Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Bisnis Sepekan

10 Mei 2004 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Indofarma dan Kimia Farma Akan Merger

Tren merger yang melanda industri perbankan nasional rupanya menular ke sektor lain, di antaranya farmasi. Dua perusahaan obat nasional, yakni Indofarma dan Kimia Farma, termasuk yang bakal melakukan langkah tersebut. Niat bergabung itu datang dari pemerintah sebagai pemegang mayoritas saham di dua perusahaan itu. Tujuannya tak lain untuk menyehatkan kedua perusahaan tersebut.

Menteri Negara Badan Usaha Milik Negara, Laksamana Sukardi, mengatakan bahwa pemerintah tengah mengkaji dua pilihan konsolidasi, yaitu merger atau akuisisi. "Konsolidasi ini diperlukan terutama lantaran Indofarma menghadapi masalah besar dalam bidang keuangan," kata Laksamana, Kamis pekan lalu. Kondisi ini, katanya, semakin terlihat setelah perusahaan tersebut mencatatkan sahamnya di bursa sejak 2001. Tahun lalu, Indofarma merugi Rp 115 miliar, naik hampir dua kali lipat dibanding tahun sebelumnya, yang baru Rp 68 miliar.

Sementara itu, Direktur Keuangan Indofarma, Sudibyo, mengakui bahwa pihaknya sedang melakukan kajian konsolidasi tersebut. Ia juga yakin Kimia Farma melakukan kajian serupa. Namun, sampai kini pemerintah belum memutuskan opsi mana yang akan diambil. Kendati begitu, Laksamana menilai opsi akuisisi lebih memungkinkan ketimbang merger. Ini dikarenakan kedua perusahaan memiliki pemegang saham publik yang harus diperhitungkan jika merger yang dipilih.

Pertamina Jual Tanker

Banyak kebijakan perusahaan yang membingungkan karena tampak kurang matangnya perencanaan. Contohnya ada di Pertamina. Beberapa waktu lalu, perusahaan minyak milik negara itu berencana membeli 12 kapal tanker. Tapi Ariffi Nawawi, tak lama setelah menjadi Direktur Utama Pertamina, membatalkan rencana tersebut. Pertamina hanya akan membeli enam kapal. Empat dibuat di dalam negeri, sisanya dibuat Hyundai Heavy Industry (Korea Selatan). Eh, belum juga dua kapal buatan Korea itu selesai, Pertamina berencana menjualnya lagi. Tendernya kemungkinan akan dibuka bulan ini.

Ariffi mengatakan, penjualan dua kapal yang masing-masing berbobot 260 ribu DWT ini tak terelakkan karena Pertamina tak mungkin mempunyai proyek yang return-nya negatif. Setelah dihitung, biaya operasi kapal sendiri ternyata lebih mahal dibandingkan sewa (carter). "Biaya sewanya cuma setengah dari biaya yang kita keluarkan jika kita punya sendiri," kata Ariffi di Jakarta, Kamis pekan lalu. Dia yakin hasil penjualan kapal yang dibangun dengan biaya US$ 65 juta (Rp 560 miliar) itu akan tinggi karena harga baja sedang tinggi-tingginya. Pertamina menargetkan bisa menjual 30-40 persen di atas ongkos pembuatannya.

Mandiri Hapus Hak Tagih

Rencana manajemen Bank Mandiri menghapus hak tagih atas kredit macet senilai Rp 1,65 triliun untuk sementara ini harus ditunda. Dalam rapat umum pemegang saham Rabu pekan lalu, jajaran komisaris bank terbesar itu masih belum memberi lampu hijau kepada direksi di bawah kendali E.C.W. Neloe. "Masih ada tahapan yang perlu dilalui sebelum komisaris memberi persetujuan. Ini agar lebih berhati-hati," kata Komisaris Utama Binhadi.

Baik Neloe maupun Binhadi tak memberikan penjelasan rinci mengenai tahapan yang belum dilaksanakan itu. Namun, menurut sejumlah sumber di bank tersebut, komisaris masih meminta direksi melakukan pembicaraan terlebih dahulu dengan Departemen Keuangan. "Ini kan aset negara, pelaksanaannya harus sesuai dengan aturan main hukum maupun finansial," kata sumber itu.

Neloe mengatakan, jumlah hak tagih yang akan dihapus itu merupakan bagian dari kredit macet yang telah dihapusbukukan sejumlah Rp 3,3 triliun yang masuk dalam program debt I. Jumlah tersebut sesuai dengan plafon hapus tagih Rp 2 triliun yang disetujui dalam rapat umum pemegang saham luar biasa September tahun lalu. Artinya, kata Neloe, dalam program ini, Mandiri mampu memperoleh tingkat pengembalian sekitar 50 persen.

Sedangkan total kredit macet yang sudah dihapusbukukan mencapai sekitar Rp 20 triliun. Seluruhnya merupakan peninggalan dari empat bank sebelum merger pada 1998, yaitu Bank Dagang Negara, Bank Bumi Daya, Bank Expor Impor, dan Bank Pembangunan Indonesia. Kredit yang dihapusbukukan ini terbagi dalam dua kategori, yakni di atas Rp 5 miliar milik sekitar 100 nasabah, dan di bawah Rp 5 miliar milik 11 ribu nasabah.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus