Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Potensi energi fosil di Indonesia –yang sering digembar-gemborkan pemerintah dalam wacana hilirisasi untuk meningkatkan perekonomian, sejauh ini menuai banyak pro dan kontra. Apalagi semakin meningkatnya konflik antara oligarki dan masyarakat yang terdampak industri pertambangan nikel semakin memunculkan berbagai penolakan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Yayasan Lembaga Bantuan Hukum (YLBHI) Surabaya menggelar nonton bareng (Nobar) sekaligus diskusi film dokumenter Kutukan Nikel pada Senin, 29 Juli 2024, tepatnya di kantor LBH Surabaya. Acara tersebut dipandu dua perwakilan dari LBH, Ika Putri Rahayu dan Taufiqurochim sebagai moderator serta pemantik.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Dalam pembukaannya, Ika mengungkapkan bahwa salah satu upaya pemerintah untuk mengurangi emisi karbon dari sektor transportasi dengan mengurangi kendaraan berbahan bakar fosil dan beralih ke kendaraan yang berbahan bakar listrik.
"Caranya dengan menggenjot produksi mobil listrik. Kita tahu pemerintah akan memberikan insentif untuk membeli mobil listrik, pajak nya direndahkan, dan kemudian harganya juga tidak ada penambahan-penambahan yang signifikan seperti kita beli mobil-mobil yang masih pakai bahan bakar fosil.” kata Ika.
Ika menjelaskan jika transisi energi dengan beralih menggunakan kendaraan listrik bukanlah solusi. Tren saat ini, para pengusaha yang dulunya memulai bisnis tambang batu bara mulai beralih untuk membuka bisnis baru di tambang nikel. Para pengusaha ini memulai ekspansinya ke wilayah yang menjadi sumber nikel, seperti yang banyak ditemui di Indonesia bagian Timur.
Padahal para pengusaha batu bara ini sebelumnya telah menyebabkan banyak kerusakan lingkungan dan konflik dengan masyarakat adat ketika mereka menginvasi wilayah Kalimantan yang sebagian besar menjadi produsen batu bara terbesar. Akibatnya, banyak hutan yang akhirnya mengalami deforestasi dan berdampak kepada krisis iklim.
Berbagai kerusakan yang ditimbulkan dari aktivitas tambang membuat semakin mempertanyakan siapa sebenarnya yang diuntungkan di sini.
“Apakah itu sebenarnya lebih untuk kepentingan bisnis atau menjadi bagian dari komitmen pemerintah untuk mencapai target mereka menggunakan energi yang lebih bersih dalam artian transisi energi?” kata alumnus Fakultas Hukum Universitas Airlangga (Unair) ini.
Tufiq sebagai pemantik dalam diskusi ini menjelaskan untuk siapa sebenarnya program hilirisasi nikel ini dilakukan.
“Sebenarnya kita berada dalam posisi dilematis, bagi yang pro akan mengatakan soal pembangunan, keberlanjutan dan seterusnya. Seolah-olah ada yang dikontradiksikan antara pembangunan dan menjaga keberlangsungan alam,” ujar pengacara LBH Surabaya.
Bagi pemerintah sebagai pemangku kebijakan dan kepentingan akan mengatakan jika hilirisasi nikel ini akan memiliki manfaat seperti meningkatkan perekonomian, membuka lapangan pekerjaan, untuk membantu transisi energi dan sebagainya. Namun, itu semua tidak sebanding dengan dampak yang ditimbulkan apalagi bagi masyarakat di sekitar area tambang.
Nyatanya memang hilirisasi ini hanya menguntungkan para pemodal dan pemilik perusahaan. Masyarakat yang akhirnya harus tergusur dan hutan yang mereka jaga selama ini hilang oleh aktivitas tambang.
“Nikel itu ya hanya untuk pebisnis saja, kalau simpelnya begitu. Faktanya tadi (dalam film) sudah terungkap kok banyak masyarakat yang menolak dan banyak masyarakat yang tergusur karena perusahaan tambang itu,” katanya.
“Ketika alam itu rusak 20 tahun lagi, tidak akan pernah ada yang namanya ekonomi atau lebih dari yang kita cita-citakan sekarang ini. Bahwa rezim hari ini atau negara hari ini bergantung pada ekonomi berbasis ekstrak yang sumbernya ada di alam-alam, tetapi kalau umpama alam itu dihabisi 20 tahun kemudian aku yakin Indonesia tidak akan bisa (lagi) bergantung pada pertumbuhan ekonomi melalui alam itu,” ujarnya.
Sejalan dengan polemik pada paparan diskusi ini, Menteri Investasi/Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) Bahlil Lahadalia mengakui jika masyarakat di sekitar area tambang belum mendapatkan manfaat dari hilirisasi. Bahlil menyebut jika hal itu merupakan hasil dari penelitian yang sedang dia kerjakan.
“Memang penelitian saya, hilirisasi itu yang mendapat manfaat paling besar sekarang ini adalah investor dan pemerintah pusat,” kata Bahlil saat memberi kuliah di Universitas Paramadina, Jakarta Selatan, pada Sabtu, 27 Juli 2024.
Meskipun begitu, Bahlil menyangkal jika hal tersebut bukan salah pemerintah. Menurutnya, kekurangan hilirisasi tak akan terungkap bila pemerintah tak pernah memulai. "Empat tahun begitu jalan, kita lihat ada hal yang harus kita perbaiki,” kata dia.
SAVINA RIZKY HAMIDA | HAN REVANDA PUTRA