Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
BERTELANJANG dada, Sumani tergopoh ke luar rumah ketika mendengar klakson truk. Dengan tangan kanan menenteng kaleng susu dan tangan kiri memegang buku tulis kecil, pria warga Desa Tutur, Kabupaten Pasuruan, Jawa Timur, itu berlari menuju truk yang telah terparkir di pertigaan desa. Sore itu ia sedang melakukan kegiatan rutin: menyetor susu ke Koperasi Peternak Sapi Perah Setia Kawan.
Susu yang dikumpulkan Setia Kawan dan puluhan koperasi lain di seantero Jawa Timur akan dibawa ke Gabungan Koperasi Susu Indonesia (GKSI) Jawa Timur. Selanjutnya, GKSI menjual susu tersebut ke berbagai produsen susu, terutama PT Nestle Indonesia, yang selama ini merupakan pembeli terbesar.
Pada saat normal, dari produksi 590 ton susu per hari, Nestle membeli 500 ton. Selebihnya dijual ke PT Imdi di Pandaan (40 ton), industri pengolah susu di Jakarta (21 ton), dan GKSI Jawa Tengah (10 ton)—sisanya diolah sendiri oleh anggota GKSI Jawa Timur. Nestle juga selalu berbaik hati membeli kelebihan produksi susu, terutama pada masa puncak produksi, Juni-Oktober. Pada saat itu, produksi susu melonjak hingga 620-650 ton per hari.
Tapi, mulai bulan ini, situasi berubah. Nestle membatasi pembelian, maksimal 510 ton per hari. Bahkan, mulai tahun depan, angka itu dikurangi lagi: hanya 420 ton per hari. Kepala Hubungan Masyarakat PT Nestle Indonesia, Brata Hardjosubroto, menjelaskan bahwa langkah itu diambil lantaran kapasitas produksi pabrik terbatas.
Selain itu, konsumen belakangan lebih memilih produk susu untuk pertumbuhan bayi dan anak di bawah lima tahun, seperti Dancow 1 Plus, 3 Plus, dan 6 Plus—ketimbang susu kental manis. Susu tersebut mengandung zat bernilai tambah tinggi, yang bahan bakunya hanya bisa didapat dari susu impor. "Pembatasan ditempuh untuk mempertahankan daya saing produk Nestle jangka panjang," ujar Brata.
Kondisi ini tak urung membuat para peternak resah. "Susu saya mau dijual ke mana?" kata Sumani dengan nada pasrah. Untuk menafkahi keluarga sehari-hari, peternak yang memiliki 10 ekor sapi itu praktis hanya mengandalkan penjualan susu. Terbayang akan ada puluhan ton susu yang setiap hari harus dibuang percuma pada masa puncak produksi nanti. Dan para peternak serta pengurus koperasi tak bisa menggugat Nestle. Posisi tawar mereka memang lemah.
Hendrawan Soetanto, guru besar Fakultas Peternakan Universitas Brawijaya, Malang, membenarkan hal ini. Ia menyayangkan GKSI yang terlalu bergantung pada Nestle. "Struktur pasar menjadi tidak bagus," ujarnya. Menghadapi krisis yang membayang di depan mata, GKSI berupaya menjual susu ke produsen lain. "Kami mencoba menjual ke pabrik Susu Bendera, Indomilk, Indolakto, dan Susu Ultra," kata Manajer GKSI Jawa Timur, Sulistianto.
Sulistianto juga akan melobi Pemerintah Provinsi Jawa Timur dan tiap kabupaten agar membeli susu produksi GKSI. Susu tersebut bisa dibagikan ke anak-anak sekolah dalam Program Makanan Tambahan Anak Sekolah. Dalam hitungannya, jumlah siswa sekolah dasar dan madrasah di Jawa Timur mencapai 4,2 juta jiwa. Jika 25 persen saja dari jumlah tersebut mengkonsumsi 100 cc susu per hari, akan terserap sekitar 100 ton susu.
Cadangan lain tentu mesti disiapkan. Ketua GKSI Koeswo Prayitno mendorong primer koperasi untuk diversifikasi usaha dengan mendirikan pabrik susu pasteurisasi atau susu segar. Usaha ini dianggap cocok karena tak memerlukan susu kualitas bagus. Kelemahannya, susu jenis ini tak bisa disimpan lama. "Hanya tahan lima-tujuh hari jika ditaruh di dalam lemari pendingin," katanya.
Hendrawan punya usul lain. "GKSI harus menggelar kampanye besar-besaran minum susu," ujarnya penuh semangat. Kampanye itu terutama untuk membidik pasar yang selama ini belum tergarap dengan baik. Memang, tingkat konsumsi susu di Indonesia terbilang rendah, cuma 10 liter per kepala per tahun. Padahal Thailand saja sudah mencapai 25 liter per kepala, sedangkan Australia 150 liter per kepala. Mudah-mudahan kampanye berjalan sukses, sehingga rakyat sehat, peternak makmur.
Nugroho Dewanto, M. Syakur Usman, Bibin Bintariadi (Jawa Timur)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo