elpiji. Misalnya tabung 12 kilogram hanya diisi 10 atau 11 kilogram. Dalam kontrak baru yang diterapkan Januari 2005, Pertamina mengembalikan fungsi SPPBE tak lebih dari tempat pengisian elpiji.
Seperti di kebanyakan negara, penjual elpiji adalah principal, yakni Pertamina. Jadi, agen membeli elpiji dan menyetorkan duitnya langsung ke Pertamina?SPPBE tidak lagi menerbitkan DO. ?Upaya penertiban ini justru ingin mengikis ?main mata? SPPBE dan agen,? ujar Faisal. Di seluruh Indonesia terdapat 44 SPPBE.
Rencana itu tentu membuat ?gerah? para pengusaha SPPBE. Maklum saja, sistem baru itu membuat mereka tidak lagi menerima duit dari agen. Duit itu justru langsung masuk ke kas Pertamina. ?Bagi SPPBE yang bersedia ikut prosedur baru akan dinaikkan fee pengisian tabung di atas Rp 110 per kilogram dan transportasi,? Faisal menjanjikan.
Ketua Asosiasi Perhimpunan Pengusaha Elpiji Indonesia, Johanes Jani Bunyamin, mengakui adanya ?keresahan? di kalangannya. Tapi jumlahnya tidak banyak. Menurut dia, prosedur baru nanti justru menyenangkan kedua pihak. Sebab, pengusaha SPPBE tidak perlu lagi modal besar lantaran tak harus membuat bank garansi dan tidak perlu lagi jorjoran memberikan diskon kepada agen. ?SPPBE besar justru tidak mendukung,? katanya.
Repotnya, bisnis elpiji di republik ini dimonopoli oleh Pertamina, meskipun pasarnya sendiri sudah dibuka sejak 2001. Akibatnya, konsumen tak punya pilihan. Susahnya, para pemain lain belum juga mau masuk ke pasar kendati sudah mengantongi izin prinsip. Mereka menunggu harga jual elpiji membaik.
Hingga kini ada tiga perusahaan yang sudah mendapatkan izin, yakni PT Bhakti Mingasutama, PT Tiga Samudera Perkasa, dan PT Petronas Niaga Indonesia (Malaysia). Presiden Direktur PT Petronas Niaga Indonesia, Faris Mustafa, mengatakan dalam jangka panjang pasar elpiji di Indonesia menarik. Tapi, dilihat dalam jangka pendek, harga jual yang sekarang memang perlu dinaikkan.
?Kami terus mempersiapkan diri, insya Allah kami masuk tahun depan,? katanya. Kini Petronas tengah bersiap dengan membangun infrastruktur tangki terminal-antara di Tanjung Priok, Jakarta, dan Bojonegoro, Jawa Timur. Petronas sendiri setiap tahun mampu mengekspor satu juta ton elpiji.
Soal harga, ?Untuk pemain baru, harga elpiji yang menguntungkan Rp 5.000 per kilogram,? kata Presiden Direktur PT Bhakti Mingasutama, Johanes Bunyamin. Perusahaan yang sedang menunggu izin niaga tetap ini menjanjikan merilis elpiji tandingan Pertamina dengan merek My Gas, mulai tahun depan. Saat ini stasiun pengisian elpiji di Serpong, Banten, sudah disiapkan. Adapun depo di Desa Suka Haji, Indramayu, mulai beroperasi akhir bulan ini.
Pemerintah sendiri tak tinggal diam. Departemen Energi terus mencari cara merangsang pasar elpiji. Antara lain dengan melonggarkan spesifikasi elpiji yang sekarang dipatok 60 persen gas butan dan 40 persen propan. Nanti, komposisinya bisa 80:20 atau 70:30. Dengan begitu, setiap gas dari lapangan yang kandungan butan atau propannya di bawah 60:40 dapat dimanfaatkan menjadi elpiji.
Padahal, sebelumnya gas jenis itu dibakar percuma. ?Kelak harga elpiji bervariasi, tak hanya satu jenis seperti sekarang,? kata Direktur Pengolahan dan Pemasaran BBM Departemen Energi, Erie Soedarmo. Masalahnya, kapan pasar yang monopolistik berakhir, sehingga konsumen tak semata-mata bergantung pada Pertamina.
M. Syakur Usman
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo